Corona,
kualitas pendidikan,
Nadiem Makarim,
pendidikan
Pendidikan Indonesia dan Sisi Positif Corona
(Ket: Seorang anak melakukan pembelajaran daring)
Bangsa yang
besar adalah bangsa yang mampu menguasai pendidikan. Ketika pendidikan bisa
dikuasai, maka perkembangan SDM di negaranya akan dengan mudah diukur.
Perkembangan SDM tidak dapat dilakukan tanpa didukung oleh kualitas pendidikan
di negaranya.
Oleh karena
itu, jika ingin menjadi bangsa yang kuat, maka tingkatkanlah kualitas
pendidikannya. Akan tetapi, sebelum kita berbicara lebih jauh tentang
pendidikan kita perlu mengetahui apa saja permasalahan pendidikan di negeri ini.
Kualitas
pendidikan yang rendah adalah fakta yang harus kita terima bersama. Untuk itu,
presiden Jokowi memilih Nadiem Makarim seorang yang tidak memiliki backround di
bidang pendidikan menjadi menteri Pendidikan.
Kita semua
tahu sebelum beliau menjadi Menteri Pendidikan dia adalah CEO Gojek, perusahan
startup yang sedang berkembang saat ini. Mengapa seorang CEO perusahan startup
dipilih menjadi menteri Pendidikan?
Alasannya
karena kemampuan beliau dalam mengembangkan perusahan itu. Presiden ingin agar
bukan hanya seorang Nadiem Makarim yang bisa berkembang di perusahan strartup, tetapi
tetapi lebih banyak lagi manusia Indonesia. Dengan jumlah startup 2.193 buah
pada 2019, setelah Amerika Serikat, India, Inggris Raya (United Kingdom),
dan Kanada Presiden Jokowi berharap agar mas Menteri mampu membuat aturan
yang out of the box untuk meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia.
Baca Juga: Melakukan Revolusi Pendidikan
Untuk
mewujudkan impiannya itu, maka pendidikan menjadi sektor penting yang harus
dikembangkan. Metode dan sistem pendidikan yang dikembangkaan oleh
menteri-menteri sebelumnya ternyata belum mampu menjawab kebutuhan riil di
lapangan dan di masa depan. Karena itu, butuh suatu terobosan baru di bidang
pendidikan.
Bukan untuk
mengatakan bahwa pendidikan kita jelek, tetapi jika diperhatikan secara fair,
kita akan mengamini kalau pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Dari
hasil survei yang dilakukan oleh Program for International Student
Assessment (PISA) tahun 2018 dan dirilis pada Selasa (3/12/2019).
Hasil survei
menempatkan Indonesia di urutan ke-72 dari 79 negara. Studi ini menilai 600.000
anak berusia 15 tahun yang dilakukan setiap tiga tahun sekali. Studi ini
membandingkan kemampuan matematika, membaca, dan kinerja sains dari tiap anak.
Untuk
kategori kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 6 dari bawah alias
peringkat 74. Skor rata-rata Indonesia adalah 371, sedangkan peringkat pertama
diduduki oleh China dengan skor rata-rata 555.
Posisi kedua
ditempati oleh Singapura dengan skor rata-rata 549 dan Makau, China peringkat
tiga dengan skor rata-rata 525. Sementara Finlandia yang kerap dijadikan
percontohan sistem pendidikan, berada di peringkat 7 dengan skor rata-rata 520.
Lantas, untuk
kategori matematika, Indonesia berada di peringkat 7 dari bawah (73) dengan
skor rata-rata 379. Kemudian untuk peringkat satu, masih diduduki China dengan
skor rata-rata 591. Lalu untuk kategori kinerja sains, Indonesia berada di
peringkat 9 dari bawah (71), yakni dengan rata-rata skor 396. Lagi-lagi
peringkat satu diduduki China dengan rata-rata skor 590.
Apa Penyebabnya?
Ada beberapa
alasan kenapa pendidikan kita bisa terlihat begitu memprihatinkan. Mulai dari
kemampuan literasi baik dari para siswa maupun para guru. Memang mempelajari
sesuatu yang baru sangat tidak enak. Tetapi, justru di situlah pendidikan kita
ditantang.
Kita diajak
untuk belajar sehingga keluar dari zona nyaman. Ketika guru maupun para pemberi
kebijakan tidak punya keinginan untuk mengembangkan dirinya dengan meningkatkan
kemampuan literasi, maka pendidikan kita sedang berjalan di jalan yang salah.
Selain itu
masalah lain yang sedang dihadapi adalah orientasi kebijakan politik pendidikan
yang masih pada standarisasi dan pemenuhan persyaratan administrasi. Orientasi
kebijakan pendidikan di Indonesia masih cenderung penyeragaman administrasi
sistem pendidikan.
