Menu

[Resensi Buku] Lamafa: Pahlawan dari Lamalera


Judul                     : Lamafa
Pengarang             : Fince Bataona
Tebal Halaman       : 145
Penerbit                : Kandil Semesta
Tahun Terbit          : 2015

“Laut bagi orang Lamalera adalah cara pandang yang mengekspresikan sekaligus merepresentasikan semangat, estetika, dan kerinduan komunitasnya“ (hal viii). Demikian disampaikan oleh Yoseph Yapi Taum dalam prolog novel ini. Novel Lamafa yang ditulis oleh Fince Bataona menjadi salah satu novel yang mengangkat kisah masyarakat kecil secara sangat sederhana, tetapi memberi kesan yang mendalam.
Sebagai orang yang lahir dari rahim Lamalera, penulis novel (Fince Bataona) dengan sangat baik membahas desa Lamalera dan keseharian orang-orang di sana. Keseharian yang dilakukan oleh kaum bapak dalam melaut dan kegiatan ibu-ibu tangguh ketika harus berjalan berkilo-kilo meter untuk melakukan barter daging ikan paus dengan jagung atau pisang. 
Pisang dan jagung adalah makanan pokok masyarakat Lamalera. Hal itu disebabkan kondisi geografis Lamalera yang gersang sehingga untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka harus melakukan barter dengan orang-orang dari daerah pegunungan. Selain itu, penulis novel juga berhasil mengisahkan kerasnya hidup di Lamalera dan merekam betapa pentingnya berkorban dan berjuang untuk masyarakat.


Sebagai novel etnografis, hal ini nampak dalam tema, latar tempat dan narasi tentang lamafa dan budaya menangkap ikan paus. Lamafa merupakan pemimpin dalam perburuan ikan paus dan ’jabatan‘ itu diwariskan turun temurun. Tokoh lamafa dalam novel ini pun dengan cukup detail dijelaskan sejak dia masih kecil, proses pendidikannya menjadi lamafa hingga pada akhirnya menjadi seorang lamafa yang handal.
Sebagaimana disampaikan dalam novel ini, “seorang lamafa adalah pribadi yang sakral. Kesakralan dirinya terkandung dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya. Dari peran lamafa yang memimpin awak peledang (perahu penangkapan ikan paus) untuk menyambut knato (Tuhan di tengah laut), tersingkap suatu makna bahwa kepada lamafa para warga kampung mendapukkan harapan agar lamafa dan rekan-rekan seperahu kembali ke darat sambil membawa ikan paus. Ikan paus itu adalah penanda bahwa warga kampung nelayan Lamalera terus hidup selama satu musim ke depan“ (hal 122).
Lamafa melakukan tugas yang sakral. Saat memegang tempuling, lamafa menggenggam harapan hidup tidak hanya untuk keluarganya, tetapi untuk seluruh warga kampung. Lamafa adalah kehidupan. Di bahunya dan para matros-lah (para pendayung perahu) harapan hidup masyarakat sekampung ditimpakkan. Keberhasilan mereka dalam berburu paus akan membawa kehidupan untuk masyarakat sekampung.

Pokok Permasalahan
Lamalera desa kecil di selatan pulau Lembata telah mendunia karena kemampuan mereka mempertahankan tradisi yang telah diwariskan selama ratusan tahun. Bahkan ketika laut Sawu hendak dikonservasi oleh pemerintah, masyarakat Lamalera dengan gigih mempertahankannya. 
Setidaknya sedikit gambaran konflik itu bisa terlihat dari upaya Johanes yang merupakan putra Lamalera dan juga putra seorang lamafa dijadikan juru kampanye pemerintah agar masyarakat Lamalera setuju dengan tawaran itu.
Berikut kutipannya “Bapak dan Mama harus paham bahwa ikan paus yang kita bunuh bisa punah jadi kita harus lindungi. Kita diatur untuk tidak lagi memburu paus tetapi diberi fasilitas tangkap lain dan kita boleh menangkap ikan-ikan lain kecuali ikan paus. Hasilnya akan lebih bagus dan kesejahteraan hidup akan meningkat. Bapak, Mama bisa paham penjelasan kami?“ (hal 72)
Tentu saja usulan konyol itu ditolak oleh masyarakat Lamalera. Laut adalah sumber hidup mereka. Ikan paus adalah sumber rejeki sekaligus yang menjadi penopang hidup mereka. Konservasi yang ditawarkan pemerintah adalah teror terhadap tradisi dan keberadaan mereka. 
Bila konservasi dilaksanakan, maka itu menjadi pembunuhan terhadap eksistensi lamafa dan warga nelayan Lamalera. Apalagi penangkapan ikan paus merupakan budaya yang di dalamnya mengandung semesta kehidupan dan keberadaan orang-orang Lamalera yang memiliki, memelihara dan terus mempraktikkan budaya lefa (penangkapan ikan paus).
Dengan lantang mereka menolaknya. “Kami tidak butuh uang untuk menukar laut kami. Tidak akan pernah. Silahkan bawa kembali uang-uang itu“. Tanggapan lain yang disampaikan dalam novel ini juga tidak kalah kerasnya. “Kesejahteraan hidup seperti apa? Apakah bapak-bapak kira begitu mudahnya meninggalkan warisan leluhur kami? Hidup kami ini di laut. Melaut adalah warisan yang tidak bisa digantikan dengan apapun“. (hal 73)
Tanggapan paling pedas datang dari sang kakak Paulus Ama Atakebelen lulusan Fakultas Sosial Universitas Nusa Cendana Kupang dengan IPK 3,99 yang memilih menjadi lamafa seperti bapaknya. Dengan tegas dia menentang adiknya. “Johanes.. berhentilah bicara soal konservasi. Engkau anak Lamalera dan engkau tentu saja paham meski itu sedikit. Nelayan Lamalera sudah melakukan yang namanya konservasi itu. Jadi tidak perlu mengkhawatirkan hal yang semestinya tidak perlu. Kami bukan memburu ratusan ekor ikan paus untuk kepentingan industri. Bilang pada para pejabat itu, masih banyak hal yang diurus di Lamalera sini seperti jalan yang sangat buruk dan air yang sangat sulit“ (hal 73-74).


Paulus Ama Atakebelen selain sebagai anak kandung Lamalera juga seorang lamafa tentu sangat paham dengan kebutuhan masyarakat di sana. Konservasi yang ditawarkan Johanes dan pemerintah tidak akan pernah diterima oleh masyarakat Lamalera. Masyarakat di sana mengetahui maksud dari konservasi itu karena konservasi itu hanya akan membunuh masa depan anak-anak Lamalera. Mimpi-mimpi mereka akan terbunuh dengan adanya konservasi itu.
Perburuan yang dilakukan orang Lamalera selama ratusan tahun tidak pernah mengurangi pupolasi ikan paus di lautan. Setiap tahun mereka hanya menangkap tidak lebih dari 10 ekor dan itu pun dagingnya dibagikan kepada seluruh warga kampung. Bahkan para janda selalu diprioritaskan ketika pembagian daging ikan paus. 
Itulah beberapa alasan kenapa masyarakat Lamalera menolak tawaran pemerintah untuk melakukan konservasi. Sebab mereka pun tahu kapan waktu untuk berburu ikan paus. Jadi, tidak sepanjang tahun mereka melakukan perburuan, melainkan hanya bulan Mei sampai September. Ikan paus yang diburu pun hanya jenis paus sperma dan tidak sedang hamil.
Permasalahan yang ditampilkan di atas menjadi masalah khas di sana. Lamalera sebagai wilayah tandus dan gersang tentu berharap pemerintah memperhatikan masalah air bersih dan jalan raya. Jika laut sebagai tempat masyarakat Lamalera menyambung hidup diambil pemerintah, di manakah mereka mencari sumber rejeki? Di manakah mereka mencari penghasilan untuk bisa bertahan hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka?


No comments:

Post a Comment