Menu

Covid-19: Penderitaan yang Melahirkan Harapan



Pengantar
Di manakah Allah saat ini? Apakah Allah yang menciptakan bencana ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bermunculan tatkala penderitaan merundung kehidupan manusia. Sebuah konsep yang menyalahkan eksistensi Allah tatkala penderitaan yang dihadapi tidak memiliki jalan keluar. Semakin besar penderitaannya, semakin banyak manusia yang menyebut nama Allah, entah untuk penguatan, atau pun dalam kemarahan.[1] Mereka menyebut Allah untuk sebuah pertolongan atau pun untuk menyalahkan atas situasi yang dialami.
Situasi serupa mungkin dihadapi oleh sebagian manusia yang hidup pada masa Covid-19 melanda dunia. Sekadar informasi tentang Covid-19, Covid-19 merupakan sebuah Virus yang berasal dari sebuah kota China, yaitu Wuhan. Virus ini dapat dengan mudah menyebar ke tubuh manusia. Kematian seolah-olah menjadi sebuah candaan yang dapat dengan mudah direnggutnya.
Kehadiran virus ini telah menimbulkan ketakutan, keresahan, dan kecemasan bagi banyak orang. Berhadapan dengan situasi seperti ini, tatkala manusia tidak menemukan jalan keluarnya, banyak di antara mereka mempertanyakan eksistensi Allah. Jargon-jargon yang disematkan pada diri Allah seperti Maha baik, Maha pengasih, Maha pengampun dan lain-lain seketika hilang. Eksistensi Allah pun terus dipertanyakan. Tentang Allah, manusia bertanya, bahkan menuntut: Apakah Allah ada? Jika Ia ada, mengapa Ia tega membiarkan tragedi ini menimpa manusia?[2]
 Benarkah Allah menciptakan bencana ini? Untuk menjawab itu, mungkin perlu melihat kembali perkataan tokoh klasik, yaitu santo Agustinus. Agustinus mengatakan, penderitaan dan kejahatan yang ada di dunia ini tidak boleh pernah diterangkan sebagai yang berasal dari Allah, karena itu bertentangan dengan hakikat Allah sebagai yang maha baik.[3] 


Allah pada hakikatnya adalah pribadi yang baik. Penderitaan yang menimpa manusia pada saat ini berasal dari kebebasan yang dimiliki manusia. Kebebasan membuat manusia mampu melakukan apa pun sesuai dengan kemampuannya, bahkan menciptakan kejahatan dan penderitaan. Penderitaan dan kejahatan di dunia ini disebabkan oleh manusia yang salah menggunakan kebebasannya.[4] Allah tidak pernah menciptakan penderitaan karena Allah adalah kasih.

Allah  yang  Mahabaik
Allah pada hakikat adalah pribadi yang baik. Mungkin banyak di antara kita yang mempertanyakan, apakah Allah benar-benar baik? Jika Allah itu sungguh baik, mengapa Ia menciptakan bencana? Allah tidak pernah menciptakan penderitaan dan bencana.
Allah menciptakan hukum alam yang ketika dilanggar mendapat hukum karma. Ia menciptakan kebebasan kepada manusia untuk berkuasa atas ciptaan yang lain. Namun, manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap ciptaan lain. Di lain pihak, manusia tidak dapat menyangkal bahwa ia ciptaan yang lemah, dan betapa sering ia tak setia pada komitmen merawat bumi serta solider dengan sesama.[5] 
Ciptaan-Nya mencerminkan wajah Allah. Dalam kosa kata santo Bonaventura, di balik alam semesta tersembunyi rasio kekal yang mengatur, yaitu kebijaksanaan Allah.[6] Namun, banyak manusia juga berpendapat bahwa bencana dan penderitaan merupakan peringatan dari Allah.
Frankil Graham putra penginjil Billy Graham pernah mengatakan “'Tuhan akan menggunakan badai itu untuk membawa bangunan rohani. Tuhan punya rencana, Tuhan memiliki tujuan.''[7] Hal ini ia ungkapkan seminggu setelah badai Kartrina melanda Amerika Serikat, seminggu setelah New Orleands dilanda banjir dan membunuh banyak orang di Amerika Serikat. 

Lalu, terkait situasi Covid-19, apakah kehadiran virus itu merupakan ciptaan Allah? Tidak, Allah tidak pernah menciptakan penderitaan. Seperti yang St. Agustinus katakan, kebebasan yang dimiliki manusia justru menciptakan hadirnya penderitaan. Namun, bagaimana dengan kebebasan yang dimiliki manusia, apakah kebebasan itu berasal dari Allah? Karena ketika kebebasan itu berasal dari Allah, dengan sendirinya Allah bertanggung jawab atas penderitaan tersebut. Inilah problem yang kita hadapi pada saat ini. Pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi Allah bermunculan tatkala penderitaan berhadapan dengan situasi batas serta buntunya jawaban atas penderitaan tersebut.


Sejarah pun telah membuktikan kebaikan hati Allah. Dalam kitab Keluaran dikisahkan campur tangan Allah atas kehidupan bangsa Isreal. Allah menuntun bangsa Israel melalui Musa untuk keluar dari Mesir dan menuju tanah terjanji. Kebaikan diri Allah pun nyata terwujud dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus. Yesus telah menderita untuk keselamatan manusia. Yesus mengorbankan diri untuk menghapus dosa manusia.

