gereja,
Katolik,
Sejarah,
teologi
Silence: Tuhan yang Diam atau Gereja yang Diam? [1]
Ket: Novel Silence karya Shusako Endo
Pengantar
Novel ini merupakan salah
satu novel terlaris karya Shusako Endo. Banyak orang yang mengapresiasi novel silence, akan tetapi banyak juga yang
menganggap karya Shusako Endo ini hanyalah untuk ketenaran semata. Novel silence telah membawa kita pada suatu
sejarah yang mungkin selama ini dilupakan bahwa agama Katolik pernah hadir di
negeri Matahari Terbit.
Novel ini menghadirkan
secuil kisah dari perjuangan orang Katolik pada zaman itu. Orang-orang Katolik
di Jepang mengalami nasib seperti jemaat Katolik ketika ditindas oleh
kekaisaran Romawi. Penulis memberikan judul novelnya tentu saja memiliki maksud
tertentu, sehingga saya pun tertarik mengulas novel ini dengan judul “Silence:
Tuhan yang Diam atau Gereja yang Diam?”
Maksud Shusaku Endo
Menulis Novel Silence
Bapa kami bukan
mempermasalahkan benar dan salahnya doktrinmu. Di Spanyol dan Portugis dan
negeri-negeri lain semacamnya, doktrin itu mungkin benar. Sebabnya kami
melarang Kristianitas di Jepang adalah setelah menimbang-nimbang dengan saksama
dan mendalam, kami mendapati ajaran itu tidak ada gunanya untuk Jepang masa
kini.”[1]
Baca Juga: Kotak Pandora di Balik Kehancuran Jepang di Tangan Sekutu
Baca Juga: Kotak Pandora di Balik Kehancuran Jepang di Tangan Sekutu
Shusako Endo selain ingin
menceritakan kembali kepada pembaca tentang sejarah kelam kekatolikan di Jepang
juga sebenarnya mengkritik agama Katolik. Kritik yang disampaikan memang tidak
disampaikan secara langsung, tetapi agama Katolik perlu beradaptasi dengan
setiap tempat jika ingin menyebarkan ajarannya.
Jepang adalah
rawa-rawa[2], maka pohon yang harus ditanam di sana adalah Bakung atau Hidrila
bukannya Mahoni atau Jati. Jika pohon Mahoni atau Jati yang ditanam dapat
dipastikan pohon itu akan segera mati karena bukan habitatnya untuk tumbuh di
rawa-rawa. Demikian juga dengan agama Katolik. Para misionaris harus bisa
memahami situasi dan kondisi suatu tempat jika ingin menyebarkan ajarannya.
Kesalahan para misionaris
waktu itu adalah mereka tidak mampu menemukan bentuk kristianitas yang sesuai
dengan karakter nasionalnya. Pohon Kristianitas Hellenistik tidak bisa begitu
saja dicabut di Eropa dan ditanam begitu saja di rawa-rawa Jepang yang
mempunyai tradisi budaya yang sepenuhnya berbeda. Kalau hal itu dilakukan,
tunas pohon yang masih muda itu akan layu dan mati. Perbedaan latar tempat
penyebaran ajaran kekatolikan harus dipahami oleh para misionaris.
Baca juga: Memaknai Trinitas dalam Kehidupan Berpancasila
Baca juga: Memaknai Trinitas dalam Kehidupan Berpancasila
Shusako Endo hanya ingin
menggarisbawahi kegagalan agama Katolik dalam mendapatkan tempat ‘istimewa’ di
hati pemerintah Jepang adalah kegagalan mereka untuk melakukan inkulturasi
dengan budaya setempat. Budaya Barat yang Hellenistik terlalu dipaksakan kepada
Jepang. Siapapun pasti akan menolak jika seorang tamu memaksakan kehendaknya
kepada tuan rumah. Singkatnya, di mana bumi dipijak, di situ langit dijinjing.
