Menu

Jacob Blake dan Problem Krisis Rasial

                (Ket: Jacob Blake Warga AS yang Ditembak Polisi di Depan 3 Anaknya)

Pria kulit hitam Jacob Blake (29) ditembak jarak dekat dari belakang oleh polisi Wisconsin, Amerika Serikat di depan tiga anaknya. Terdengar tujuh kali letusan dalam peristiwa naas itu. Kejadian itu berlangsung pada Minggu (23/8/2020) sekitar pukul 17.00 waktu setempat di Kenosha, Wisconsin. 

Rekaman video momen penembakan itu beredar luas di media sosial. Penembakan itu kembali memicu kemarahan masyarakat Amerika Serikat. Mereka pun sekali lagi turun ke jalan untuk memprotes tindakan kejahatan itu pada Senin (24/8/2020).

Sebelumnya, protes serupa terjadi pada akhir Mei 2020 lalu. Warga memprotes atas kematian George Floyd, pria AS berkulit hitam di Minneapolis. Floyd tewas setelah seorang polisi kulit putih menindihkan lutut ke lehernya selama nyaris 9 menit. Kejadian ini memicu rentetan aksi protes di AS. Kasus ini pun menyita banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat dunia.

Akan tetapi, ternyata negara super power sekelas AS seperti tidak pernah lelah untuk melakukan kesalahan yang sama. Kasus kekerasan bahkan pembunuhan terhadap warga kulit hitam di sana selalu menjadi masalah seksi yang terus dipertontonkan kepada masyarakat dunia. 

Baca Juga: Krisis Toleransi dan Kekerasan Terhadap yang Lain

Setiap tahun selalu terjadi serangan rasial dan anehnya masyarakat kulit hitam selalu menjadi korban. Untuk dua kasus terakhir entah sengaja atau tidak selalu melibatkan pihak kepolisian sebagai pelaku kekerasan.

Sebagaimana ditulis oleh Hatib A. Kadir di majalah Tirto 12 Juni 2020 sejak gerakan Black Lives Matter (BLM) dibentuk tahun 2013 lalu, kasus penembakan terhadap warga kulit hitam di Amerika masih sangat tinggi. Data dari Bureau of Justice Statistics mengungkapkan pembunuhan yang dilakukan polisi terhadap warga sipil rata-rata mencapai 900 kasus pertahun.

Tingkat kerentanan pun menunjukkan kalau orang kulit hitam sembilan kali berpotensi terbunuh dibandingkan orang kulit putih. Fakta yang menakutkan untuk negara sekelas AS. Data ini tentu saja merupakan fenomena gunung es karena banyak warga sipil meninggal dibunuh polisi tetapi tidak terekspos.

Polisi menyiapkan dana tidak sedikit untuk menutup kasus pembunuhan dan memenangkannya di pengadilan. Keeanga-Yamahtta Taylor penulis buku From #BlackLivesMatter to Black Liberation (2016) mengungkapkan bahwa polisi New York menghabiskan 150 juta USD setahun dan polisi Chicago menghabiskan 500 juta USD dalam sepuluh tahun terakhir, untuk memenangkan berbagai gugatan pengadilan (lawsuit) atas kekerasan yang mereka lakukan.

Dari data yang disampaikan di atas sudah cukup jelas bagaimana perlakuan kepolisian di sana terhadap warga kulit hitam. Hal ini tentu mencoreng nama besar AS sebagai salah satu negara super power. Penembakan Jacob Blake menjadi bukti bahwa untuk kesekian kalinya kepolisian negara itu gagal melindungi warga negara mereka. Rakyat yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban kekerasan yang mungkin dengan sengaja dilakukan dan dipertontonkan kepada masyarakat umum.

Kejahatan yang Mendarah Daging
Diwakili Elon Musk dan SpaceX, Amerika Serikat telah sukses mengirim astronaut ke luar angkasa. Negeri Paman Sam terlihat sebagai negara yang sukses dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, diwakili petugas-petugas kepolisian, Amerika adalah negeri busuk dan miskin penghargaan terhadap sesama. 

Baca Juga: Orang Kecil dan Terpinggirkan di Antara Wabah Corona

Kematian George Floyd dan disusul penembakan Jacob Blake karena keberingasan polisi bukan yang pertama melainkan kelanjutan dari rangkaian rasisme sistemik di Amerika Serikat.

Sebelum kasus Floyd yang kemudian disusul demo besar-besaran di negeri Paman Sam, ternyata pernah terjadi kasus yang cukup menyita perhatian public atas diskriminasi rasial yang menimpa Ahmaud Arbery. Dia adalah pemuda kulit hitam berusia 25 tahun yang tewas dibunuh oleh Travis McMichael dan ayahnya Gregory, mantan polisi, ketika sedang jogging di wilayah Georgia, Amerika Serikat. 

Arbery ditembak ayah dan anak karena disangka sebagai penjahat yang sedang melarikan diri. Travis McMichael dan ayahnya Gregory tak sedikit pun bertanya kepada korban sebelum mereka membunuhnya. Wanda Coper-Jones, ibunda Arbery mengatakan anaknya tewas tanpa diberikan kesempatan berbicara dan membela diri.

Bahkan Justin Blake paman Jacob Blake setelah melihat video keponakannya yang ditembak dari belakang oleh petugas polisi, mengatakan kepada ABC TV sebagaimana dikutip oleh The Guardian.com edisi 26 Agustus 2020 “Tindakan itu jelas merupakan masalah rasial. Sangat mengecewakan bahwa kami tinggal di Amerika pada tahun 2020 dan orang tua kulit hitam masih harus mengingatkan anak mereka agar berhati-hati ketika keluar dari pintu rumah. Sebab petugas keamanan yang kami bayarkan untuk melindungi kami justru terus mengintai kami."

