Menu

[Resensi Buku] Absurditas dalam Novel Sampar


Judul            : Sampar (judul asli: La Peste)
Penulis         : Albert Camus
Penerjemah  : NH. Dini
Penerbit       : Yayasan Pusataka Obor Indonesia
Cetakan       : III, November 2013
Tebal           : x + 386 halaman

Setelah menulis novel L’Etranger (Orang Asing) novel pertamanya terbit tahun 1942, Albert Camus menulis novel La Peste (Sampar). Sepuluh tahun setelah novel ini terbit, Camus mendapat nobel sastra tahun 1957. Novel Sampar bercerita tentang epidemi sampar di kota Oran, Aljazair. Sebuah kota yang pada awalnya tenang dan kalem-kalem saja kemudian ditimpa wabah sampar. Diawali dengan kemunculan masif tikus-tikus yang linglung kemudian mati dan diikuti angin panas lalu hadirlah sampar di kota Oran.
Dokter Rieux (tokoh utama) hampir putus asa melihat epidemi yang merajalela ini. Dokter Rieux tidak berambisi untuk menjadi juru selamat dari Sampar. Ia hanya melakukan kewajibannya sebagai manusia dengan keahlian yang dia miliki. Para dokter tidak dapat menyembuhkan penyakit, tetapi hanya dapat mendiagnosa, memutuskan kemudian memerintahkan untuk karantina. Nasib masyarakat Oran benar-benar tragis. Mungkin setragis kondisi pandemi Covid-19 sekarang.

Baca Juga: [Resensi Buku] Lamafa: Pahlawan dari Lamalera

Sampar mengurung kota Oran. Kota ini ditutup dan tidak boleh ada penduduk yang keluar masuk atau dengan istilah sekarang lockdown. Terjadi banyak pengucilan, penyingkiran, dan pengasingan karena Sampar. Dalam alur cerita, Rieux bertemu Tarrou yang menjadi lawan bicaranya. Selain itu ada tokoh bernama Cottard yang mencerminkan watak egois dan licik. Namun tiga karakter utama dalam novel Sampar adalah Pencerita, Kota dan Penyakit Sampar. Pada dasarnya melalui novel Sampar ini Albert Camus ingin menunjukan bahwa manusia akan mengeluarkan protesnya ketika berhadapan dengan kondisi-kondisi absurdnya.
Novel ini merupakan karya terlaris dari Albert Camus. Paham Absurditasnya jelas diwakilkan dalam novel ini. Sebagai karya sastra dan filsafat, Camus sukses menjadikan novelnya ini sebagai senyawa. Wabah Sampar adalah sesuatu yang absurd, tidak ada yang dapat menjelaskan mengapa kota Oran yang awalnya tenang saja kemudian diserbu Sampar. Sampar yang datang mendadak membuat penduduk Oran tidak sanggup berbuat apa-apa selain pasrah.

Baca Juga: Covid-19: Penderitaan yang Melahirkan Harapan

Tidak ada yang dapat menjelaskan ketenangan kota Oran yang tiba-tiba terusik dan bagaikan kota akibat merebaknya sampar. Tidak ada yang dapat menerangkan pula sebab penyakit sampar yang telah menyerang kota Oran. Penyakit sampar datang secara mendadak dan membuat seluruh penduduk kota cemas. Akan tetapi, penduduk kota seakan tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya dapat menerimanya saja.
Permasalahan menjadi absurd karena penyakit sampar bukanlah akibat dari suatu sebab. Apalagi sebagai hasil konspirasi oknum-oknum tertentu. Penyakit sampar benar-benar misteri. Apalagi penyakit ini pun membunuh anak-anak yang tidak berdosa. Penderitaan yang ada di dunia ini semakin tidak bisa dimengerti ketika korbannya adalah anak-anak kecil yang tidak bersalah belum berdosa.
Bila diungkap latar sejarahnya, cara Camus mengelaborasi suasana kota Oran yang terserang epidemi merupakan proyeksi keadaan negeri Prancis yang sedang dalam cengkeraman pendudukan Nazi. Kuantitas epidemi Sampar dan perang yang terjadi di dunia sama banyaknya. Keduanya juga sama-sama menyerang tanpa disadari manusia.

Baca Juga: [Resensi Buku] Søren Aabye Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri

Sama dengan novelnya Orang Asing, Camus memotret absurditas yang menjadi wajar. Deskripsi latar pada Sampar tidak lebai untuk menggambarkan sebuah kota yang terkurung oleh wabah penyakit Sampar. Sederhana dan apa adanya. Selain itu karakter tokoh-tokohnya juga tidak terlihat sebagai superman, mereka hanya ibarat mewakili unsur-unsur: Pencerita, Kota, dan Sampar. Novel ini juga dapat dipandang sebagai paket seni, sastra dan filsafat. Camus membungkusnya dalam sampar yang menyajikan absurditas dengan cara yang sama sekali tidak absurd. Secara keseluruhan novel sampar menjadi pintu gerbang untuk memasuki pemikiran-pemikiran Albert Camus yang identik dengan pembahasan penderitaan, pemberontakan dan solidaritas.

Sumber gambar: shopee.co.id


4 comments: