Filsafat,
Hegel,
kerumunan,
Kiearkegaard,
otentik diri,
pergulatan diri,
resensi buku
[Resensi Buku] Søren Aabye Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri
Judul :
Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri
Penulis :
Thomas Hidya Tjaya
Penerbit :
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan :
III, April 2018
Tebal :
xviii + 178 hlm
Buku Kierkegaard dan
pergulatan menjadi diri sendiri merupakan sebuah buku yang
ditulis oleh Thomas Hidya Tjaya. Buku ini ditulis atas kebutuhan penulis untuk
mempersiapkan bahan kuliah seminar filsafat eksistensialisme pada semester
genap tahun 2004 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Berkaitan dengan aliran
tersebut, pokok pembahasannya dimulai
dengan Kierkegaard filsuf eksistensial pertama dan kritiknya terhadap Hegel.
Kritik ini memberi warna baru bagi perkembangan filsafat modern dan mengundang
orang untuk memikirkan eksistensinya sebagai manusia.
Sebelum membahas lebih jauh isi buku ini,
akan diperkenalkan riwayat
hidup Kieregaard. Kierkegaard
lahir pada 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark. Dia anak bungsu dari tujuh
bersaudara. Ayahnya adalah Michael Pedersen
Kierkegaard dan ibunya Ane Sorensdatter Lund. Kierkegaard adalah pribadi yang
tegas, pendiam, dan serius dalam beragama.
Dia juga dikenal
sebagai anak yang pintar dan cerdas. Selain itu, Kierkegaard kecil dikenal
sebagai orang yang memiliki
punuk di punggungnya dan kedua kaki tidak sama panjang. Dalam hidupnya,
Kierkegaard mengalami pengalaman yang menyakitkan, ibu dan kelima kakaknya meninggal sebelum
ia berumur 21 tahun. Oleh karena itu, dia sendiri pun beranggapan bahwa ia akan meninggal
sebelum berusia 35 tahun.
Filsafat Hegel dan
Kritik Kierkegaard
Dalam buku ini dijelaskan kritik Kierkegaard
terhadap filsafat Hegel yang lebih menekankan filsafat sebagai sistem ilmu
pengetahuan yang komprehensif.
Menurut Hegel berbagai unsur dan pengalaman
manusia akan mendapat tempat masing-masing, yang bersifat komprehensif,
sistematik, serta rasional. Selain itu, Hegel berpendapat bahwa ada
Roh yang bergerak dalam sejarah. Roh ini adalah kesadaran yang menyadari
dirinya sendiri yang membawa manusia pada kebenaran objektif.
Baca Juga: Pingin Kuliah? Makanya Kaya
Baca Juga: Pingin Kuliah? Makanya Kaya
Ada dua konsep penting dalam filsafat Hegel,
yaitu Roh dan Absolut. Kata Absolut ini berarti lengkap, penuh, dan menyeluruh. Bagi
Hegel Absolut adalah keseluruhan realitas yang hadir pada dirinya sendiri dan dapat
diketahui manusia. Kata Absolut sendiri dekat dengan kata Roh, maka dalam
filsafatnya, Hegel kadang
membicarakan Roh Absolut.
Roh adalah kesadaran yang mengenal dirinya
sendiri. Roh Absolut adalah pengetahuan manusia mengenai realitas sesungguhnya. Menurut
pendapat Hegel, kebenaran hanya dapat dicapai melalui perjalanan panjang dalam
sejarah nama Roh Absolut.
Bagi Hegel struktur akal budi selalu
berkembang. Demikian juga kesadaran akan selalu
berevolusi, entah dalam akal budi individu maupun dalam akal budi universal.
Kesadaran itu terwujud dalam institusi-institusi sosial, politik, dan ekonomi
maupun dalam filsafat, sains, seni, dan agama dalam zaman tertentu.
Namun, kesadaran akan mencapai puncaknya pada kebenaran objektif melalui
perjalanan panjang dan dialektis. Pada akhirnya kebenaran objektif akan dicapai. Pada titik ini
pulalah yang Absolut telah dicapai.