Salah satu metafora utama untuk menjelaskan makna kematian Kristus adalah korban atau lebih tepat korban penghapus dosa.[8] Allah telah mengutus putra-Nya untuk menghapus dosa manusia melalui penderitaan-Nya di salib. Yesus bangkit dari kematian dan mengalahkan maut dosa. Manusia pun demikian, manusia pun akan dibangkitkan bersama Kristus. Penderitaan dan kebangkitan Kristus inilah yang perlu kita refleksikan dalam menghadapi situasi manusia zaman ini, secara khusus dalam menghadapi situasi Covid-19.

Penderitaan dan Kebangkitan Kristus: Refleksi atas Covid-19
Situasi Covid-19 telah menimbulkan ketakutan dalam diri manusia, takut terkena virus lalu meninggal dunia. Bukan hanya itu, efek lain dari kehadiran virus ini berdampak pula pada tatanan ekonomi, sosial, dan politik. Kecemasan yang berlebihan pun mulai muncul, penyakit-penyakit yang memiliki indikasi seperti Covid-19 akan dicurigai, ketika bersin atau flu biasa pun diindikasikan gejala terserang Covid-19. Para kriminal melancarkan aksi dengan alasan di-PHK dari kantor.
Semua orang menggunakan segala cara agar dapat bertahan hidup, kematian sesuatu yang sangat ditakutkan. Namun, ketika  kita merefleksikan salib dan Kebangkitan Kristus, kita tidak perlu cemas dan takut akan kematian itu, karena kita yakin dan percaya bahwa kita pun akan diselamatkan oleh Kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus melahirkan pengharapan yang besar. Demikian pun dalam situasi saat ini, keyakinan umat beriman akan kebangkitan Kristus menguatkan mereka dalam menghadapi Covid-19.
Melalui kebangkitan-Nya, Yesus telah membuktikan diri-Nya sebagai Allah yang menyelamatkan. Ia manusia sekaligus Allah. Kebangkitan yang menjadi momen mengungkapkan jati diri Yesus.[9] Melalui kebangkitan-Nya pula, Yesus memberi pengharapan kepada umat beriman sebuah keselamatan kekal.
Kebangkitan Kristus juga merupakan wujud nyata kebaikan hati Allah kepada manusia. Allah menyerahkan Putra-Nya untuk menderita, disalib, wafat, dan bangkit demi dosa dan keselamatan manusia. Kebangkitan Kristus adalah satu-satunya harapan umat manusia pada saat ini.


Di tengah masalah Covid-19 yang belum menemukan jalan akhir, penawar Covid-19 yang belum ditemukan, rusaknya tatanan ekonomi, sosial, dan politik, serta banyak manusia yang meninggal, tentunya harapan kita ada pada keselamatan yang Yesus tawarkan. Bagi seorang Kristen, sumber dari harapan manusia ialah Yesus Kristus.[10] Yesus adalah kebangkitan yang membawa keselamatan. Ia telah bangkit dari maut, demikian pun umat-Nya akan di bangkitkan bersama-Nya.

Penutup
Situasi Covid-19 telah menimbulkan keresahan bagi manusia pada saat ini. Covid-19 telah menimbulkan kecemasan dan ketakutan, ketakutan terbesar adalah terkena virus lalu meninggal. Untuk itu, semua manusia berusaha semampu mereka untuk dapat bertahan hidup. Kehidupan akibat Covid-19 ini seperti seorang pujangga yang berpetualang di hutan sendirian dan kapan saja hidupnya dapat direnggut oleh binatang buas.
Setiap orang memikirkan bagaimana cara agar dapat bertahan hidup di tengah pandemi ini. Namun di balik semua itu, mereka memiliki harapan besar agar masalah ini dapat selesai. Satu-satunya harapan manusia pada saat ini ada pada campur tangan Allah. Sebab hingga saat, pengetahuan sains belum menemukan penawar dari Covid-19. Allah adalah pengharapan satu-satunya. [Apri Lowa]



DAFTAR PUSAKA

Sunarko, Adrianus. Teologi Kontekstual. Jakarta: OBOR, 2016.
..........., Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik. Jakarta: OBOR, 2017.
Stern, Gary. Can God Intervene?: How Religiom Explains Natural Disaster. London: Praeger, 2007.
Andreas Atawolo, “Corak Harapan Kristiani”, dalam https://andreatawolo.id/2020/04/teologi-harapam/.

Sumber gambar 1: localprayers.com
Sumber gambar 2: teepublic.com



[1] Gary Stern, Can God Intervene?: How Religion Explains Natural Disaster, (London: Praeger, 2007), hal. 2.
[2] Bdk. Andreas Atawolo, “Corak Harapan Kristiani”, dalam https://andreatawolo.id/2020/04/teologi-harapam/. Diakses pada tanggal 3 Mei 2020, pukul 20:35.
[3] Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual, (Jakarta: OBOR, 2016), hal. 55.
[4] Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual, hal. 56.
[5] Bdk. Andeas Atawolo, “Corak Harapan Kristiani”, dalam https://andreatawolo.id/2020/04/teologi-harapam/. Diakses pada tanggal 3 Mei 2020, pukul 20:35.
[6] Andreas B. Atawolo, Hasrat Allah akan Jiwa Manusia: Belajar dari Teknologi St. Bonaventura, (Jakarta: OBOR, 2017), hal. 25.
[7] Gary Stern, Can God Intervene?: How Religiom Explains Natural Disaster, (London: Praeger, 2007), hal. 6.
[8] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik, (Jakarta: OBOR, 2017), hal. 13.
[9] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik. hal. 10.
[10] Bdk. Andeas Atawolo, “Corak Harapan Kristiani”, dalam https://andreatawolo.id/2020/04/teologi-harapam/. Diakses pada tanggal 3 Mei 2020, pukul 20:35.


2 comments: