Dr. Ahmed al-Tayeb,
kekerasan,
Paus Fransiskus,
Toleransi
Krisis Toleransi dan Kekerasan Terhadap yang Lain
Tragedi penembakan di dua masjid di kota Christchurch,
Selandia Baru, Jumat (15/3/2019) telah meninggalkan luka yang mendalam bagi
kita semua. Pembantaian 49 orang di dua masjid itu menunjukkan bahwa kebencian
dan teror dapat muncul di negara mana pun.
Selandia Baru yang dikenal sebagai salah satu negara
paling aman di dunia pun pada akhirnya harus mengalami tragedi yang memilukan
hati kita semua.
Ideologi ekstrem penuh kekerasan bisa masuk ke pikiran
siapa saja. Teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan penyebaran gagasan
ekstrem berlangsung cepat, tak mengenal batas negara.
Situasi ini merupakan salah satu faktor penting yang
membuat pelaku yang lahir di kota kecil di Australia mengenal gagasan supremasi
kulit putih. Supremasi kulit putih mengingatkan kita akan pembantaian
masyarakat Yahudi oleh Hitler beberapa puluh tahun yang lalu.
Keyakinan bahwa bangsa kulit putih lebih tinggi dari
yang lain menjadikan Hitler sebagai manusia buas dan menumpas masyarakat
Yahudi.
Globalisasi dan kemajuan internet ikut menciptakan pra
kondisi timbulnya peristiwa kekerasan di Selandia Baru. Tampak seolah-olah
penyebaran ideologi ekstrem dan kekerasan yang mengikutinya sebagai hal yang
tak terelakkan di zaman sekarang.
Namun, kita tidak boleh tunduk pada ideologi itu.
Ideologi ekstrem bukan sebuah keniscayaan. Dengan semangat berbela rasa kita
memiliki kekuatan untuk mencegah dan mengakhiri perkembangan ideologi ekstrem
penuh kekerasan.
Solidaritas dan dukungan kepada para korban dari
berbagai kalangan yang ditunjukkan warga dunia pasca-insiden di Christchurch
menunjukkan manusia mempunyai daya besar untuk mengalahkan teror.
Ideologi ekstrem yang memecah belah bisa dikalahkan
dan tunduk pada solidaritas dan empati yang tulus. Ideologi ekstrem yang
membuahkan kebencian memang bisa menghinggapi siapa saja.
Kekerasan yang berakar pada ideologi kebencian dapat
dilakukan siapa saja. Tetapi, solidaritas, sikap menghargai perbedaan, dan
empati akan mampu menyingkirkan semua itu dan tidak memberi ruang bagi
kebencian untuk tumbuh.
Sikap intoleran yang ditunjukkan oleh pelaku penembakan
adalah contoh betapa sikap intoleran hanya membawa kekerasan dan kehancuran.
Sikap intoleran hanya menjadikan manusia serigala bagi yang lain.
Masih segar dalam ingatan kita, Senin, 4 Februari 2019
yang lalu telah terbit dokumen Human Fraternity yang ditandatangani oleh Paus
Fransiskus dan Imam besar Al Azhar Dr. Ahmed al-Tayeb.
Dokumen ini merupakan dokumen bersejarah bagi dunia
karena berisi 12 hal yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat sekarang untuk
menciptakan perdamaian dan kedamaian dunia.
Pada poin pertama dikatakan, "Keyakinan bahwa
agama berakar pada nilai-nilai perdamaian, saling pengertian, persaudaraan
manusia, keharmonisan, membangun kembali kebijaksanaan, keadilan, dan
cinta."
Agama selalu diyakini sebagai pemersatu semua orang
untuk menciptakan perdamaian di tengah masyarakat. Melalui agama diharapkan
semua sikap intoleran, ekstremisme dan radikalisme dihilangkan.
Lebih jauh dalam poin keenam dikatakan,
"Perlindungan tempat ibadah adalah kewajiban yang dijamin hukum dan
perjanjian internasional. Setiap upaya penyerangan tempat ibadah atau mengancam
mereka dengan serangan kekerasan, pemboman atau perusakan, merupakan penyimpangan
dan pelanggaran terhadap hukum internasional."
Dan, kita semua bisa melihat sikap masyarakat Selandia
Baru pasca-insiden itu. Mereka berbondong-bondong ke masjid untuk melindungi
saudara-saudari Muslim yang sedang beribadah.
Sikap toleran dan saling melindungi seperti inilah
yang seharusnya dihidupi oleh kita semua. Masyarakat Selandia Baru telah
menunjukkan kepada dunia apa yang harus dilakukan untuk sesama saudara yang
membutuhkan pertolongan dan perlindungan.
Dokumen Human Fraternity menguraikan tentang satu
keyakinan dari krisis dunia modern, yaitu hati nurani manusia yang kehilangan
kepekaan dalam bentuk menjauhkan diri dari nilai-nilai agama. Ada kontradiksi
dunia modern; di satu sisi ada kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, di sisi lain terjadi kemunduran nilai-nilai dan
spiritual. Akibatnya, ada rasa frustrasi dan keterasingan yang menyebabkan
orang jatuh dalam pusaran ekstremisme dan intoleransi.
Baca juga: Filosofi Teras: Seni Manajemen Diri
Baca juga: Filosofi Teras: Seni Manajemen Diri
Sikap intoleran pada dasarnya tidak pernah membawa perdamaian dan kita mesti melawannya. Dalam kasus di Selandia Baru sudah sepantasnya kita melawannya. Tak ada tempat untuk intoleran karena hanya membawa kita pada kehancuran dan perpecahan.
Sudah lebih dari cukup kita menyaksikan pembunuhan
yang dilakukan oleh orang-orang yang intoleran. Terlalu banyak air mata yang
terbuang dan darah yang tak bersalah mengalir.
Krisis toleransi selalu berakhir pada pertumpahan
darah dan kekerasan terhadap yang lain. Empat puluh sembilan nyawa tak bersalah
menjadi korban ekstremisme, intoleransi, dan radikalisme. Kekerasan atas nama
ekstremisme, intoleransi, dan radikalisme adalah fenomena yang kerap kita
jumpai dan bahkan telah tumbuh subur dalam masyarakat kita.
Bukti terbaru adalah di daerah Sumatra Barat beredar larangan
umat Kristen untuk merayakan Natal. Tentu ini menjadi kabar buruk untuk
sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi tolenasi dan
menghargai perbedaan. Apapun itu, yang jelas kita tidak ingin negara ini hancur
lebur hanya karena adanya perbedaan.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika semua orang
yang punya kehendak baik bersatu untuk melawan ekstremisme, intoleransi, dan
radikalisme agar paham-paham itu tidak diwariskan kepada generasi berikutnya.
Mari kita bersama-sama melawannya.
Tulisan ini pernah dimuatkan di Kolom Detik.com pada Rabu, 27 Mar 2019
December 24, 2019
No comments:
Post a Comment