Filosofi Teras,
Filsafat,
Henry Manampiring,
resensi buku,
Stoa
[Resensi Buku] Filosofi Teras: Seni Manajemen Diri
Judul : FILOSOFI TERAS:
Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini
Penulis : Henry Manampiring
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : Cetakan 4, Januari 2019
Jumlah Halaman : xxiv + 344 hal
Apakah kamu sering merasa kuatir
akan banyak hal yang terjadi di luar dirimu? Baperan? Susah move on?
Mudah tersinggung dan marah-marah tidak jelas di media sosial maupun di dunia
nyata? Henry Manampiring menghadirkan kepada kita sebuah buku yang luar biasa.
Filosofi Teras, buku yang membawa kita untuk belajar mengendalikan diri. Dalam
salah satu bagian dikatakan bahwa “ada hal-hal di bawah kendali
(tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak bergantung
pada) kita.”
Buku
Filosofi Teras hadir untuk memberikan kepada kita jalan menuju ketenangan jiwa.
Penulis buku ini telah mengalami sendiri stres dan kesulitan-kesulitan dalam
hidupnya karena sering marah dan tidak mampu mengontrol dirinya sendiri.
Meski
bukan alumnus Fakultas Filsafat, penulis buku berhasil membuat buku menjadi
menarik tentang Filsafat Stoa. Ini luar biasa. Filsafat sebagai praktik hidup
ia jalani dalam kehidupannya sehari-hari.
Lebih
dari 2.000 tahun lalu, sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan juga
solusi dari banyak emosi negatif. Stoisisme, atau Filosofi Teras adalah
filsafat Yunani-Romawi kuno yang bisa membantu kita mengatasi emosi negatif dan
menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi naik turunnya kehidupan.
Jauh dari
kesan filsafat sebagai topik berat dan mengawang-awang, Filosofi Teras justru
bersifat praktis dan relevan dengan kehidupan generasi milenial masa kini. Buku
ini mengajak kita untuk berani menantang diri sendiri agar mengetahui
batas-batas diri kita sendiri dan tidak merisaukan hal-hal yang ada di luar diri atau yang ada di luar kendali kita.
Sebagaimana dikatakan oleh Marcus Aurelius dalam buku ini “jika seseorang bisa membuktikan kekeliruan saya dan menunjukkan kesalahan saya dalam berpikir dan bertindak, saya dengan senang hati berubah. Saya mencari kebenaran yang tidak pernah melukai siapa pun. Yang celaka adalah terus menerus bertahan dalam menipu diri sendiri dan ketidakpedulian.”
Jadi
umpan balik, nasihat dan opini yang membangun dan memperbaiki diri kita sendiri
harus kita hormati dan dengarkan. Yang dipertanyakan oleh penganut filsafat
Stoa adalah ketika kita mengira bisa bahagia dan damai dengan terus menerus
menyenangkan orang lain padahal sebenarnya kita sedang menderita.
Latihan Mengatasi Emosi
Setiap
manusia mencari kebahagiaan dan hidup yang tenang. Filsafat bagi kaum Stoa
bukanlah sekadar mengisi waktu atau menumpuk ide untuk bergaya di depan kaum
awam. Filsafat adalah praktik dan latihan.
Jangan suka menyebut diri anda
sendiri sebagai filsuf, jangan banyak berbicara di depan orang awam tentang
teori-teori filsafat karena yang pokok adalah bagaimana kita hidup sesuai
dengan apa yang dipelajari. Sebab sebagaimana arti harafiah dari kata filsafat
yaitu, cinta akan kebijaksanaan.
Maka yang paling utama adalah bukan pemahaman
konsep atau teori-teorinya saja tetapi cara hidup kita yang bijaksana dan
menampilkan bahwa kita pernah belajar filsafat.
Bagaimana
caranya agar bisa terus bahagia, terhindar dari rasa campur aduk yang
memporakporandakan batin? Bagaimana bisa tenang, terbebaskan dari perasaan negatif?