Hal inilah yang dikritik Kierkegaard. Bagi Kierkegaard
filsafat bukan merupakan kumpulan pengetahuan yang sistematik atau Roh yang
bergerak dalam sejarah, melainkan tentang pergulatan
manusia dalam membuat keputusan yang benar mengenai hidupnya. Bagi Kierkergaard
filsafat Hegal tidak menjawab personal mengenai pergulatan manusia.
Filsafat Hegel menekankan sistem pengetahuan. Misalnya dibuat
sistem eksistensial yang dapat menjelaskan mengapa ibu dan kelima kakaknya
meninggal saat ia masih muda. Ataukah pemutusan pertunangannya dengan Regina
suatu yang harus terjadi. Bagi Kierkegaard sistem filsafat demikian tidak
masuk akal dan ambisius.
Dalam Filsafatnya, Hegel hanya berdiri
sebagai pengamat terhadap realitas alam dan manusia yang ada. Sedangkan,
Kierkegaard hadir secara personal dalam pergulatan manusia. Dalam analogi
pentas drama, Hegel hanya berdiri sebagai penonton dan berada di luar panggung. Hal ini berbeda dengan
Kierkegaard yang terjun langsung dalam drama, menyelami eksistensi manusia,
merasakan penderitaan, dan kegembiraan yang dialami manusia. Kierkegaard juga
menyadari keinginan manusia akan kebenaran Objektif.
Baca Juga: Akankah Coronavirus Mengubah Pengalaman Belajar Tatap Muka?
Baca Juga: Akankah Coronavirus Mengubah Pengalaman Belajar Tatap Muka?
Manusia ingin mengetahui hakikat dunia ini sebagaimana adanya,
bahkan juga keingintahuan akan kehidupan setelah kematian. Praktisnya, dalam
diri manusia ada hasrat untuk mengetahui realitas objektif, realitas yang apa
adanya, tidak dipengaruhi penilaian kita sebagai manusia. Bagi Kierkegaard
realitas objektif itu memang ada, tetapi hanya Allah yang mengetahui realitas
tersebut. Dalam hal ini, ia sependapat dengan Kant bahwa realitas pada dirinya
sendiri tidak diketahui oleh manusia.
Manusia adalah makhluk terbatas, karena
keterbatasannya itulah manusia tidak dapat mengetahui kebenaran objektif.
Keterbatasan inilah yang membuat manusia memiliki kesulitan dalam mengambil
keputusan penting mengenai hidupnya. Maka itu, bagi Kierkegaard kebenaran
adalah suatu yang subjektif, yakni masalah diri manusia dengan suatu yang
melampauinya. Dalam keterbatasan manusia untuk mengetahui kebenaran objektif,
yang penting adalah relasi manusia sebagai subjektif dengan kebenaran yang
diketahuinya.
Kebenaran subjektif dalam pemahaman
Kierkegaard adalah kebenaran yang secara konkret cara manusia dalam menjalani
hidupnya, yaitu kebenaran moral dan religius. Dalam
kebenaran moral dan religius, manusia dapat menentukan bagaimana ia menjalani
hidup sehari-hari dan nilai apa yang harus dipeluknya. Bagi Kierkegaard, ilmu
filsafat bukanlah mengenai kodrat manusia, melainkan apa yang harus dilakukan
manusia supaya dapat menemukan kedamaian dan makna hidup.
Eksistensi Otentik
Bagi Kierkegaard, setiap manusia dalam
hidupnya tentu pernah mengalami pergulatan, entah itu pergulatan dalam
pekerjaan, relasi, pilihan hidup, keluarga, cita-cita dan sebagainya. Kalau pada akhirnya manusia itu dapat
menentukan pilihannya dari pergulatan tersebut, pilihan tersebut berasal dari
keotentikan dirinya, keyakinan pribadi, atau keputusan subjektivitas.
Dalam hal ini, kebenaran tidak bertindak
sebagai objektif, universal, dan berada di luar diri manusia, melainkan suatu
yang berada dalam dirinya. Dalam Subjektivitas, Kierkegaard yakin manusia
mencapai keotentikan dirinya, karena kebenaran memang digulati dan dipeluk
secara eksistensial dan tidak berada di luar diri sang subjek.