Konteks Situasi
Sosial[3]
Situasi sosial pada masa
itu adalah terjadinya ketidakpercayaan orang-orang Jepang terhadap orang-orang
Eropa yang ingin menguasai Jepang. Hal ini bermula dari hubungan perdagangan
yang mulai renggang antara kekaisaran Jepang dengan para pedagang Barat.
Tahun 1579 merupakan
puncak aktivitas misionaris Katolik di sana karena sekitar 130.000 orang yang
menjadi Katolik. Data yang diperoleh di kemudian hari menunjukkan jumlah orang
Katolik di Jepang pernah mencapai 400.000 orang.
Menjelang akhir abad
ke-16, Jepang menjadi komunitas Katolik luar Eropa terbesar yang tidak berada
di bawah kekuasaan Eropa. Jepang adalah salah satu negara di luar Eropa di mana
semua anggota Jesuit penduduk lokal, seperti halnya dengan misi Katolik di
Meksiko, Peru, Brasil, Filipina, atau India, terlepas dari kehadiran elit
kolonial.
Agama Katolik diterima
oleh banyak orang di sana karena semua orang dari berbagai kelas sosial
berhasil dirangkul, seperti orang miskin, kaya, petani, pedagang, pelaut,
pejuang, atau pelacur. Sebagian besar kegiatan harian Gereja dilakukan
oleh orang Jepang, dan ini adalah salah satu alasan keberhasilannya. Pada
tahun 1590, terdapat tujuh puluh Putra asli Jepang menjadi biarawan setengahnya
adalah Yesuit di Jepang dan lima belas persen dari 70 orang itu berkarya di
luar Jepang.
Situasi berubah
ketika Toyotomi Hideyoshi menjadi Shogun. Ketika menjadi
penguasa Jepang, Hideyoshi mulai memperhatikan ancaman eksternal, terutama
perluasan kekuatan Eropa di Asia Timur. Titik balik untuk misi Katolik
adalah insiden di San Felipe, kapten kapal dagang Spanyol mengklaim bahwa
para misionaris yang ada di sana mempersiapkan penaklukan Jepang. Klaim
ini membuat Hideyoshi curiga terhadap agama asing tersebut. Ia berusaha untuk
mengekang Katolik, tetapi tetap menjaga hubungan perdagangan dengan Portugis
dan Spanyol.
Baca Juga: Manusia Menurut Victor E. Frankl
Baca Juga: Manusia Menurut Victor E. Frankl
Pada tanggal 5 Februari
1597, dua puluh enam orang Katolik - enam Fransiskan Eropa, tiga Jesuit
Jepang dan tujuh belas awam termasuk tiga anak muda disalibkan
di Nagasaki. Setelah itu terjadi pengejaran terhadap orang Katolik dan
martir yang paling terkenal dari antara mereka adalah Paulus Miki yang diperingati
setiap tanggal 6 Februari. Penganiayaan terus berlanjut secara sporadis, pecah
lagi pada tahun 1613 dan 1630. Pada tanggal 10 September 1632, 55 orang Katolik
menjadi martir di Nagasaki.
Tokugawa Ieyasu
Setelah kematian Toyotomi
Hideyoshi, Tokugawa Ieyasu berkuasa atas Jepang, pada tahun 1600.
Seperti Toyotomi Hideyoshi, ia tidak menyukai kegiatan Katolik di Jepang tetapi
ia tetap mengutamakan perdagangan dengan Portugis dan Spanyol. Dia membangun
perdagangan dengan Filipina. Relasi dagang dengan pihak Katolik membuat
kebijakannya tidak konsisten.
Pada saat yang sama, dalam
usaha untuk merebut kendali perdagangan di Jepang, pedagang Belanda dan Inggris
menasehati bahwa Spanyol memang memiliki ambisi teritorial, dan bahwa
Katolikisme adalah sarana utama Spanyol. Sebaliknya, Belanda dan Inggris
berjanji bahwa mereka akan membatasi diri hanya untuk berdagang dan tidak akan
melakukan kegiatan misionaris di Jepang.
