Menu

Merdeka Belajar Sebagai Merek Swasta?



Dalam salah satu webinar yang diselenggarakan pada 07 Agustus 2020 turut hadir sebagai narasumber Pak Ferdiansyah, anggota DPR RI Komisi X, Ahmad Rizali Ketua Bidang Pendidikan NU Circle, Iwan Pranoto Ph.D guru besar Matematika ITB, Indra Charismiadji, dan beberapa narasumber lainnya. Topik yang dibahas adalah Merdeka Belajar Sebagai Merek Swasta: Dampak dan Solusi Dunia Pendidikan.

Mengapa tema ini dibahas? Rupanya karena para narasumber merasa kuatir dengan pendidikan kita ke depannya. Bagaimana mungkin sebuah produk milik swasta menjadi tagline pendidikan nasional oleh Kemdikbud? Bukankah ini menjadi ladang bisnis baru dari sekolah itu dan secara tidak langsung kementerian turut mempromosikannya? 

Jika demikian, apakah mas Menteri ceroboh ketika menjadikan konsep merdeka belajar sebagai titik awal untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa? Apakah tidak terjadi masalah di kemudian hari karena “konsep merdeka belajar” secara hukum telah menjadi milik salah satu sekolah swasta? 

Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh, konsep ini pertama kali dicetuskan oleh bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara tetapi dengan nama yang berbeda. Pada intinya konsep merdeka belajar ala Ki Hajar Dewantara, menjadikan sekolah sebagai tempat untuk belajar sekaligus bermain. 

Baca juga: Memperbaiki Kualitas Pendidikan Menyongsong Revolusi Industri 4.0

Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi dan bakat yang ada dalam diri mereka tanpa diharuskan untuk menghafal materi pelajaran. Siswa cukup memahami pelajaran di sekolah dan mempraktiknya dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu narasumber menilai akan berbahaya bila konsep Merdeka Belajar dikapitalisasi. Sebab, dampaknya akan berujung kepada sanksi hukum. "Begitu Merdeka Belajar jadi merek dagang suatu perusahaan pendidikan swasta nasional, implikasinya pasti ke hukum. Siapapun yang menggunakan istilah tersebut implikasinya ke hukum. Inilah sisi negatif dari kapitalisasi pendidikan. 

Ketika itu berimplikasi misalnya pada royalti yang harus dibayar Negara, dalam hal ini Kemendikbud, maka itu jadi masalah. Karena Kemendikbud juga menggunakan jargon Merdeka Belajar,” kata salah satu narasumber dalam webinar tersebut.

Kita sepakat, fondasi pendidikan Indonesia berdiri di atas pemikiran Ki Hajar Dewantara. Adapun beberapa landasan filosofi pendidikan Ki Hajar, yaitu Kemerdekaan diri, Cita-cita manusia untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban, Sistem Among (Tut Wuri Handhayani), Merdeka (Berdiri sendiri), Zelfbedruipings systeem (Sistem Pemadam Diri). Dari beberapa landasan filosofis di atas terlihat jelas, siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka ketika belajar.

Merdeka Belajar yang ditawarkan oleh Kemendikbud kurang lebih konsepnya telah diimplementasi oleh Taman Siswa jauh sebelum istilah ini menjadi merek dagang. Mungkin banyak sekolah di Indonesia telah menerapkannya sejak lama, tetapi dengan istilah yang berbeda. Maka akan menjadi problem, tatkala kosa kata ini menjadi merek dagang dan hak patennya menjadi milik sekolah tertentu. 

Baca juga: Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pendidikan 4.0

Tetapi pertanyaannya adalah apakah sekolah ini telah meminta ijin kepada Ki Hajar Dewantara selaku pencetus ide Merdeka Belajar atau Taman Siswa sebagai sekolah bentukan beliau, meskipun menggunakan istilah yang berbeda?

Konsep Merdeka Belajar
Sebelum membahas lebih jauh tulisan ini alangkah lebih baik jika kita memahami konsep merdeka belajar yang dimaksud oleh Kemendikbud. Pentingnya memiliki SDM unggul merupakan solusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, sebagaimana disampaikan oleh Mendikbud, bahwa: “Apapun kompleksitas masa depan, kalau SDM kita bisa menangani kompleksitas maka itu tidak menjadi masalah” (FORWAS Edisi ke-3/2019).