Dari rentetan kasus di atas sedikit menunjukkan bahwa negara sebesar AS ternyata masih tidak ramah dengan warganya yang berkulit hitam. Bahkan kejahatan yang warga kulit putih atau juga polisi kulit putih lakukan kepada warga kulit hitam seperti telah mendarah daging.

Baca Juga: Kotak Pandora di Balik Kehancuran Jepang di Tangan Sekutu

Mungkin di waktu-waktu yang akan datang akan terjadi lagi masalah yang sama jika belum ada kesadaran untuk merangkul sesama warga yang berbeda ras, suku atau agama. Ketika orang kulit hitam sembilan kali berpotensi terbunuh dibanding kulit putih, dapat dibayangkan bagaimana wajah ketakutan yang selalu mereka tampilkan jika ingin keluar rumah. Warga kulit hitam di sana seperti rusa yang berjalan-jalan di antara kawanan serigala yang siap menerkam dan menghabisi nyawa mereka kapan saja.

Kembali ke Spirit Kemanusiaan
Masih segar dalam ingatan kita, Senin, 4 Februari 2019 yang lalu telah terbit dokumen Human Fraternity yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam besar Al Azhar Dr. Ahmed al-Tayeb. Dokumen ini merupakan dokumen bersejarah bagi dunia karena berisi 12 hal yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat sekarang untuk menciptakan perdamaian dan kedamaian dunia.

Dokumen Human Fraternity menguraikan tentang satu keyakinan dari krisis dunia modern, yaitu hati nurani manusia yang kehilangan kepekaan. Ada kontradiksi dunia modern; di satu sisi ada kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, di sisi lain terjadi kemunduran nilai-nilai dan spiritual. Akibatnya, ada rasa frustrasi dan keterasingan yang menyebabkan orang jatuh dalam pusaran ekstremisme dan intoleransi.

Sikap intoleran pada dasarnya tidak pernah membawa perdamaian dan kita mesti melawannya. Begitu pun dengan kasus penembakan Jacob Blake menampilkan sisi lain dari manusia yang masih belum mampu menerima perbedaan dalam hidupnya. Dari sisi manusiawi Jacob Blake warga kulit hitam tidak lebih buruk dari Rusten Sheskey polisi berkulit putih.

Semua manusia punya keunikan dan kekhasan. Jika Rusten Sheskey gagal menerima Jacob Blake dalam hidup sebagai sesama masyarakat AS, maka di sana telah terjadi krisis spirit kemanusiaan. Mau sampai kapan seseorang memperlakukan sesama hanya berdasarkan warna kulit? Apakah kita di Indonesia juga masih melihat suku, agama, dan ras ketika ingin berelasi dengan sesama? Semoga saja kasus seperti ini tidak terjadi di negara kita tercinta apalagi sampai mendarah daging.

Sumber gambar: detik.com





Apa Itu Pendidikan 4.0? Bagaimana Anda Beradaptasi dengan Sistem Ini?



Cara Revolusi Industri 4.0 mengubah dunia dan teknologi seperti Internet of Things (IoT), Big Data, dan Artificial Intelligence (AI) memengaruhi industri besar, dan pada gilirannya mengubah dunia pekerjaan. Hal ini dapat dianggap mirip dengan mengganti pekerjaan manual dengan mesin sebagai dampak dari revolusi di abad ke-21.

Dampak ini menyiratkan bahwa Industri 4.0 tidak hanya akan memengaruhi industri tetapi juga akan mengubah cara pandang pekerjaan dan pendidikan, sehingga menghasilkan revolusi pendidikan 4.0.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa revolusi industri keempat akan memengaruhi peran yang dipersiapkan oleh para siswa saat ini. Revolusi ini membutuhkan lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja untuk bekerja di era yang terus mengalami perubahan.

Baca Juga: Merdeka Belajar Sebagai Merek Swasta?

Lebih lanjut, revolusi ini juga membutuhkan tenaga kerja untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka agar sesuai dengan peran pekerjaan yang baru. Sebab dunia kerja pun terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk itu, revolusi dalam pendidikan sangat penting dan memungkinkan orang di seluruh dunia memanfaatkan peluang yang diciptakan oleh kemajuan teknologi. Tidak bisa tidak, untuk mampu beradaptasi dengan segala perubahan di masa depan dimulai dari revolusi pendidikan.

Transformasi industri pendidikan ini akan menjadikannya lebih personal, peer-to-peer, dan proses yang berkelanjutan. Jadi, apa itu pendidikan 4.0? Mari kita lihat beberapa petunjuk yang bisa menggambarkan masa depan pendidikan:

Revolusi pendidikan akan memenuhi kebutuhan Industri 4.0 yang memungkinkan tenaga kerja dan alat-alat menyelaraskan diri untuk mengeksplorasi kemungkinan baru.

Tujuannya untuk menyebarkan potensi teknologi digital, sumber konten terbuka dan data yang dipersonalisasi dari dunia yang terhubung secara global dan didukung oleh teknologi.

Menciptakan cetak biru pendidikan untuk masa depan pembelajaran - mulai dari pembelajaran berbasis di sekolah hingga pembelajaran di tempat kerja.

Baca Juga: Tahun Ajaran Baru, New Normal, dan Pendidikan Berbasis STEAM

Berikut beberapa tren dalam revolusi pendidikan:

Mempercepat Pembelajaran Jarak Jauh
Pendidikan 4.0 memungkinkan pembelajaran dapat diakses kapan saja, di mana saja karena alat dan aplikasi e-learning akan memberikan peluang untuk pembelajaran jarak jauh dan mandiri.