Tokugawa akhirnya
memutuskan untuk melarang penyebaran agama Katolik tahun 1614, dan pada
pertengahan abad ke-17 menuntut pengusiran semua misionaris Eropa. Hal
ini menandai akhir dari Katolik terbuka[4] di Jepang. Penyebab langsung
dari larangan adalah kekuatiran Tokugawa terhadap kemungkinan invasi
oleh Spanyol dan Portugis, yang sebelumnya terjadi di Amerika Latin dan
Filipina.
Pada tahun 1615,
seorang Fransiskan utusan Raja Muda Baru Spanyol meminta
kepada Shogun tanah untuk membangun sebuah benteng dan ini memperdalam
kecurigaan Jepang terhadap Katolik dan Spanyol. Orang Katolik dianggap
membawa gangguan kepada masyarakat Jepang dan pengikut mereka "bertentangan
dengan peraturan pemerintah, menolak Shinto, dan mempergunjingkan Undang-undang".
Pada abad ke-19 Jepang kembali menerima orang-orang Katolik berkarya di sana.
Makna Sosial Penindasan
Sasaran dari penyiksaan
terhadap orang Katolik di Jepang adalah pengingkaran atas iman Kristiani.
Membunuh tak pernah menjadi tujuan; kematian hanya menjadi akibat paling akhir
ketika tawaran untuk mengingkari menemui jalan buntu. Penguasa Jepang pun mencari
variasi penyiksaan.
Baca juga: [Resensi Buku] Memahami Pemikiran Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas
Baca juga: [Resensi Buku] Memahami Pemikiran Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas
Pada akhirnya mereka
berusaha untuk mencabut akar agar tunas Kristianitas yang telah tumbuh. Itulah
sebab, sasaran rayuan dialihkan kepada para Padre Rodrigues. Dia adalah
pemimpin sekaligus kepalanya. Itu artinya, tanpa harus mengorbankan lebih
banyak nyawa jika Padre Rodrigues menyangkal imannya.
Dari novel, makna sosial
yang hendak disampaikan adalah pemerintah akan melakukan apa saja untuk
membendung wilayah kekuasaanya yang dirasanya dapat menggangu pemerintahannya.
Agama Katolik dipandang sebagai pengganggu kestabilan pemerintahan Jepang.
Jalan terbaik yang dilakukan adalah memusnahkan agama Katolik dari bumi Jepang.
Caranya adalah dengan menyiksa dan penidasan yang dilakukan tiada henti.
Penindasan yang dilakukan
secara terus-menerus diharapkan menumbulkan efek jera bagi yang disiksa. Akan
tetapi, dari sejarah ternyata agama Katolik mampu bertahan dan melewati
masa-masa penyiksaan itu dengan sangat hebat.
Masa penyiksaan dilewati
hingga pada akhirnya bangsa Jepang kembali membuka diri untuk berelasi dengan
dunia luar dan agama Katolik menghirup udara segar. Tetapi, dari semua itu yang
patut dilihat adalah solidaritas di antara orang Katolik itu sendiri. Di sini
sangat berlaku teori Emile Durhkeim tentang solidaritas mekanik.
Solidaritas mekanik ini
adalah masyarakat atau kelompok sosial yang didasarkan pada kesadaran kolektif,
kebersamaan, dan hukum yang bersifat menekan. Ikatan dalam solidaritas mekanik
terjadi karena kesamaan aktivitas dan merasa memiliki tanggung jawab yang sama,
sehingga ikatannya sangat erat.
Kesamaan nasib sebagai
orang tertindas memampukan komunitas Katolik Jepang bertahan. Solidaritas di
antara mereka tidak dapat diragukan lagi. Mereka adalah simbol keberhasilan
kelompok yang selalu tertindas, tetapi masih dapat bertahan di tengah
penindasan itu.
Sumber Gambar: bluebook.life
Sumber Gambar: bluebook.life
July 06, 2020
No comments:
Post a Comment