Menu

Mengenal Khazanah Islam

                                          (Ket. gambar: Ibn Khaldun)

Abad ke-14 dunia Islam mengalami kelesuan, akan tetapi dari Tunisia lahirlah seorang pemikir besar yaitu Ibn Khaldun (Abdurrahman ibn Khaldun, w. 808 H/1406 M)[1] ke pentas dunia. Kelesuan yang dimaksudkan di sini adalah dalam dunia Islam tidak banyak melahirkan pemikir-pemikir besar seperti abad-abad sebelumnya. Akan tetapi, tetapi tidak dapat dipungkiri setiap abad dalam dunia Islam selalu melahirkan tokoh-tokoh yang cemerlang. 
Ibn Khaldun adalah salah satu tokoh besar Islam yang lahir pada abad ketika dunia Islam sedang lesu. Beliau dikenal tidak menyukai filsafat sama seperti Al-Ghazali dan Ibn Taimiyah, sayangnya Ibn Khaldun kurang mengenal dengan jelas sosok Ibn Taimiyah. Ibn Khaldun yang tidak menyukai filsafat secara fundamental mengkritik filsafat.
Sebagai seorang tokoh yang tidak menyukai filsafat dengan mudah dapat kita pastikan dia dipengaruhi oleh pemikir besar Islam sebelumnya, yaitu Al-Ghazali. Dengan latar belakang yang demikian, arah pemikiran beliau tentu banyak mengikuti pengaruh Al-Ghazali. Petikan dari opus magnum Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid di mana ia membuat catatan untuk kita tentang persepsinya mengenai pembagian ilmu pengetahuan saat itu, dan tentang bagaimana ia secara fundamental mengkritik filsafat:
“Ibn Khaldun menyanggah kebenaran kosmologi Neoplatonis karena, menurut dia, pembagian wujud yang berakhir kepada Akal Pertama itu adalah tanpa dasar dan bersifat sewenang-wenang. Sedangkan alam kenyataan ini jauh lebih bervariasi daripada yang dikira oleh para filsuf yang ia gambarkan sebagai berpandangan picik itu. 
Tambahan lagi, Akal Pertama gagasan para filsuf itu telah meredusir Tuhan menjadi suatu kenyataan, yang meskipun dikatakan absolut dan wajib, namun juga bersifat bukan-pribadi (impersonal). Ini tidak saja berlawanan dengan ajaran agama, tapi juga membuat paham ketuhanan menjadi kehilangan fungsinya sebagai sumber moralitas, baik individual maupun sosial. Karena itu filsafat tidak saja palsu, bahkan berbahaya untuk manusia”[2].


Baca juga: Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls

Dalam penerapannya untuk gejala alam, Ibn Khaldun berpendapat bahwa filsafat lebih-lebih lagi tidak bisa diandalkan untuk menjelaskan hakikat objek-objek material. Seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun menampik klaim filsafat atas dasar postulat bahwa sesuatu yang benar secara filosofis seharusnya tidak saja memang benar, tapi juga dapat dibuktikan dalam alam kenyataan. 
Akan tetapi, Ibn Khaldun mengatakan, persoalannya ialah argumentasi-argumentasi filosofis itu termasuk dalam sistem proposisi umum (universal, kullī), sedangkan kenyataan serta gejala fisik atau material tergolong ke dalam kategori-kategori khusus (partikular, juz’ī), yang kenyataan kebendaannya bersifat terperinci.
Pandangan Ibn Khaldun menyepelekan filsafat, untuk konteks sekarang dia tergolong menganut paham rasionalisme. Perkembangan sains mungkin dapat menjadi salah satu penyebab pemikiran yang demikian. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri cara berpikir seperti ini merupakan cara berpikir khas kaum rasionalis yang menganggap filsafat tidak mampu menjelaskan hakikat objek-objek material. Filsafat tidak memiliki objek material yang memadai untuk menjelaskan sesuatu yang real. Filsafat hanya mengandalkan rasio dan logika untuk menjelaskan segala sesuatu. Dengan demikian, filsafat bagi Ibn Khaldun sulit diterima untuk menjelaskan sesuatu.
Sebagai seorang pemikir yang anti filsafat tentu Ibn Khaldun tidak berangkat dari ruang hampa. Maksudnya, Ibn Khaldun berani mengkritik filsafat karena dia sudah memperlajari filsafat sebelumnya. Bukan hanya Ibn Khaldun, tokoh besar seperti Al-Ghazali juga demikian. Mereka melancarkan kritik terhadap filsafat karena mereka pada dasarnya sudah memperlajari filsafat. Karena, bagaimana mungkin mereka mengkritik filsafat jika mereka sendiri tidak pernah mempelajarinya? 
Hal ini setidaknya seperti disampaikan oleh Nurcholis Madjid, “….tetapi, sementara mengkritik habis filsafat, mereka mempelajarinya dengan penuh tanggung jawab dan, lebih lanjut, dengan caranya masing-masing masih menunjukkan penghargaan kepada segi-segi positif tertentu filsafat itu, terutama yang bersangkutan dengan disiplin berpikir teratur.”[3] Dengan demikian, tidak fair jika kemudian kita menganggap Ibn Khaldun maupun Al-Ghazali yang anti filsafat tidak mempelajari filsafat.
Tentu saja pandangan mereka bertolak belakang dengan pandangan Ibn Rusyd yang menganggap filsafat memiliki faedah dalam pemikiran manusia. Mungkin untuk objek yang dipelajari filsafat tidak memiliki objek real, tetapi melalui disiplin ilmu ini kita diperkenalkan pada logika dan keterarturan dalam berpikir.


Baca juga: [Resensi Buku] Absurditas dalam Novel Sampar

Ibn Rusyd tetap setia bahwa filsafat pada dasarnya digunakan oleh semua orang dalam hidupnya. Lalu, menjadi pertanyaan untuk kita sebagaimana disampaikan oleh Budhy Munawar Rachman dalam diktat kuliahnya adalah, “apakah sikap Ibn Rusyd ini lebih merupakan hasil dari kecenderungannya yang kuat pada filsafat yang mengorbankan doktrin-doktrin agama; dalam arti, apakah ia melihat kebenaran itu hanyalah kebenaran yang dibuktikan dengan argumen filsafat, sehingga persoalan penafsiran atas doktrin-doktrin agama serta kebenaran-kebenaran yang dikandung wahyu harus didasarkan pada argumen filsafat
Atau, apakah sikapnya di antara kedua kutub ekstrim ini, yakni agama dan filsafat, justru sebaliknya, yakni ia berupaya menerapkan metode filsafat pada agama yang harus diimani terlebih dahulu? Atau sikapnya ingin adanya penyelarasan atau harmonisasi antara agama dan filsafat yang tidak mungkin dipertentangkan karena keduanya adalah dua saudara yang saling melengkapi dan saling membutuhkan?”[4]
Bagi Munawar Rachman, sikap filsuf Andalus ini berupaya dengan segala  cara untuk menyelaraskan kedua kutub tersebut yang sebenarnya masing-masing mengekspresikan hakikat kebenaran yang sama. Masing-masing mempunyai sifat dan karakteristiknya sendiri, dan tidak selayaknya terdapat pertentangan atau perbedaan. Maka, tidak mungkin terjadi pertentangan di antara tokoh-tokoh dari masing-masing kutub tersebut, meskipun perbedaan itu tampak di permukaan. 
Meskipun sebagian besar tokoh agama terutama Imam Al-Ghazali menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa antara kedua kutub ini, kedua bentuk ekspresi dari kebenaran yang satu ini, terdapat perbedaan dan pertentangan yang begitu besar dan sangat jelas yang tidak mungkin diingkari atau diabaikan.
Setelah berakhir zaman Ibn Rusyd dan Al-Ghazali terdapat tokoh besar lain yang lahir beberapa abad kemudian yaitu al-Afghani. Riwayat hidupnya cukup rumit karena dia dikenal berasal dari Afganistan, tetapi dalam studi-studi selanjutnya dia dikatakan berasal dari Iran. Akan tetapi, bukan itu yang ingin disampaikan di sini, melainkan pokok pemikirannya. 
Beliau dikenal sebagai tokoh reformasi dalam dunia Islam. Akan tetapi, tidak semudah yang dibayangkan karena meskipun dia dianggap sebagai tokoh reformasi pokok-pokok pemikirannya tidak semua diterima dalam kalangan Islam. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kemudian dalam riwayat hidupnya tokoh ini selalu berpindah-pindah tempat tinggal karena dia dibenci banyak orang, tetapi dicintai sedikit orang karena pemikiran reformasinya.
“Pandangan pokok al-Afghani ialah bahwa untuk berhasil mengembalikan kejayaannya yang lalu dan sekaligus guna menghadapi Abad Modern, umat harus kembali menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang lebih murni. Karena pemahaman serta pengamalan umat akan agamanya seperti yang ia saksikan terbukti membawa kekalahan terhadap bangsa-bangsa bukan Muslim. 