Peran ruang kelas akan berubah di mana pengetahuan teoritis akan diberikan di luar kelas sementara pengetahuan praktis atau pengalaman akan disampaikan secara tatap muka.

Pembelajaran yang Dipersonalisasi
Pendidikan 4.0 juga akan memungkinkan pembelajaran yang dipersonalisasi untuk siswa bergantung pada kemampuan mereka. Artinya, siswa yang di atas rata-rata akan tertantang dengan tugas-tugas yang sulit dibandingkan dengan siswa yang di bawah rata-rata. Karena itu, pembagian tugas pun untuk setiap siswa akan berbeda satu dengan yang lainnya.

Akan ada proses pembelajaran individual bagi setiap siswa. Hal ini akan berdampak positif karena memungkinkan siswa untuk belajar sesuai kemampuan dan kecepatan mereka memahami materi ajar.

Sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang konsep dan hasil yang lebih baik secara keseluruhan. Di sisi lain juga membantu para guru untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan setiap siswa secara individu dan membimbing mereka sesuai dengan kemampuan siswa.

Pilihan Alat Pendidikan
Bagian dari pendidikan 4.0 adalah teknologi atau perangkat yang digunakan oleh siswa untuk mengenyam pendidikan. Sementara setiap mata pelajaran memiliki seperangkat pengetahuan dan informasi yang dapat dipahami siswa dan jalan untuk memahami pengetahuan itu dapat bervariasi.

Artinya, siswa dapat memilih alat dan teknik yang mereka inginkan untuk memperoleh pengetahuan ini. Teknik seperti pembelajaran campuran, BYOD (Bring Your Own Device) dan ruang kelas yang terbalik adalah beberapa contohnya.

Pembelajaran Berbasis Proyek
Ekonomi freelance sedang meningkat dan akan terus berlanjut. Hal ini berarti bahwa siswa zaman sekarang perlu beradaptasi dengan gaya belajar dan bekerja berbasis proyek.

Mereka perlu mengasah keterampilan dan belajar bagaimana menerapkan dan membentuknya sesuai situasi yang terjadi di lapangan. Jadi, siswa harus terbiasa dengan pembelajaran berbasis proyek selama pendidikan entah itu di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi.

Bagian dari Pendidikan 4.0 ini akan mengajari keterampilan berorganisasi, keterampilan manajemen waktu, dan keterampilan kolaboratif, yang dapat mereka gunakan lebih lanjut dalam karier akademis dan juga pekerjaan mereka di masa yang akan datang.

Pengalaman Khusus Lapangan
Karena integrasi teknologi dalam domain tertentu memfasilitasi efisiensi yang lebih tinggi; kurikulum pendidikan sekarang sebaiknya mengakomodasi lebih banyak keterampilan yang membutuhkan pengetahuan manusia dan kemampuan analisis yang memadai.
Tujuannya untuk menghasilkan penekanan lebih pada penyampaian pengetahuan khusus kepada siswa dalam pengalaman kerja di lapangan. Artinya, sekolah memberikan lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan dunia nyata yang relevan dengan peluang kerja yang prospektif di masa depan.

Dengan demikian, kurikulum sekolah menyertakan pengetahuan subjek yang ditingkatkan yang dapat membantu siswa melalui magang, kerja proyek, dan sebagainya.

Analisis Data
Ada kalanya analis biasa mengumpulkan dan menyortir data secara manual, tetapi sekarang dapat dilakukan dengan menggunakan komputer. Selain itu, komputer juga akan digunakan untuk semua jenis analisis statistik - mendeskripsikan dan menganalisis data serta memprediksi tren masa depan.

Pendidikan 4.0 melatih siswa untuk menerapkan pengetahuan teoritis dan menggunakan penalaran manusia untuk memeriksa pola dan memprediksi tren yang sedang berlangsung. Data-data yang dikumpulkan akan menjadi titik pijak untuk menganalisis langkah yang akan diambil.

Perubahan Pola dan Penilaian Ujian
Pola hafalan siswa saat ini, dimana siswa secara membabi buta menghafal informasi yang diberikan dalam kurikulum dan menuliskan ujiannya, tidak layak dipertahankan. Penting untuk dipahami bahwa Q&A tradisional atau ujian menulis ulang apa yang dihafal mungkin tidak mencukupi kebutuhan persyaratan di masa depan.

Artinya, penilaian sebagai bagian dari pendidikan 4.0 tidak hanya akan didasarkan pada pola ujian saat ini. Melainkan dilakukan dengan menganalisis perjalanan belajar mereka melalui proyek berbasis pembelajaran praktis dan pengalaman atau kerja lapangan.

Dampak teknologi pada industri pendidikan tidak hanya akan mengubah cara penyampaiannya, tetapi juga cara siswa memandang pendidikan. Pendidikan 4.0, atau masa depan pendidikan, akan mengubah metodologi belajar-mengajar untuk mempersiapkan masa depan siswa.

Inilah saatnya untuk menyaksikan perubahan dan menanamkannya dalam hidup sehingga kita dapat bergerak menuju dunia yang progresif, intelektual, berbasis data, dan siap menghadapi masa depan.

Sumber gambar: manufacturingglobal.com

Merdeka Belajar Sebagai Merek Swasta?



Dalam salah satu webinar yang diselenggarakan pada 07 Agustus 2020 turut hadir sebagai narasumber Pak Ferdiansyah, anggota DPR RI Komisi X, Ahmad Rizali Ketua Bidang Pendidikan NU Circle, Iwan Pranoto Ph.D guru besar Matematika ITB, Indra Charismiadji, dan beberapa narasumber lainnya. Topik yang dibahas adalah Merdeka Belajar Sebagai Merek Swasta: Dampak dan Solusi Dunia Pendidikan.

