Amerika Serikat,
bom atom,
Jepang,
Perang Dunia II,
Perang Pasifik,
Sekutu,
Uni Soviet,
Ward Wilson
Kotak Pandora di Balik Kehancuran Jepang di Tangan Sekutu
Perang dunia kedua memang
telah lama berakhir, 74 tahun silam. Jepang yang menyerah kepada sekutu Amerika
menjadi simbol berakhirnya perang mahadahsyat itu. Narasi yang berkembang di
kemudian hari bahwa Jepang menyerah karena peristiwa bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki. Narasi ini memang tidak seluruhnya salah, sebab faktanya pasca kedua
kota itu dihancurkan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Apakah murni karena faktor
dibom ataukah ada faktor lain yang tidak disampaikan oleh sejarawan? Semuanya masih serba abu-abu. Karena pada akhirnya
sejarah ditulis hanya untuk para pemenang.
Dalam
FP Insider Acces, Ward Wilson, peneliti
senior British American Security Information Council, memaparkan secara mendalam penyebab terjadinya
bom di Hiroshima dalam tulisannya dengan judul yang cukup mencolok "The
Bomb Didn’t Beat Japan … Stalin Did". Di dalamnya, Wilson mengemukakan fakta-fakta
seputar peristiwa jahanam itu yang selama ini jarang diekspos.
Wilson membongkar kengawuran
persepsi yang berkembang dan kuat tertanam dalam pikiran banyak orang (kelompok
tradisionalis) bahwa kehancuran kedua kota itulah yang menjadi alasan di balik Jepang
menyerah kepada Amerika dan sekutunya. Menurut penulis Five Myths About
Nuclear Weapons (2014) itu, persepsi yang muncul dari kaum tradisionalis itu
ada benarnya. Namun, sebuah kengawuran dan kecerobohan jika menganggapnya sebagai
faktor tunggal.
Wilson mencatat, ketika bom
pertama jatuh pada 06 Agustus 1945 di kota Hiroshima untuk pertama kalinya
terjadi perseteruan antara enam Anggota Dewan Tertinggi Jepang. Akan tetapi, hal itu tidak membuat
Anggota Dewan mau menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Barulah, pasca bom diledakkan untuk kedua kalinya pada 09 Agustus di kota Nagasaki,
mereka mendiskusikan untuk menyerah kepada Sekutu.
Alasan di balik mereka agak
lama mengambil keputusan untuk menyerah adalah karena mereka juga punya program
nuklir. Jadi, pasca ledakan pertama, mereka bukannya tidak tahu-menahu efek bom
atom. Bom atom hanyalah dua kerusakan di antara kerusakan masif lain yang
dihasilkan oleh serangkaian serangan-serangan udara AS sepanjang tahun 1945.
Dalam catatan Wilson, pada
periode Perang Dunia II, terdapat 68 kota di Jepang yang diserang dan semua
atau separuhnya hancur. Tak kurang 1,7 juta jiwa menjadi pengungsi, 300 ribu
orang terbunuh, dan 750 ribu lainnya luka-luka. Setiap serangan di satu kota
diperkirakan terdiri dari 4-5 kiloton bom. Bom Hiroshima seberat 16,5 kiloton
dan Nagasaki 20 kiloton. Jadi, beberapa serangan bom non-atom sebenarnya sudah
setara dengan satu bom atom.
Jika melihat jumlah korban
jiwa di 68 kota yang dibom pada 1945, Hiroshima berada di urutan kedua. Dari
segi luas daerah yang hancur, Hiroshima berada di peringkat keempat. Dari segi
persentase kehancuran, Hiroshima berada di urutan ke-17.
Menurut Menteri Luar Negeri
Shidehara Kijuro, tulis Wilson, masyarakat
Jepang secara bertahap sudah terbiasa dibom setiap hari. Malah seiring waktu, persatuan dan keteguhan mereka semakin kuat. Di level Dewan Tertinggi Jepang juga
demikian, tidak ada diskusi khusus atau menyeluruh terkait pengeboman
kota-kota. Karena itu, tidak mengherankan jika bom atom tidak dianggap lebih mematikan
daripada rangkaian serangan bom-non atom yang dilancarkan berbulan-bulan
sebelumnya.
Wilson dan sejarawan
revisionis lain, yaitu Tsuyoshi Hasegawa dalam Racing the Enemy: Stalin,
Truman, and the Surrender of Japan (2006), menjelaskan bahwa ada faktor
yang lebih signifikan dibanding bom atom, yaitu ancaman dari Uni Soviet yang
semakin nyata. Secara gamblang dijelaskan bahwa sejak awal tahun 1945, Jepang semakin
lemah serta mengalami kekalahan militer di banyak tempat, baik saat invansi
maupun mempertahankan koloni.