Baca juga: Krisis Toleransi dan Kekerasan Terhadap yang Lain

Al-Afghani memastikan tentang adanya sesuatu yang salah dalam pemahaman dan pengamalan agama itu, dan tentang adanya suatu bentuk semangat keislaman yang lebih murni, yang kini hilang atau melemah. Al-Afghani berpendapat bahwa semangat itu terletak dalam apa yang menjadi salah satu tema pokok seruannya di atas, yaitu berpikir rasional dan bebas”[5].
Pandangan Al-Afghani ini berangkat dari kegalauannya melihat dunia Barat yang maju sedemikian pesat, sedangkan dunia Islam masih asyik dengan kegemilangan sejarahnya. Mereka lupa bahwa dunia Barat sudah jauh lebih maju dibanding dengan beberapa abad sebelumnya. Oleh karena itu, Al-Afghani menyerukan untuk kebangkitan umat Islam. 
Kebangkitan yang dimaksudkan adalah agar dunia Islam segera mengejar ketertinggalan dari dunia Barat. Hal ini paling nampak ketika Napoleon Bonaparte dengan mudah menaklukkan Mesir. Pengalaman ini kiranya tidak diharapkan oleh dunia Islam jika berkaca pada pengalaman beberapa abad sebelumnya bahwa pasukan Muslim begitu perkasa di hadapan pasukan Salib dari Eropa. Akan tetapi, Eropa Barat telah mengalami kebangkitan yang luar biasa sehingga mereka tidak kesulitan ketika berhadapan dengan orang-orang Muslim. Oleh karena itu, Al-Afghani menyerukan bagi semua umat Islam untuk membuka mata dan melihat dunia ‘nyata’ dan mulai belajar.

Tinjauan Selintas tentang Modernisme Islam[6]
Pemikiran ini dilandasi oleh perkembangan Eropa pada zaman itu, sedangkan dunia Islam seperti berjalan di tempat. Setelah mengalami masa kejayaan beberapa abad sebelumnya para tokoh Islam cenderung untuk ‘menutup diri’ dan tidak mempelajari situasi dunia. Alhasil, kemajuan Eropa tidak dapat dibendung oleh negara-negara Islam. Hal ini sebenarnya bukanlah karena agama Islam yang menutup diri, melainkan orang-orang Islam. 
Para pemeluknya yang tidak ingin terbuka pemikirannya dan mempelajari apa yang terjadi di sekitar mereka. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian seorang pemikir besar Islam seperti Muhammad Abduh sendiri mengatakan bahwa “Islam tertutup oleh kaum Muslimin (al-Islām mahjūb-un bi al-muslimīn), salah satu ungkapan kunci kaum modernis.”[7]


Baca juga: Covid-19: Penderitaan yang Melahirkan Harapan

Pernyataan ini tentu saja berangkat dari pengalaman Muhamad Abduh sendiri setelah berkelana ke mana-mana bersama sang guru Al-Afganhi. Setelah berkelana ke mana-mana Muhamad Abduh akhirnya berseru untuk mulai mempelajari warisan para pemikir Muslim sebelumnya. Pengaruh paling besar yang diberikan oleh tokoh ini adalah dimasukkannya mata kuliah Filsafat di Universitas al-Azhar. Hal ini penting bagi dunia Islam karena Universitas ini salah satu universitas terbesar bukan hanya dalam kalangan Islam, tetapi juga dunia.
Dengan dimasukkannya mata kuliah Filsafat sebagai salah satu mata kuliah yang harus dipelajari, maka umat Islam yang pada masa sebelumnya sebagian besar umat Islam hanya mempelajari ilmu Kalam juga mengenal filsafat. Dengan demikian, logika yang sebelumnya ditinggalkan dan hanya dipelajari oleh sedikit orang mulai dipelajari secara umum. 
Meskipun di kemudian hari usaha Muhamad Abduh mengalami kegagalan karena Universitas al-Azhar gagal bersaing dengan universitas-universitas yang jauh lebih modern di luar Mesir, tetap saja Abduh telah mewarisi sesuatu yang istimewa dalam dunia Islam. Abduh telah meletakkan dasar untuk menghadapi dunia modern jika ingin tetap eksis.
Jadi memasuki dan ikut serta dalam Abad Modern bukanlah persoalan pilihan, melainkan suatu keharusan sejarah. Dan dari perspektif sejarah kemanusiaan itu, kemodernan, seperti telah dikemukakan terdahulu, bukanlah monopoli suatu tempat atau kelompok manusia tertentu. Selalu ada kemungkinan bagi tempat-tempat dan kelompok-kelompok manusia lain untuk mengejar dan menyertainya. Kita hanya harus menyebut Jepang sebagai contoh bangsa bukan-Barat yang tidak saja berhasil menyertai kemodernan itu, bahkan telah meluncur dengan kecepatan yang mencengangkan, termasuk untuk orang-orang Barat sendiri.

Sumber Gambar:Wikimedia



[1] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 44.
[2] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 45.
[3] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 47.
[4] Budhy Munawar-Rachman, IMAN YANG DITERANGI AKAL BUDI: Ibn Rusyd dan Usaha Harmonisasi Filsafat dan Agama, Diktat Perkuliahan Filsafat Islam (Jakarta: STF Driyarkara, 2018), hal 5.
[5] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 58-59.
[6] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 61.
[7] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 62.

No comments:

Post a Comment