Mengapa tema ini dibahas? Rupanya karena para narasumber merasa kuatir dengan pendidikan kita ke depannya. Bagaimana mungkin sebuah produk milik swasta menjadi tagline pendidikan nasional oleh Kemdikbud? Bukankah ini menjadi ladang bisnis baru dari sekolah itu dan secara tidak langsung kementerian turut mempromosikannya? 

Jika demikian, apakah mas Menteri ceroboh ketika menjadikan konsep merdeka belajar sebagai titik awal untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa? Apakah tidak terjadi masalah di kemudian hari karena “konsep merdeka belajar” secara hukum telah menjadi milik salah satu sekolah swasta? 

Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh, konsep ini pertama kali dicetuskan oleh bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara tetapi dengan nama yang berbeda. Pada intinya konsep merdeka belajar ala Ki Hajar Dewantara, menjadikan sekolah sebagai tempat untuk belajar sekaligus bermain. 

Baca juga: Memperbaiki Kualitas Pendidikan Menyongsong Revolusi Industri 4.0

Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi dan bakat yang ada dalam diri mereka tanpa diharuskan untuk menghafal materi pelajaran. Siswa cukup memahami pelajaran di sekolah dan mempraktiknya dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu narasumber menilai akan berbahaya bila konsep Merdeka Belajar dikapitalisasi. Sebab, dampaknya akan berujung kepada sanksi hukum. "Begitu Merdeka Belajar jadi merek dagang suatu perusahaan pendidikan swasta nasional, implikasinya pasti ke hukum. Siapapun yang menggunakan istilah tersebut implikasinya ke hukum. Inilah sisi negatif dari kapitalisasi pendidikan. 

Ketika itu berimplikasi misalnya pada royalti yang harus dibayar Negara, dalam hal ini Kemendikbud, maka itu jadi masalah. Karena Kemendikbud juga menggunakan jargon Merdeka Belajar,” kata salah satu narasumber dalam webinar tersebut.

Kita sepakat, fondasi pendidikan Indonesia berdiri di atas pemikiran Ki Hajar Dewantara. Adapun beberapa landasan filosofi pendidikan Ki Hajar, yaitu Kemerdekaan diri, Cita-cita manusia untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban, Sistem Among (Tut Wuri Handhayani), Merdeka (Berdiri sendiri), Zelfbedruipings systeem (Sistem Pemadam Diri). Dari beberapa landasan filosofis di atas terlihat jelas, siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka ketika belajar.

Merdeka Belajar yang ditawarkan oleh Kemendikbud kurang lebih konsepnya telah diimplementasi oleh Taman Siswa jauh sebelum istilah ini menjadi merek dagang. Mungkin banyak sekolah di Indonesia telah menerapkannya sejak lama, tetapi dengan istilah yang berbeda. Maka akan menjadi problem, tatkala kosa kata ini menjadi merek dagang dan hak patennya menjadi milik sekolah tertentu. 

Baca juga: Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pendidikan 4.0

Tetapi pertanyaannya adalah apakah sekolah ini telah meminta ijin kepada Ki Hajar Dewantara selaku pencetus ide Merdeka Belajar atau Taman Siswa sebagai sekolah bentukan beliau, meskipun menggunakan istilah yang berbeda?

Konsep Merdeka Belajar
Sebelum membahas lebih jauh tulisan ini alangkah lebih baik jika kita memahami konsep merdeka belajar yang dimaksud oleh Kemendikbud. Pentingnya memiliki SDM unggul merupakan solusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, sebagaimana disampaikan oleh Mendikbud, bahwa: “Apapun kompleksitas masa depan, kalau SDM kita bisa menangani kompleksitas maka itu tidak menjadi masalah” (FORWAS Edisi ke-3/2019).

Tentu SDM yang dikehendaki merupakan kapital intelektual yang memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif, serta siap menghadapi era globalisasi. Apalagi saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan eksternal berupa hadirnya Revolusi Industri 4.0 yang bertumpu pada cyber-physical system. Dengan didukung oleh kemajuan teknologi, informasi, pengetahuan, inovasi, dan jejaring, yang menandai era abad kreatif.

Program Merdeka Belajar menurut Mendikbud akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana arahan bapak presiden dan wakil presiden (kemendikbud.go.id). 

Merdeka Belajar merupakan permulaan dari gagasan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang terkesan monoton. Merdeka Belajar menjadi salah satu program untuk menciptakan suasana belajar di sekolah yang bahagia suasana yang happy, bahagia bagi peserta didik maupun para guru. Makanya tagline-nya merdeka belajar.

Adapun yang melatarbelakangi adalah keluhan para orangtua pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok dengan nilai-nilai tertentu. Ditambahkan pula bahwa program merdeka belajar merupakan bentuk penyesuaian kebijakan untuk mengembalikan esensi dari asesmen yang semakin dilupakan. 

Konsepnya, mengembalikan kepada esensi undang-undang kita untuk memberikan kemerdekaan sekolah menginterpretasi kompetensi-kompetensi dasar kurikulum, menjadi penilaian mereka sendiri, seperti disampaikan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Supriano.

Bagaimana Sebaiknya?
Kita harus mengapresiasi langkah Kemendikbud dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Meskipun konsep merdeka belajar bukan ide baru di dunia pendidikan Indonesia, tapi baru kali ini resmi menjadi tagline pendidikan nasional. Sebuah langkah positif dan patut diapresiasi. 

Apalagi kualitas pendidikan kita yang cenderung berjalan di tempat. Setidaknya hasil yang dikeluarkan oleh Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 dan dirilis pada (3/12/2019) menempatkan Indonesia di urutan ke-72 dari 79 negara dapat menjadi alasannya.

