Menu

Orang Kecil dan Terpinggirkan di Antara Wabah Corona



Lambaian selamat tinggal terlihat di Tiongkok. Tiga puluh empat pasien terakhir yang terkena virus Corona telah meninggalkan Rumah Sakit. Sebelumnya dunia menertawakan Tiongkok ketika pertama kali wabah ini terjadi di sana. Sebagian orang menyebut Tiongkok sedang mendapat kutukan dari Tuhan karena makan hewan liar. Bahkan terdengar juga guyonan ‘ternyata Tiongkok tak sehebat yang dibayangkan, dengan kelelawar aja bisa kalah’. Tak tanggung-tanggung total korban meninggal dunia akibat virus ini mencapai 3.245 orang.
Setelah sekian minggu menghadapi wabah ini, akhirnya pada tanggal 23 Februari 2020 Tiongkok kembali membuka diri. Kehidupan berangsur normal dan penyembuhan sudah di atas 50%, terus membaik dan mendekati 100%. Bahkan beberapa Rumah Sakit darurat korban Corona yang dibangun pemerintah sudah ditutup karena tidak ada lagi pasien yang datang. Dalam hitungan Minggu Tiongkok sebagai negara pertama terpapar virus ini sudah berhasil mengatasinya. Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia khususnya Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), ketika pemerintah mengumumkan adanya pasien terjangkit virus Corona?
 Menyikapi hal itu, per tanggal 02 Maret pihak KAJ mengeluarkan surat himbauan untuk mencegah penyebaran virus tersebut khususnya saat umat mengikuti perayaan ekaristi harian atau mingguan. Pada poin pertama, dijelaskan bahwa gereja Katolik di KAJ tetap memberi izin untuk menggelar misa sesuai dengan jadwal masing-masing.
Namun, untuk umat yang telah terjangkit virus Corona dianjurkan untuk tidak menghadiri ibadah dan segera ke dokter. Namun, sejak 19 Maret yang lalu pihak KAJ mengeluarkan surat agar tidak melaksanakan kegiatan misa atau ibadah Bersama. Semua itu untuk mengurangi dan menghindari penyebaran virus Corona yang semakin meluas dan menewaskan semakin banyak orang.
Selain gereja KAJ mengeluarkan surat himbauan, presiden Jokowi juga mengeluarkan perintah agar para pekerja bisa melaksanakan tugasnya hanya dari rumah dan tidak perlu ke kantor. Dengan kondisi saat ini saatnya kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah. Inilah momen untuk bekerja bersama, saling menolong, dan bersatu padu.  Kita ingin menjadi sebuah gerakan masyarakat agar masalah Covid-19 ini bisa ditangani dengan maksimal. Kurang lebih seperti itu pernyataan presiden Jokowi. Semua itu memiliki tujuan yang jelas, agar virus corona tidak menyebar ke lebih banyak orang. Sayangnya, masih ada sisi lain yang tidak diperhatikan oleh pemerintah, yaitu keberadaan orang-orang kecil, miskin dan terlantar.
Pemerintah mengatakan agar saat ini semua hal harus dilakukan dari rumah. Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki rumah dan menghabiskan sebagian besar hidup mereka di gerobak, di pinggiran rel kereta api, dan di jalanan. Apakah pemerintah dan mungkin juga kita pernah berpikir sampai sejauh itu? Untuk menghadapi virus mematikan ini, di manakah mereka akan berlindung? Apakah sebagai orang Katolik sudah punya solusi untuk melindungi dan menyelamatkan saudara-saudara kita ini?

Ketamakan Membunuh Orang Kecil
Saat orang-orang berduit memutuskan berdiam diri di rumah untuk menghindari paparan virus yang mematikan, membeli banyak persediaan makanan dan obat-obatan masih ada orang yang mencari nafkah dengan menyusuri jalanan. Semua demi kelangsungan hidupnya dan juga keluarga tercinta. Bukan tidak mungkin mereka juga berisiko tertular virus yang mengancam nyawa.
Namun, jika mereka tidak melakukannya, apa jadinya hidup mereka beserta keluarga? Adakah yang peduli dengan mereka? Mereka juga ingin selamat dan terhindar dari virus itu, tetapi keadaan tidak mendukung. Keadaanlah yang mengharuskan mereka terus berjuang di jalanan tanpa mempedulikan lagi sekarang sedang ada wabah yang mematikan.
Mungkin kata-kata Yesus dalam Mat 25:35-40 menjadi inspirasi untuk kita dalam memberikan bantuan kepada orang kecil dan terpinggirkan. “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus kamu memberi Aku minum, ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit kamu melawat Aku; ketika aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. …. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Dari perikop di atas saja dengan cukup jelas mengajak kita agar memperhatikan orang-orang di sekitar. Dengan wabah Corona yang semakin meningkat telah menimbulkan ketakutan yang luar biasa dalam diri banyak orang. Perhatikan dengan saksama ketika Presiden Jokowi pertama kali mengumumkan dua orang warga Indonesia terjangkit virus ini.
Orang-orang seperti berlomba membeli dan mengumpulkan makanan, obat-obatan dan masker baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya. Mewaspadai segala sesuatu memang penting, tetapi jangan sampai mengorbankan orang lain. Tindakan panic buying hanya menyengsarakan orang-orang kecil yang tidak mampu membeli dalam jumlah banyak dan menimbunnya di rumah.
Apakah tindakan itu dilakukan dengan sadar atau tidak, yang jelas ketika membeli dalam jumlah banyak hanya untuk diri sendiri banyak orang di luar sana tidak mendapat kebagian. Orang-orang kecil dan terpinggirkan adalah korban nyata dari ketamakan kita. Mungkin tepat pepatah Latin kuno bahwa manusia adalah “homo homini lupus”. Bukan virus yang menyebabkan kita menderita, tetapi ketamakan dan egois yang ada dalam diri kita masing-masing.
Dalam keadaan seperti ini apakah kita masih punya hati untuk pengemis yang lapar, pemulung yang tidak punya tempat tinggal yang tetap mencari sesuap nasi tanpa menggunakan masker? Apakah kita masih sempat memikirkan orang-orang kecil seperti mereka?
Mengutip homili MGR Ignatius Suharyo ketika membuka tahun keadilan di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Jakarta “ketika seseorang mengaku dirinya beriman, pasti salah satu buahnya yang paling jelas adalah persaudaraan. Di tahun keadilan sosial kita semakin beriman, semakin bersaudara dan semakin berbela rasa. Adil dan berbela rasa tidak boleh dipisahkan, keduanya meski terus diasah supaya tidak menjadi tumpul”
Kepekaan sosial dan moral haruslah berbuah pada tindakan yang adil dan berbela rasa terhadap sesama. Peletakan patung Yesus yang miskin seperti para gelandangan di dekat gereja Katedral Jakarta adalah simbol Yesus yang menyamakan diri-Nya dengan orang lapar, miskin, gelandangan dan orang yang di penjara. Pertanyaan sederhana untuk kita adalah apakah kita juga mau berbela rasa dengan orang-orang kecil dan terpinggirkan di tengah situasi sekarang? Apakah kita peduli dengan mereka yang tidak punya rumah ketika wabah Corona semakin meluas?

No comments:

Post a Comment