Menu

Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls

                                  (Ket. gambar: Sekolah seni dari Athena)

Menurut Kant, manusia adalah makhluk rasional yang menghendaki sebuah hukum untuk membatasi kebebasan. Karena manusia dapat tergoda oleh kecenderungan egoistisnya yang bersifat hewani, mengecualikan dirinya dari hukum di mana pun dia dapat melakukan itu. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seorang tuan yang mengharuskannya untuk mematuhi suatu kehendak yang sahih secara universal. Namun, pemimpin tertinggi ini seharusnya adil dalam dirinya sendiri dan juga dengan yang lain. Mengorganisir makhluk rasional, yang bersama-sama menuntut hukum universal bagi kelangsungan hidup mereka.
Namun, setiap individu secara diam-diam cenderung mengecualikan dirinya dari yang lain. Oleh karena itu, haruslah konstitusi negara dirancang sedemikian rupa, meskipun para warga negara saling bertentangan satu sama lain dalam sikap-sikap pribadi mereka. Pertentangan-pertentangan itu dapat dibatasi dengan cara sedemikian rupa, sehingga perilaku publik warga negara akan sama, seakan-akan mereka tidak mempunyai sikap-sikap jahat. 


Baca Juga: [Resensi Buku] Absurditas dalam Novel Sampar

Perlu diketahui bahwa tugas semacam itu tidak menyangkut perbaikan moral manusia. Melainkan hanya berarti menemukan cara bagaimana mekanisme alamiah dapat diterapkan pada manusia sedemikian rupa. Oleh karena itu, antagonisme sikap-sikap keji mereka akan membuat mereka saling memaksa untuk tunduk pada hukum yang memaksa. Dengan jalan itu, menghasilkan sebuah keadaan damai untuk memberlakukan hukum.
Menurut Kant, prinsip universal dari hukum adalah bertindaklah secara lahiriah sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan kehendak bebasmu dapat bersesuaian dengan kebebasan setiap orang menurut sebuah hukum. Sebuah hukum yang mengikatmu, namun hal itu tidak berarti bahwa aku harus membatasi kebebasananku semata-mata demi ikatan kewajiban itu. Melainkan, akal budi mengatakan bahwa kebebasan individual terbatas dengan cara ini, berkat ide yang implisit di dalamnya.
Konsep rasionalitas Kantian dipandang gagal menjembatani pusparagam budaya pada tataran global. Karena terjebak dalam paradigma berpikir eurosentris yang parokial sekaligus hegemonial. Oleh karena itu, John Rawls mengembangkan teorinya berdasarkan tradisi universalisme imperatif kategoris Immanuel Kant. Rawls mencoba membangun struktur dasar sebuah masyarakat yang adil. Dengan demikian, Rawls memahami teorinya sebagai warisan paradigma Kantian, mencerminkan kerinduan kodrati manusia untuk tidak memperlakukan yang lain sebagai sarana, tetapi tujuan  dalam dirinya.


Baca Juga: [Resensi Buku] Søren Aabye Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri

Menurut Rawls, kondisi purba merupakan syarat yang memungkinkan semua warga menerima prinsip-prinsip keadilan atau kontrak sosial. Karena mereka melihat bahwa dengan itu mereka semua diuntungkan. Dalam kondisi seperti ini mereka tidak mengetahui model masyarakat macam apa yang akan mereka tempati serta posisi atau jembatan sosial apa yang mereka peroleh. 
Rawls menyebut syarat atau situasi ini sebagai “cadar ketidaktahuan”. Di bawah “cadar ketidaktahuan” ini, manusia dalam “posisi asali” mendiskusikan prinsip fairness untuk sebuah tatanan politis yang adil. Hal ini dipandang adil karena dirumuskan dalam posisi asali di mana orang belum tahu ia akan masuk dalam kelompok yang mana.
Rawls menambahkan bahwa manusia dalam original position sekurang-kurangnya mengetahui secara umum tentang hubungan sosial dan ekonomi. Sebab pengetahuan ini merupakan conditio sine qua non, agar mereka dapat berdiskusi lebih lanjut. Selain itu, mereka memiliki akal budi kodrati dan pemahaman akan keadilan. Lantaran semua berada pada posisi yang sama dan tidak seorang pun dapat berpikir tentang prinsip dasar yang dapat menguntungkan. Maka, prinsip-prinsip keadilan merupakan hasil sebuah kesepakatan atau perbincangan fair.

Baca Juga: [Resensi Buku] Filosofi Teras: Seni Manajemen Diri

Berdasarkan syarat-syarat tadi, menurut Rawls, manusia pada original possition memutuskan untuk mengikuti dua macam prinsip. Pertama, kesetaraan. Setiap orang memiliki hak yang sama atas keseluruhan sistem kebebasan asasi yang sama dan diakses oleh semua orang. Prinsip ini bertolak dari pengandaian bahwa dalam posisi purba tidak seorang pun mengetahui pandangan politis, filosofis, dan religius masing-masing di masa depan. Yang tergolong kebebasan asasi di sini adalah kebebasan politis seperti kebebasan memilih secara pasif dan aktif serta kebebasan berbicara dan berserikat. Juga kebebasan suara hati, kebebasan berpikir, dan perlindungan dari penahanan sewenang-wenang.
Kedua, prinsip perbedaan. Ketidaksamaan sosial dan ekonomis diterima sejauh kondisi itu mendatangkan keuntungan lebih besar bagi kelompok sosial yang mengalami nasib paling buruk. Dengan teori keadilan, Rawls mengembangkan liberalisme dengan basis filosofis. Atas dasar faktum ketidaksamaan sosial, Rawls mau menunjukkan syarat-syarat rasional yang mungkin demi terbentuknya kerja sama sosial yang stabil dan adil.

Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/users/janeb13

No comments:

Post a Comment