Saya sebagai warga negara mendukung penuh langkah yang telah diambil oleh Kemendikbud. Lalu terkait dengan permasalahan tagline merdeka belajar telah menjadi merek dagang salah satu sekolah swasta di Jakarta, mungkin kedua belah pihak perlu duduk bersama untuk membicarakannya. 

Baca juga: Wei Ji dan Krisis Kualitas Pendidikan

Agar, apa yang menjadi kekuatiran para narasumber dalam webinar dan juga mungkin kita semua tidak terjadi. Atau, langkah lainnya adalah pihak kementerian mengeluarkan slogan dan tagline baru meskipun masih menggunakan konsep belajar yang sama.

Sudah terlalu lama pendidikan kita berjalan di tempat, karena itu ketika mas Menteri mengeluarkan konsep merdeka belajar ada secercah harapan di sana. Ki Hadjar Dewantara, menuturkan belajar merdeka berarti merdeka atas diri sendiri. 

Minat dan bakat siswa itu harus merdeka untuk berkembang seluas mungkin. Konsep itu yang dibawa Ki Hadjar Dewantara bagi bangsa ini dengan harapan tak digerus perkembangan zaman. 

Angka tidak boleh menjadi tolok ukur dalam pengembangan bakat. Kurikulum jangan dijadikan alat untuk menjajah anak didik. Terjajahnya anak didik dalam kurikulum akan membunuh pengembangan bakat yang digaungkan oleh pahlawan nasional itu. 

Sebagaimana dikatakan Harari dalam bukunya Homo Deus (2015, 195) “sistem pendidikan masal abad industrilah yang memulai penggunaan nilai-nilai angka pasti secara regular. Pada mulanya, sekolah-sekolah bertujuan untuk fokus mencerahkan dan mengedukasi murid”. Akan tetapi, di kemudian hari sekolah justru melupakan itu semua dan lebih fokus mengejar angka-angka.

Oleh karena itu, mengakhiri tulisan ini merdeka belajar yang telah menjadi merek swasta serta telah legal secara hukum tidak bisa lagi menjadi tagline kemendikbud. 

Meskipun ide-ide merdeka belajar milik sekolah itu diadopsi dari dokumen kemendikbud dan ide-ide yang ada dalam Taman Siswa, tetap saja tidak elok jika sekelas kementerian menggunakan tagline milik sekolah swasta. Perlu ada regulasi yang jelas agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari sehingga menyebabkan negara membayar kepada pihak sekolah.




.



Belajar Sambil Bermain: Bagaimana Sekolah Mendidik Siswa Melalui Teknologi

                       (Ket: Belajar sambil bermain)

Sistem pendidikan di seluruh dunia perlu dikembangkan untuk lebih memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat di masa yang akan datang. Sistem pendidikan perlu beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sayangnya, sistem pendidikan di banyak sekolah masih ketinggalan zaman karena dirancang untuk periode zaman awal perkembangan industri. Akan tetapi, hal itu bertolak belakang dengan reformasi ekonomi nasional sering kali memprioritaskan peningkatan keterampilan tenaga kerja saat ini, baik di industri lama maupun yang sedang berkembang. 

Sayangnya, perusahaan-perusahaan kurang berinvestasi untuk masa depan ekonomi kita dengan mereformasi sistem pendidikan.

Sementara itu metrik pendidikan tradisional tentang literasi dan numerasi sangat penting, masyarakat juga mengharuskan siswa memiliki berbagai keterampilan holistik untuk berkembang di dunia modern. 

Baca juga: Memperbaiki Kualitas Pendidikan Menyongsong Revolusi Industri 4.0

Keterampilan itu seperti keterampilan kreatif, teknologi, inovasi, dan interpersonal. Saat ini, keterampilan dan pengetahuan ini perlu diperoleh dengan cara yang lebih mudah diakses, dipersonalisasi, dan aktif daripada sebelumnya.

Teknologi dapat mendukung pembelajaran dalam ruang kelas, sekolah, dan sistem pendidikan untuk berkembang sesuai dengan kecepatan yang diperlukan. Namun, Education Endowment Foundation Inggris menekankan bahwa teknologi itu sendiri tidak dapat meningkatkan pembelajaran siswa jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pengajar.

Banyak solusi dan layanan EdTech mendigitalkan cara kerja lama, menghapus pembelajaran hafalan, dan praktik lain yang lebih sesuai dengan masa lalu. Praktik-praktik ini jarang tidak pengembangan keterampilan dan pengetahuan dengan cara yang efektif dan menarik.

Tantangan ini kadang-kadang disebut sebagai perlombaan antara teknologi dan pendidikan. Sebab, pendidikan berusaha mengejar dan memanfaatkan kemajuan teknologi atau teknologi memperbudak pendidikan ke dalam paradigma pembelajaran dengan mendigitalkan cara kerja atau cara belajar.

Secara paralel, penelitian telah berulang kali menggarisbawahi bahwa belajar sambil permainan memiliki peran penting dalam pendidikan untuk menyiapkan anak-anak menghadapi tantangan dan peluang sepanjang hidup mereka.

Hal itu kemudian ditunjukkan dengan banyaknya bukti yang mendukung belajar sambil bermain sebagai dasar untuk perkembangan positif anak-anak. Bukti ini berfungsi sebagai patokan untuk mengembangkan berbagai keterampilan holistik yang diperlukan di dunia nanti.

Baca juga: Memahami Tri Sentra Pendidikan dan Kegalauan Orang Tua

Bukti menunjukkan bahwa belajar melalui permainan terjadi ketika aktivitas yang dilakukan menyenangkan, membantu anak-anak menemukan makna terdalam dari apa yang mereka lakukan atau pelajari. 