Baca Juga: STEAM Sebagai Dasar Pendidikan Masa Depan
Seharusnya
orientasi kebijakan pendidikan diarahkan untuk memerdekakan guru dalam
mengajar. Kemudian membangun siswa sesuai dengan kodrad manusia secara optimal.
Menurut dosen sekaligus pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur
Rizal kodrad manusia adalah rasa ingin tahu, imajinasi, kreativitas, dan
kolaborasi, serta menciptakan sesuatu.
Penilaian
PISA itu bukan untuk mengukur capaian belajar siswa atau guru layaknya Ujian
Nasional. Tetapi mengukur capaian kinerja kebijakan pemerintah untuk urusan
pendidikan. Jadi ketika hasil survei PISA seperti ini, siswa maupun guru tidak
boleh disalahkan.
Sebagaimana
diketahui PISA mengukur kemampuan literasi siswa. Kemampuan ini bukan sekadar
membaca. Tetapi memahami teks untuk memecahkan masalah kontekstual.
Keterampilan seperti itu bisa didapatkan oleh siswa yang dilatih nalar
kritisnya.
Metodologi
pendidikan di Indonesia menjadikan guru dan murid sebagai objek yang paling
bawah dalam ekosistem pendidikan. Efeknya guru cenderung mengejar aspek
administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Seperti administrasi untuk
mendapatkan tunjangan profesi dan lainnya. Hasil PISA yang terus menurun,
kontras dengan dana pendidikan yang terus meningkat.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pandemi
Corona seperti membawa angin segar untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
Pendidikan di Indonesia secara perlahan-lahan dipaksa untuk menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman. Jika sebelum pandemi sekolah menerapkan pembelajaran
tatap muka dan pembelajaran cenderung satu arah, maka di masa pandemi ini semua
sekolah di Indonesia menerapkan Pembelajaran Dalam Jaringan.
Jauh sebelum
corona merebak di negara kita, banyak pendidik di negeri ini entah guru atau
dosen dengan keras menolak gadget digunakan selama jam
pelajaran. Bahkan di media masa pun mereka menulis sekolah anti gadget.
Dalam praktik sehari-hari pun tidak jarang HP siswa yang kedapatan dibawa ke
sekolah dihancurkan oleh pihak sekolah.
Mungkin
terdengar cukup aneh ketika terlontar pernyataan bahwa siswa dididik untuk
persiapan masa depan mereka. Tetapi cara didik yang dilakukan oleh para
pendidik masih mengikuti pola pendidikan zaman revolusi industri. Jika
demikian, masih relevankah pernyataan Ali bin Abi Thalib agar "Didiklah
anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka bukan hidup di zamanmu"?
Bagi saya pernyataan ini akan selalu relevan sepanjang zaman sebab dunia akan terus berubah. Oleh karena itu, metode dan materi pembelajaran pun perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Bagi saya pernyataan ini akan selalu relevan sepanjang zaman sebab dunia akan terus berubah. Oleh karena itu, metode dan materi pembelajaran pun perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Corona telah
“membantu” untuk melakukan transformasi pendidikan di Indonesia. Selama
pandemi, sekolah-sekolah terpaksa harus harus melakukan pembelajaran daring.
Para guru yang sebelumnya anti gadget dalam
pembelajaran terpaksa harus belajar agar bisa tetap mengajar.
Suatu usaha awal yang baik, tetapi pada dasarnya tidak sesuai dengan
pedagogi digital (e-pedagogy).
Sebab, konten sudah tidak penting lagi karena dengan adanya internet betapa
mudahnya mendapatkan konten untuk dipelajari dan sebagian besar gratis.
Fokus pendidikan era 4.0 bukan lagi apa yang dipelajari (what to learn),
melainkan bagaimana caranya belajar (how to learn). Di
sinilah pentingnya posisi seorang pendidik karena mereka harus membimbing
peserta didik agar memahami caranya belajar termasuk belajar dengan
memanfaatkan internet.
Perkembangan dan penyebaran Covid-19 adalah musibah bagi umat manusia.
Akan tetapi, di balik itu ternyata ada dampak positif bagi dunia pendidikan
Indonesia. Proses pembelajaran di lembaga pendidikan di Tanah Air akan menjadi
lebih modern, karena dipaksa untuk melakukan kegiatan belajar mengajar dalam
jaringan dan memanfaatkan gawai. Karena itu, kita pun melihat banyak guru yang
terpaksa belajar konsep e-pedagogy, semua karena the power of kepepet.
Inilah negara “+62”. Ketika keadaan kepepet, maka
saat itulah baru akan belajar.
August 05, 2020
No comments:
Post a Comment