Tentu SDM yang dikehendaki merupakan kapital intelektual yang memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif, serta siap menghadapi era globalisasi. Apalagi saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan eksternal berupa hadirnya Revolusi Industri 4.0 yang bertumpu pada cyber-physical system. Dengan didukung oleh kemajuan teknologi, informasi, pengetahuan, inovasi, dan jejaring, yang menandai era abad kreatif.

Program Merdeka Belajar menurut Mendikbud akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana arahan bapak presiden dan wakil presiden (kemendikbud.go.id). 

Merdeka Belajar merupakan permulaan dari gagasan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang terkesan monoton. Merdeka Belajar menjadi salah satu program untuk menciptakan suasana belajar di sekolah yang bahagia suasana yang happy, bahagia bagi peserta didik maupun para guru. Makanya tagline-nya merdeka belajar.

Adapun yang melatarbelakangi adalah keluhan para orangtua pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok dengan nilai-nilai tertentu. Ditambahkan pula bahwa program merdeka belajar merupakan bentuk penyesuaian kebijakan untuk mengembalikan esensi dari asesmen yang semakin dilupakan. 

Konsepnya, mengembalikan kepada esensi undang-undang kita untuk memberikan kemerdekaan sekolah menginterpretasi kompetensi-kompetensi dasar kurikulum, menjadi penilaian mereka sendiri, seperti disampaikan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Supriano.

Bagaimana Sebaiknya?
Kita harus mengapresiasi langkah Kemendikbud dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Meskipun konsep merdeka belajar bukan ide baru di dunia pendidikan Indonesia, tapi baru kali ini resmi menjadi tagline pendidikan nasional. Sebuah langkah positif dan patut diapresiasi. 

Apalagi kualitas pendidikan kita yang cenderung berjalan di tempat. Setidaknya hasil yang dikeluarkan oleh Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 dan dirilis pada (3/12/2019) menempatkan Indonesia di urutan ke-72 dari 79 negara dapat menjadi alasannya.

Saya sebagai warga negara mendukung penuh langkah yang telah diambil oleh Kemendikbud. Lalu terkait dengan permasalahan tagline merdeka belajar telah menjadi merek dagang salah satu sekolah swasta di Jakarta, mungkin kedua belah pihak perlu duduk bersama untuk membicarakannya. 

Baca juga: Wei Ji dan Krisis Kualitas Pendidikan

Agar, apa yang menjadi kekuatiran para narasumber dalam webinar dan juga mungkin kita semua tidak terjadi. Atau, langkah lainnya adalah pihak kementerian mengeluarkan slogan dan tagline baru meskipun masih menggunakan konsep belajar yang sama.

Sudah terlalu lama pendidikan kita berjalan di tempat, karena itu ketika mas Menteri mengeluarkan konsep merdeka belajar ada secercah harapan di sana. Ki Hadjar Dewantara, menuturkan belajar merdeka berarti merdeka atas diri sendiri. 

Minat dan bakat siswa itu harus merdeka untuk berkembang seluas mungkin. Konsep itu yang dibawa Ki Hadjar Dewantara bagi bangsa ini dengan harapan tak digerus perkembangan zaman. 

Angka tidak boleh menjadi tolok ukur dalam pengembangan bakat. Kurikulum jangan dijadikan alat untuk menjajah anak didik. Terjajahnya anak didik dalam kurikulum akan membunuh pengembangan bakat yang digaungkan oleh pahlawan nasional itu. 

Sebagaimana dikatakan Harari dalam bukunya Homo Deus (2015, 195) “sistem pendidikan masal abad industrilah yang memulai penggunaan nilai-nilai angka pasti secara regular. Pada mulanya, sekolah-sekolah bertujuan untuk fokus mencerahkan dan mengedukasi murid”. Akan tetapi, di kemudian hari sekolah justru melupakan itu semua dan lebih fokus mengejar angka-angka.

Oleh karena itu, mengakhiri tulisan ini merdeka belajar yang telah menjadi merek swasta serta telah legal secara hukum tidak bisa lagi menjadi tagline kemendikbud. 

Meskipun ide-ide merdeka belajar milik sekolah itu diadopsi dari dokumen kemendikbud dan ide-ide yang ada dalam Taman Siswa, tetap saja tidak elok jika sekelas kementerian menggunakan tagline milik sekolah swasta. Perlu ada regulasi yang jelas agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari sehingga menyebabkan negara membayar kepada pihak sekolah.




.



No comments:

Post a Comment