Selain itu, juga melibatkan pemikiran yang aktif, terlibat dalam permainan, mind-on, serta pemikiran berulang (eksperimen, pengujian hipotesis, dll) dan memiliki peluang untuk interaksi sosial.

Belajar sambil bermain dengan teknologi, termasuk permainan hybrid (pengalaman yang menggabungkan digital dan fisik), memberikan kesempatan bagi pelajar untuk memperoleh pengetahuan lebih luas sambil mengembangkan berbagai keterampilan holistik, seperti kognitif, kreatif, fisik, sosial dan emosional, serta keterampilan lainnya.

Ketika siswa belajar melalui permainan dengan teknologi, hasil belajar tampaknya menjadi yang paling signifikan ketika pengalaman dibimbing oleh orang dewasa atau teman sebaya. Karena saat itu, siswa dalam keadaan happy dan tidak tertekan untuk belajar.

Pengalaman ini sering terjadi melalui pedagogi aktif (seperti pendekatan berbasis proyek), yang memberi anak-anak kesempatan untuk membuat pilihan mandiri dalam pembelajaran mereka sendiri dan untuk membuat artefak fisik dan atau digital. 

Jadi, siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi dalam diri dengan mengerjakan proyek kelompok atau pribadi tetapi berdasarkan minat mereka.


Belajar Melalui Game Teknologi
Teknologi yang dirancang untuk sepenuhnya merangkul peluang agensi, bimbingan, dan kreasi sambil memungkinkan interaksi yang menyenangkan adalah beberapa alat paling kuat untuk mendukung pembelajaran berkualitas tinggi saat ini.
Contoh teknologi tersebut termasuk platform pengkodean kreatif seperti Scratch di mana anak-anak memiliki kesempatan untuk membuat cerita, permainan, dan animasi mereka sendiri dengan dukungan komunitas online; game sandbox terbuka seperti Minecraft tempat anak-anak membangun dan menjelajahi dunia virtual yang luas bersama teman-temannya.

Selain itu, sistem permainan robotika seperti LEGO MINDSTORMS yang memungkinkan anak-anak bekerja secara kolaboratif untuk membuat robot dan memecahkan masalah yang kompleks). Selain itu, masih ada teknologi lain yang memungkinkan augmentasi digital dan berbagi kreasi fisik, seperti animasi digital, podcasting, pengeditan video, dan penerbitan online.

Menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dengan teknologi tidak akan menghalangi anak-anak untuk mempelajari hal-hal dasar seperti membaca, menulis, dan matematika.

Menciptakan lingkungan yang menarik adalah peluang untuk memanfaatkan kemampuan alami anak-anak untuk belajar melalui permainan, sambil memanfaatkan kekuatan transformasional teknologi untuk mengembangkan pengalaman belajar yang memfasilitasi pembelajaran cepat yang penting dalam masyarakat saat ini.

Dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan apa yang kita tahu dalam pendidikan - seperti belajar sambil permainan - kita tidak hanya membantu merevolusi sistem pendidikan, tetapi juga memastikan anak-anak diberdayakan untuk berkembang baik di masa sekarang maupun di masa depan.

Kita dapat melakukan ini dengan merangkul teknologi dan menulis narasi baru tentang Pendidikan 4.0.

Sumber gambar: appletreebsd.com

Tahun Ajaran Baru, New Normal, dan Pendidikan Berbasis STEAM



Kita mungkin masih asing dengan istilah STEAM (science, technology, engineering, art, and mathematics) yang beberapa kali pernah disampaikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim. STEAM adalah metode pembelajaran berbasis teknologi yang dikolaborasikan dengan sains, matematika, seni, dan rekayasa. Pendidikan berbasis STEAM menjadi penting karena mampu menjawab tantangan di masa depan.

Manusia zaman batu belajar dengan melukis di dinding gua menggunakan batu. Manusia era pertanian belajar menulis di atas kertas yang terbuat dari kulit hewan atau daun-daunan seperti papirus. Manusia era manufaktur belajar menggunakan kertas yang terbuat dari kayu. Di situlah segala sesuatu ditulis dan kemudian menjadi arsip yang masih dipakai hingga sekarang.
Bagaimana dengan manusia yang hidup di zaman yang sering disebut era digital? "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka bukan hidup di zamanmu," demikian nasihat yang disampaikan Ali bin Abi Thalib. Nasihat yang baik dan sangat logis ini mendorong kebutuhan untuk memodernisasi sistem pembelajaran kita. Kita tidak bisa menggunakan sistem dan metode pendidikan zaman manufaktur untuk diterapkan di era digital.

Mata Pelajaran Baru
Mulai tahun ajaran baru 2019/2020 ini, anak-anak Indonesia akan dikenalkan dengan mata pelajaran baru dengan nama Informatika. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 35, 36, dan 37 tahun 2018 yang ditandatangani di pengujung tahun 2018 yang lalu oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, Indonesia telah mengikuti langkah progresif negara-negara lain yang telah lebih dahulu menerapkan mata pelajaran ini dalam kurikulum nasionalnya.

Baca juga: Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pendidikan 4.0
Mata pelajaran Informatika yang dikembangkan adalah pelajaran yang berbasis STEAM. Kenapa harus berbasis STEAM? Karena metode tersebut mengajak siswa untuk mengintegrasikan mata pelajaran dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran melibatkan enam keahlian utama bagi siswa di abad ke-21, yaitu kolaborasi, kreatif, berpikir kritis, berpikir secara komputasional, pemahaman budaya, serta mandiri dalam belajar dan berkarier.
Pembelajaran STEAM adalah langkah selanjutnya dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia nyata dan siap menghadapi persaingan global. Sebab, science, technology, engineering, art, and mathematics adalah mata pelajaran yang saling berkaitan dalam kehidupan keseharian kita. Keempat bidang itu saling terkait dan tak bisa berdiri sendiri. Namun, selama ini keempatnya dipelajari terpisah-pisah. Jadi, seolah-olah hanya bisa dipahami secara teori. Padahal keempatnya penting dikuasai oleh anak didik supaya mereka bisa memecahkan masalah dalam dunia kerja, masyarakat, dan dalam berbagai aspek kehidupan.