Filsafat Stoa mengajarkan untuk mencermati empat jenis perasaan negatif yang
menjauhkan kita dari kebahagiaan, yaitu iri hati, takut, rasa sesal atau pahit,
dan kenikmatan. Sebab kunci kebahagiaan bagi Stoa adalah tatkala kita
terhindarkan dari nafsu-nafsu tidak jelas, kecanduan atau addicted pada
sesuatu, angkara murka, kehilangan kendali, dendam kesumat, dan rasa sesal yang
berlebihan.
Makna Filosofi Teras
Belajar dari Filsafat Stoa kita diajak untuk
selalu bersyukur dalam setiap kesempatan hidup. Kita perlu mensyukuri bahwa
hari ini saya masih diberi kesempatan untuk hidup dengan tentram, tidak stress akibat
berita hoax atau stres karena dibully, atau masih banyak hal lainnya
yang patut kita syukuri dari kehidupan kita hari ini.
Memang mensyukuri semua
yang kita dapat hari ini bukanlah pekerjaan mudah. Sifat dasar manusia yang tidak
pernah puas adalah sebabnya. Karena itu, ada baiknya kita mulai menata diri dan
belajar mensyukuri apa yang kita terima. Diperlukan latihan secara
berulang-ulang agar bisa menjadi kebiasaan.
Seperti
kata penulis buku bahwa “sama seperti otot dengan berlatih berulang-ulang
mengangkat barbel, maka batin pun bisa diperkokoh lewat latihan rutin setiap
hari lewat STAR (Stop, Think, Assess, Respond)”. Setia pada filsafat
sebagai praktik dan latihan mental supaya kita memiliki syaraf titanium dan
tidak gampang KO ketika disambar galau.
Filosofi
Teras percaya bahwa kita semua perlu hidup dengan penuh kebajikan. Bersama-sama
dengan kemampuan mengendalikan emosi negatif, maka hidup yang tenteram, damai
dan tangguh akan hadir. Namun, untuk bisa hidup dengan penuh kebajikan kita perlu
berlatih dahulu mengetahui apa sebenarnya esensi dan peruntukan kita sebagai
manusia.
Berbeda
dari aliran filsafat lainnya, stoisisme lebih menekankan pada praktik hidup dan
tidak melulu pada diskusi intelekstual menyangkut ide-ide dan konsep abstrak.
Salah satu alasan kenapa buku ini menarik untuk dibaca karena siapapun bisa
ikut mempraktikkannya tanpa harus bergantung pada atribut-atribut, seperti
kekayaan, prestasi akademis, inteligensi bawaan, warna kulit, suku, karier,
atau profesi.
“Seorang
praktisi Stoa seharusnya merasakan keceriaan senantiasa dan sukacita terdalam,
Karena ia mampu menemukan kebahagiaannya sendiri, dan tidak menginginkan
sukacita yang lebih dari pada sukacita yang datang dari dalam”.
Karena pada
dasarnya tujuan dari Filosofi Teras adalah membebaskan kita dari emosi negatif,
minimal menguranginya. Rasanya sangat relevan dengan kehidupan sekarang yang
penuh dengan ketidakpastian.
Oleh
karena itu, filsafat ini tidak menjanjikan materi atau damai di akhirat, tetapi
damai dan tenteram yang kokoh karena berakar dari dalam diri kita, bukan pada
hal-hal eksternal yang bisa berubah, hancur atau direnggut dari kita.
Sebab
tujuan utama dari Filosofi Teras adalah hidup dengan emosi negatif yang
terkendali, dan hidup dengan kebajikan atau bagaimana kita hidup sebaik-baiknya
seperti seharusnya kita menjadi manusia.
Sebagai
bagian penutup mengutip pernyataan Epictetus “jangan menyebut dirimu sendiri
seorang filsuf atau menggembar-gemborkan teori-teori yang kamu pelajari …
karena domba tidak memuntahkan lagi rumput kepada sang gembala untuk memamerkan
banyaknya rumput yang telah dimakannya; tetapi domba mencerna rumput tersebut
di dalam tubuhnya, dan ia kemudian memproduksi susu dan bulu. Begitu juga
janganlah kamu memamerkan apa yang sudah kamu pelajari, tapi tunjukkanlah
tindakan nyata sesudah kamu mencernanya”.
December 23, 2019
No comments:
Post a Comment