Sejak awal tahun 1945,
pasukan sekutu telah menuntut Jepang menyerah tanpa syarat atau akan diserang
habis-habisan. Anggota Dewan Tertinggi Jepang tidak pernah satu suara memenuhi
tuntutan tersebut. Menyerah tanpa syarat dianggap sebagai sikap yang terlalu
merugikan dan pecundang. Karena itu, Jepang berpaling ke Uni Soviet agar mau
memediasi akhir perang yang bisa menguntungkan pihak Jepang maupun sekutu.
Langkah ini terbilang logis
mengingat tahun 1941 Jepang dan Uni Soviet punya pakta netralitas untuk
mencegah keduanya saling bertikai. Sayangnya, sikap Uni Soviet cenderung dingin
dan condong mendukung sekutu di bawah pimpinan Amerika. Sebab, Soviet
sebenarnya telah membuat kesepakatan dengan sekutu dalam Konferensi Yalta.
Isinya adalah sekutu tidak akan menerima perdamaian bersyarat dari Jepang.
Pada akhirnya, Soviet
memilih mendukung sekutu. Pada 09 Agustus 1945, ketika Nagasaki dibom pasukan
Sekutu, Soviet melanggar pakta netralitas dengan Jepang dan menyatakan perang
terhadap Jepang. Mereka pun meluncurkan serangan militer dengan tujuan untuk
menginvasi Mauchuria. Tidak hanya itu, pasukan Soviet yang sebelumnya bertempur
di Eropa segera dipindahkan ke Asia Timur jauh untuk menaklukkan Jepang.
Atas dasar itulah, Jepang
berpikir bahwa invasi Rusia jauh lebih nyata dan berbahaya dibandingkan
ancaman invasi AS yang dijadwalkan masih dalam waktu yang lama. Apalagi, saat
itu, pasukan Jepang sedang konsentrasi di wilayah selatan untuk menghadapi
sekutu, membuat wilayah utara yang menjadi pintu masuk Soviet kian melemah.
Kondisi inilah memaksa Jepang untuk mengambil keputusan secepat mungkin.
Situasi akhirnya meyakinkan
seluruh Anggota Dewan Tertinggi untuk menyatakan penyerahan diri pada 15
Agustus 1945. Pengumuman yang disebar melalui radio itu terasa getir dan pilu,
terutama bagi warga maupun tentara Jepang yang masih berdaya juang tinggi.
Amerika Serikat terkejut atas keputusan ini. Mengingat pasukan Jepang
sebenarnya masih sanggup untuk melakukan perlawanan. Meskipun mereka juga
mengetahui bahwa posisi Jepang cukup sulit karena saat itu juga sedang diserang
oleh Soviet dari arah utara.
Menurut sejarawan Jepang
Yuki Tanaka, deklarasi perang Soviet kepada Jepang memang lebih kuat
pengaruhnya terhadap keputusan menyerah tanpa syarat ketimbang dua bom atom
yang dijatuhkan oleh AS. Jepang menghindari perang dengan Soviet sebab jika Soviet
menang mereka akan mengeksekusi Kaisar Hirohito. Kaisar adalah hati dan jiwa
masyarakat Jepang. Ia terlalu berharga untuk masyarakat Jepang, apalagi jika
harus dibunuh musuh. Tidak hanya itu, ancaman lain dari Soviet adalah akan
menghancurkan sistem kekaisaran dan mengeksekusi semua anggota keluarga kaisar.
Inilah ketakutan terbesar Jepang.
Bom atom bukan ditujukan
untuk mengakhiri perang. Bagi Jepang, dua bom atom tidak memberikan dampak
signifikan jika dibandingkan dengan kerusakan besar yang telah dilakukan sebelum
kedua bom itu dijatuhkan. Selain itu, bom atom hanya dijadikan pertunjukan
kekuatan di hadapan Soviet. Amerika menyadari bahwa Soviet dengan segala
persenjataan yang mereka miliki saat itu akan menjadi lawan perang dalam bentuk
lain di masa mendatang. Dan memang benar, pasca Perang Dunia II, kedua negara
adikuasa itu terus berjibaku dalam perang dingin hingga kehancuran Uni Soviet tahun
1989.
“Kami (AS) punya senjata
keren, nih. Kami punya monopoli atasnya, dan kami akan berkembang menjadi
super-power terkuat. Dalam arti lain, bom atom adalah pembukaan perang dingin
itu sendiri,” pungkas Kingston. Bom atom hanya dijadikan sebagai ajang pamer
kekuatan untuk menakut-nakuti Uni Soviet.
Bom atom bukan ditujukan untuk mengakhiri perang.
Bom atom hanya dijadikan pertunjukan kekuatan di hadapan Soviet.
April 07, 2020
No comments:
Post a Comment