Menghadapi New Normal
Terhitung sejak Maret sebagian besar sekolah-sekolah mengadakan pembelajaran dalam jaringan (daring). Karena itu, sekolah-sekolah melakukan banyak persiapan dalam rangka memasuki tahun ajaran baru. Berkaca pada pengalaman pembelajaran dalam jaringan selama tiga bulan terakhir yang ternyata mengalami banyak kendala dan kekurangan, maka di tahun ajaran baru nanti pembelajaran dalam jaringan diharapkan lebih baik lagi.
Apa yang terjadi pada teknologi pendidikan setelah pandemi virus corona berakhir, sebagian akan bergantung pada kualitas teknologi itu sendiri. Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menilai, pembelajaran jarak jauh di tengah wabah Covid-19 belum berjalan ideal. Di antaranya karena ada kecenderungan siswa diberikan PR yang ugal-ugalan. Kemudian, ada guru yang hanya merekam proses pembelajaran di kelas kemudian disebar ke ponsel siswa.

Baca juga: Wei Ji dan Krisis Kualitas Pendidikan
Model pembelajaran daring seharusnya berorientasi pada kemampuan siswa agar mampu memecahkan masalah, kritis, kolaboratif, komunikatif, kreatif, dan inovatif. Guru harus jadi fasilitator dan motivator bagi siswa, bukan menjelaskan materi yang siswa bisa baca di buku atau cari di Google.
Dalam menghadapi tahun ajaran baru di era new normal saya menemukan beberapa poin penting yang sebaiknya disiapkan Pelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring .
Pertama, infrastruktur. Artinya, peralatan apa yang dipakai sekolah saat ini untuk pembelajaran jarak jauh. Apalagi di tahun ajaran baru PJJ dalam jaringan masih tetap diberlakukan. Oleh karena itu, infrastruktur yang digunakan oleh sekolah dan siswa harus sama. Jangan sampai lembaga pendidikan kurang informasi terkait infrastruktur yang digunakan oleh siswa dalam pembelajaran.
Kedua, infostruktur, yakni aplikasi atau platform apa yang digunakan untuk proses PJJ daring. Dengan keadaan seperti sekarang ini, maka aplikasi yang digunakan harus mampu memenuhi kebutuhan belajar siswa. Selain itu platform yang digunakan untuk siswa dan guru sebaiknya satu dan sama agar tidak membingungkan siswa.
Infostruktur juga menyangkut learning management system (LMS) yang sebaiknya dimiliki setiap satuan pendidikan. Namun, bagi sekolah yang belum mampu memilikinya dapat menggunakan Rumah Belajar milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketiga, infokultur. Maksud dari infokultur PJJ daring memiliki prinsip any time, any where, dan any deviceAny time adalah setiap siswa tidak harus belajar pada waktu yang sama dan mengerjakan hal yang sama. Any where adalah siswa dapat belajar di mana saja asal terkoneksi internet.
Sedangkan, any device maksudnya media yang digunakan sebaiknya multifungsi. Dalam pedagogi konvensional disebutkan media tersebut berfungsi menerima informasi seperti buku, TV maupun materi multimedia. Konsep ini tentunya berbeda dengan pedagogis konvensional yang hanya mengenal sinkronis learning, sedangkan di sini akan menggunakan asinkronis learning. Hal itu yang harus kita pahami dalam PJJ daring di tahun ajaran baru nanti.

Baca juga: Memperbaiki Kualitas Pendidikan Menyongsong Revolusi Industri 4.0
Poin-poin yang disampaikan di atas merupakan pengejawantahan dari STEAM. Di era Industri 4.0 ini kebutuhan akan para inovator dan kreator menempati urutan utama. Untuk itu kurikulum harus disesuaikan. Pertama, penguatan kemampuan calistung sebagai fondasi pembelajaran pendidikan berbasis STEAM. Kedua, pemanfaatan teknologi secara optimal dalam pembelajaran kompetensi inti, yakni penalaran tingkat tinggi dan kemampuan 4K (Komunikasi, Kolaborasi, Kritis, dan Kreatif).

Tulisan ini pernah dimuat di kolom Detik.com pada 16 Juli 2020
Sumber gambar: amongguru.com

Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pendidikan 4.0



Dalam menyiapkan lulusan masa depan untuk bekerja, sekolah perlu menyelaraskan pengajaran dan proses mereka dengan kemajuan teknologi.
Di milenium baru, teknologi mulai menyusup ke dalam proses pendidikan, baik siswa maupun guru mulai memanfaatkan teknologi dengan cara-cara dasar (atau dikenal sebagai Pendidikan 2.0). Saat teknologi semakin maju, termasuk infiltrasi massal ke internet yang lebih banyak dibuat pengguna, pendidikan 3.0 dibentuk.
Siswa sekarang memiliki akses sendiri ke informasi, opsi untuk belajar secara virtual, dan platform untuk terhubung secara mudah dengan pengajar dan siswa lain. 

Karena itu, pendidikan tidak lagi berpusat pada bolak-balik antara siswa dan guru, tetapi mengambil pendekatan yang lebih berjejaring. Di sini siswa memiliki koneksi langsung ke berbagai sumber informasi yang berbeda.


Hal ini mendorong pengembangan cara belajar yang lebih dipersonalisasi di mana kemandirian siswa dan pendekatan unik untuk belajar dirayakan. Namun, kita sekarang berada di puncak fase baru, yaitu pendidikan 4.0.