Melawan Berhala
Kepalsuan
Dalam kehidupannya, manusia seringkali
menampilkan kepalsuan dihadapan manusia lain. Apa yang tampak tidak
mengandaikan apa yang terjadi dalam hatinya. Bagi Kierkegaard,
orang seperti itu tidak menunjukan keotentikan dirinya. Hal tersebut pun
berasal dari pengalaman hidupnya, ketika ia mengetahui bahwa ayahnya yang
selama ini dipercaya sebagai orang taat agama, ternyata
telah hidup bersama ibu (karena ibunya pembantu di rumah ayah) sebelum akhirnya
menikahi ibunya. Dia tidak percaya bahwa ayahnya telah hidup bersama perempuan yang belum
dinikahinya, karena dengan demikian ayahnya melanggar kesucian perkawinan.
Baca Juga: Manusia Indonesia yang Terjajah dalam Novel Bumi Manusia (2)
Baca Juga: Manusia Indonesia yang Terjajah dalam Novel Bumi Manusia (2)
Pengalaman ini pun membuat Kierkegaard
berhati-hati dalam hidupnya, termasuk keputusannya untuk meninggalkan Regina.
Ia takut relasi dengan Regina dipenuhi kepalsuan, karena ia menyadari siapa ia
sebenarnya, secara khusus sifat melankolisnya. Bagi Kierkegaard, ketidakberaniannya untuk
menceritakan siapa ia sebenarnya kepada Regina merupakan kepalsuan. Ia merasa
hubungan antara mereka palsu. Menurut Kierkegaard, ketika melanjutkan
perkawinannya dengan Regina, sebenarnya dia sedang menipu
dan munafik, karena ia sendiri tidak menginginkan cara hidup seperti itu.
Kritik Terhadap
Publik
Selain melepaskan diri dari kepalsuan,
perjuangan untuk menjadi pribadi yang otentik juga harus keluar dari kehidupan
kerumunan atau publik. Menurut Kierkegaard, kerumunan akan menghilangkan
identitas pribadi manusia. Manusia akan bertindak
sesuai sifat kerumunan. Contohnya ketika melihat
sekelompok masa yang berkumpul di suatu tempat. Dalam situasi seperti itu,
individu-individu tenggelam dalam kerumunan dan pribadi yang otentik tidak
nampak.
Dalam pandangan Kierkegaard, individu sejati
tidak berkerumun. Kerumunan akan meniadakan identitas individu. Ketika
manusia bergabung dalam kerumunan, ia akan menjadi milik kerumunan, individunya
pun dengan sendirinya akan hilang. Bagi Kierkegaard, kerumunan tidak dapat
memperbaiki diri manusia, karena pergulatannya bukan merupakan pergulatan
individu, melainkan universal. keputusan yang diambil pun berdasarkan kerumunan.
Untuk itu, bagi Kierkegaard untuk mencapai
keotentikan diri, manusia harus keluar dari kepalsuan dan cara hidup kerumunan.
Untuk hidup secara otentik, manusia harus berani menyatakan siapa dirinya lewat
keputusan-keputusan yang diambilnya secara individu melalui pergulatannya. Untuk menghidupi eksistensi yang sejati,
manusia juga harus memiliki pengetahuan terkait makna hidupnya. Hal ini
bertujuan agar orang tersebut dapat menentukan pilihan hidup seperti apa yang hendak dijalaninya.
Bagi Kierkegaard pribadi yang patut ditiru
sebagai pribadi yang otentik adalah Socrates. Socrates meskipun dituduh
memberikan pengajaran yang menyesatkan kepada kaum muda, ia tetap berpegang
pada kebenaran yang dipeluknya. Ia tidak takut terhadap ancaman penguasa Athena
pada zaman itu, tetapi berani menyatakan kebenaran dan membela dirinya.
Menurut pandangan Kierkegaard, keberanian seperti itu datang dari
kebulatan tekat untuk mewujudkan keputusan eksistensial. Dengan pilihan seperti
itu, orang memperoleh makna hidupnya. Itulah mengapa pilihan yang kita ambil
merupakan suatu masalah yang serius. Menurut Kierkegaard, manusia dapat menjadi
otentik melalui pilihan-pilihan yang dapat menentukan hidupnya.