Apa itu Pendidikan 4.0?
Pendidikan 4.0 adalah pendekatan pembelajaran yang diinginkan yang sejalan dengan revolusi industri keempat yang muncul. Revolusi industri ini berfokus pada teknologi cerdas, kecerdasan buatan, dan robotika; yang semuanya sekarang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Agar sekolah dapat terus menghasilkan lulusan yang sukses, mereka harus mempersiapkan siswanya untuk menghadapi dunia di mana sistem fisik cyber ini lazim digunakan di banyak tempat kerja. 

Hal ini berarti mengajari siswa tentang teknologi sebagai bagian dari kurikulum, mengubah pendekatan pembelajaran secara keseluruhan, dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Mempersiapkan Siswa untuk Industri yang Berkembang
Sistem fisik cyber terus menjadi lebih terintegrasi ke dalam berbagai industri, yang pasti memengaruhi persyaratan keterampilan bagi karyawan.
Penelitian oleh McKinsey mengungkapkan bahwa, 60% siswa SD saat ini akan bekerja diperusahaan yang saat ini belum tersedia. Artinya, pekerjaan-pekerjaan tradisonal besar kemungkinan akan diambil alih oleh robot sehingga manusia akan bekerja di sektor yang baru sama sekali. 

Karena itu, revolusi industri 4.0 akan berdampak pada soft skill yang akan dibutuhkan siswa di masa depan.
Pada tahun 2016, Forum Ekonomi Dunia menghasilkan laporan yang mengeksplorasi perubahan ini. Mereka memperkirakan bahwa pada tahun 2020, "lebih dari sepertiga rangkaian keterampilan inti yang diinginkan dari sebagian besar pekerjaan akan terdiri dari keterampilan yang belum dianggap penting untuk pekerjaan saat ini."

Beberapa soft skill yang mereka klaim akan sangat diperlukan seperti pemecahan masalah yang kompleks, keterampilan sosial, dan keterampilan berproses. 

Teknologi juga memungkinkan kita untuk terus terhubung, dan sebagai hasilnya, peran pekerjaan menjadi lebih fleksibel dan mudah beradaptasi.


Pendidikan 4.0 adalah tentang berkembang seiring dengan waktu. Bagi  institusi pendidikan hal ini berarti memahami apa yang dibutuhkan lulusan di masa depan.

Pendekatan Baru untuk Belajar
Dengan menyelaraskan metode pengajaran dan pembelajaran dengan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan, sekolah yakin bahwa mereka berhasil mempersiapkan siswanya untuk menghadapi revolusi industri 4.0.

Salah satu metode untuk melakukannya adalah dengan mendorong pembelajaran jarak jauh. Hal ini merupakan gagasan bahwa siswa akan mempelajari pengetahuan teoretis dari jarak jauh menggunakan sarana digital, sambil memastikan bahwa keterampilan praktis apa pun masih dipelajari secara tatap muka. Ini adalah cara belajar yang lebih fleksibel yang membutuhkan akuntabilitas dan manajemen waktu yang baik.

Langkah ke arah cara kerja ini juga akan menuntut siswa untuk belajar bagaimana beradaptasi dengan cepat terhadap situasi baru yang mungkin mereka hadapi dalam karier mereka ke depannya.

Pembelajaran berbasis proyek menyoroti pentingnya mempelajari serangkaian keterampilan yang luas yang kemudian dapat diterapkan pada setiap metode pembelajaran. Sebagai lawan berpegang pada seperangkat keterampilan yang secara langsung terkait dengan peran pekerjaan tertentu.

Pendekatan terhadap ujian dan penilaian juga akan berubah, dan penilaian menggunakan angka diganti. Kita mungkin melihat siswa dinilai "berdasarkan menganalisis perjalanan belajar mereka melalui proyek berbasis pembelajaran praktis dan pengalaman atau kerja lapangan."

Tentu saja, perubahan terbesar yang mungkin kita lihat sebagai bagian dari Pendidikan 4.0 adalah penggabungan teknologi ke dalam proses belajar. Tujuan akhir dari penggunaan teknologi ini dan mengadopsi metode baru adalah untuk menempatkan siswa di tengah proses pendidikan, "mengalihkan fokus dari mengajar ke belajar."

Beradaptasi dengan Realitas Baru
Institusi pendidikan bergerak menuju cara belajar yang lebih personal. Dengan memanfaatkan data dan melacak kinerja siswa, sekolah akan dapat mengidentifikasi siswa yang kesulitan dan memberikan strategi pembelajaran yang dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pendidikan 4.0 merangkul kemajuan teknologi dan menggunakannya dalam pembelajaran serta memperlakukan setiap siswa sebagai individu. Selain itu, juga dipahami bahwa kebutuhan belajar setiap orang dan hasil yang diinginkan akan selalu berbeda sehingga pendekatannya pun berbeda.

Namun, pendekatan baru terhadap struktur program pendidikan ini kemungkinan besar akan menciptakan siswa yang lebih fleksibel dan berpengetahuan luas serta dapat menyesuaikan diri dengan berbagai pilihan karier; sesuatu yang akan sangat berharga di masa depan.

Terlepas dari itu semua, untuk menghasilkan lulusan yang siap menghadapi masa depan, sekolah harus berkembang, dan menerima bahwa perubahan pada beberapa proses tradisional tidak dapat dihindari. Sekolah perlu mendidik siswa untuk mampu beradaptasi dan bekerja sesuai dengan zaman mereka nanti.

Tulisan ini disari dari https://www.qs.com/everything-you-need-to-know-education-40/ dengan judul asli “Everything You Need to Know About Education 4.0
Sumber gambar: manufacturingglobal.com 

x
x