Wilayah Eksitensi
dan Keputusan
Pada
pembahasaan ini, kita akan melihat tiga wilayah eksistensi menurut Kierkegaard,
yaitu hidup estatis, hidup etis, dan hidup religius. Bagi Kierkegaard, tiga
wilayah eksistesi ini merupakan cara hidup atau cara berada manusia di dunia
ini. Dalam artian bahwa setiap wilayah eksistensi memiliki pandangan dan
pengandaian tertentu yang merasa di dalamnya terdapat kepuasan dan kepenuhan
hidup.
Baca Juga: Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (2)
Baca Juga: Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (2)
Menurut
Kierkegaard, setiap kita memiliki identitas dan integritasnya sendiri. Tahap Estetis merupakan
cara hidup atau pandangan tanpa mendefinisikan antara yang baik dan yang jahat.
Artinya, ketika seseorang melakukan sesuatu, ia melakukannya tanpa memikirkan
sesuatu baik atau buruk. Keputusan yang diambil oleh manusia hanya berdasarkan
sensasi (dalam bahasa Yunani aishesis), dan
terutama perasaan.
Contohnya:
ingin makan bakso pada malam hari, ia langsung pergi ke warung untuk makan bakso,
berhasrat membaca buku atau mendengarkan musik, akan dilakukan saat itu juga.
Dalam hal ini, keinginan yang muncul merupakan keinginan spontan dan dipenuhi
saat itu juga. Ciri khas dari tahap estetis adalah pembunuhan atas keinginan
langsung dan spontan.
Wilayah
eksistensi kedua ialah Tahap Etis. Pada
tahap ini, manusia mulai menghitung apakah yang ia lakukan baik atau jahat.
Dalam artian, keputusan yang diambil tidak lagi melalui keputusan langsung
seperti pada tahap estetis, melainkan memulai suatu pertimbangan antara yang
baik dan yang jahat. Dalam hal ini, ia menggunakan rasio, suara hati, dan
refleksi dalam menentukan suatu pilihan akan tindakannya.
Wilayah
eksistensi ketiga ialah tahap religius.
Pada tahap ini, manusia tidak lagi mempersoalkan atau mempertimbangkan sesuatu
itu baik atau buruk. Tapah etis tidak memadai lagi pada tahap ini, karena yang
terpenting adalah relasi manusia dengan yang Ilahi. Dalam tahap ini, kepuasan
diri, perhatian terhadap diri sendiri atau keinginan untuk kebahagian abadi
bukan merupakan tujuan.
Manusia
mulai menyadari bahwa semestinya tujuan dari hidupnya bukan untuk dirinya,
dalam hal ini segala bentuk kepuasan diri. Menurut Kierkegaard dalam
pelaksanaannya, ketiga tahap di atas masih memiliki hubungan dan
keterkaitan. Ketika manusia beranjak ke tahap lebih tinggi, misalnya dari
estetis ke etis, tahap estetis tidak ditinggalnya, melainkan diubah ke dalam
cara yang baru.
Lalu,
mungkin akan timbul pertanyaan terkait tahap mana yang harus dijalankan manusia. Kierkegaard sendiri pun tidak
menentukan tahap mana yang harus dipilih. Tetapi seperti yang dijelaskan di
atas, menurut Kierkegaard ketika manusia memilih untuk hidup pada tahap
estetis, hidup menurut hasrat, ia tidak memilih dan menunda kepuasannya untuk
sesuatu yang lebih besar.
Setelah
kategori yang baik dan jahat masuk ke dalam dirinya, manusia mulai mengabaikan
hasrat untuk dapat menentukan sesuatu baik atau jahat untuk dilakukan. Namun,
Kierkegaard yakin tahap hidup estetis akan gagal dalam upaya menuju kepenuhan
diri. Mengapa gagal? Karena seseorang akan bertindak sesuai hasratnya dan itu
bersifat sementara. Namun, dalam kenyataannya, banyak orang yang menganut tahap
ini, siapa yang tidak tertarik dengan makanan, minuman, seks atau apa saja yang
langsung menyentuh perasaan dan menyenangkan hati. [April Lowa]
Sumber gambar: tokopedia.com
May 12, 2020
No comments:
Post a Comment