biaya pendidikan,
Corona,
Covid 19,
kepala sekolah,
kualitas pendidikan,
pendidikan,
pendidikan abad ke-21
Pandemi Virus Corona Memformat Ulang Model Pendidikan
Pada Minggu, 23/02/2020, ada desas-desus
bahwa sekolah-sekolah di wilayah Lombardi, Italia, mungkin ditutup. Alasannya
adalah jumlah kasus positif dan kematian akibat virus corona yang terus melonjak.
Iain Sachdev, kepala sebuah sekolah di wilayah Lombardi, mengumumkan kepada
para guru, siswa, dan orang tua murid bahwa mereka akan menerapkan sistem
pembelajaran online.
Italia memang harus segera menentukan
arah dalam upaya menghentikan penyebaran virus tersebut. Salah satunya
adalah menghentikan pembelajaran dalam kelas dan menggantinya dengan
pembelajaran jarak jauh (online). Menerapkan kelas belajar online
adalah prestasi besar sekaligus tantangan. Seluruh civitas akademika harus
memanfaatkan waktu yang tersedia untuk belajar. Tidak hanya siswa, tetapi juga para
guru. Mereka pun memulai kelas digital.
Setiap hari, para guru mengajar melalui video
konferensi. Anak-anak berpartisipasi menggunakan Padlet, sebuah
sistem catatan post-it virtual yang memungkinkan siswa berbagi
ide; dan Flipgrid, yang memungkinkan guru dan siswa membuat
video pendek untuk dibagikan. Siswa mengerjakan tugas individu, tugas
kelompok, dan juga berdiskusi dengan guru. Guru tidak lagi menggunakan email
untuk memberikan materi pengajaran, tetapi produk Microsoft.
Di seluruh dunia diperkirakan ada 1,5 miliar
siswa tidak bersekolah secara konvensional dan ratusan juta
berusaha belajar secara online. Percobaan ini tentu menuntut agar membentuk
kembali sekolah, gagasan pendidikan, dan metode pembelajaran di abad
ke-21. Pandemi ini memaksa para pendidik, orang tua, dan siswa untuk
berpikir kritis, menyelesaikan masalah, menjadi kreatif, berkomunikasi, kolaborasi, dan gesit.
Siswa akan mengambil peran yang signifikan
bagi pembelajaran mereka, memahami lebih banyak tentang bagaimana mereka
belajar, apa yang mereka sukai, dan dukungan seperti apa yang mereka
butuhkan. Siswa akan mempersonalisasikan pembelajaran mereka, bahkan jika
sistem di sekitar mereka tidak mendukung.
Teknologi
Apa yang terjadi pada teknologi
pendidikan setelah pandemi virus corona berakhir, sebagian akan bergantung pada
kualitas teknologi itu sendiri. Direktur Eksekuti Center for Education
Regulations and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menilai,
pembelajaran jarak jauh di tengah wabah Covid-19 belum berjalan ideal. Di
antaranya karena ada kecenderungan siswa diberikan PR yang ugal-ugalan.
Kemudian, ada juga guru hanya merekam proses pembelajaran di kelas kemudian
disebar ke ponsel siswa.
Model pembelajaran dalam jaringan (daring)
seharusnya berorientasi pada kemampuan siswa agar mampu memecahkan masalah,
kritis, kolaboratif, komunikatif, kreatif, dan inovatif. Guru harus jadi
fasilitator dan motivator bagi siswa, bukan menjelaskan materi yang siswa bisa
baca di buku atau cari di google.
Oleh karena itu, masa pandemi ini adalah
masa di mana kita dituntut untuk kreatif dan mampu menyelesaikan suatu
persoalan. Masalah pendidikan yang sedang kita hadapi saat ini pada akhirnya
mengharuskan pihak sekolah dan semua pihak untuk mencari solusi yang terbaik
agar siswa masih bisa belajar dengan baik.
Akan tetapi, ketika saat ini teknologi mampu
menghubungkan orang-orang di berbagai tempat untuk belajar, teknologi sekaligus
menunjukkan sisi lainnya. Krisis telah memberikan cahaya baru untuk
melihat adanya ketidaksetaraan dalam mengakses internet dan belajar via
online. Ada jurang pemisah antara sekolah yang memiliki akses kelas online
dan sekolah yang tidak memilikinya.
Tidak hanya itu, kejadian ini juga
menjadi pengingat nyata akan pentingnya sekolah bahwasanya tidak hanya sebagai
tempat belajar, tetapi juga sebagai tempat untuk sosialisasi, perawatan dan
pelatihan, komunitas dan ruang belajar bersama. Memang tempat belajar pertama
dan terutama dari seorang siswa adalah keluarga, tetapi dengan melakukan
interaksi sosial di sekolah terdapat sisi lain dari setiap pribadi yang perlu dikembangkan.
Pandemi ini memberikan wawasan teknologi
besar-besaran tentang bagaimana perkembangan manusia dan pembelajaran di masa
depan. Ketika badai pandemi berlalu, sekolah-sekolah mungkin mengalami
revolusi. Atau, mereka dapat kembali ke apa yang mereka
ketahui. Tetapi dunia di mana mereka akan ada—yang ditandai dengan
meningkatnya pengangguran dan kemungkinan resesi—akan menuntut lebih
banyak. Pendidikan mungkin lambat untuk berubah, tetapi ekonomi pasca-virus
corona akan menuntutnya.
Ketidakadilan
Menurut data Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD), di Denmark,
Slovenia, Norwegia, Polandia, Lithuania, Islandia, Austria, Swiss dan Belanda,
lebih dari 95% siswa melaporkan memiliki komputer atau laptop yang digunakan untuk
belajar. Sementara, di Indonesia hanya 34% siswa yang memiliki laptop atau
komputer untuk belajar. Data ini menunjukkan sebuah perbedaan yang cukup tajam.
Belum lagi, tingkat literasi dan kemampuan guru di banyak tempat yang masih
kesulitan menggunakan media pembelajaran dalam jaringan.
Ketidakadilan lain yang ditemukan adalah
kesenjangan di antara siswa. Hal tersebut tidak hanya pada soal akses internet,
tetapi juga kemampuan ekonomi keluarga. Selain itu, tidak setiap orang tua
memiliki tingkat literasi digital yang diperlukan untuk membantu anak-anak
mereka beralih ke pembelajaran online. Inilah beberapa model
kesenjangan yang ditemukan ketika sekolah dengan terpaksa melakukan
pembelajaran via online.
Baca Juga: Pingin Kuliah? Makanya Kaya
Schleicher direktur OECD mengatakan
bahwa optimis terhadap penyerapan teknologi bersanding dengan pesimisme
tentang apa artinya ini bagi keadilan. Mereka yang berlatar belakang sosial-ekonomi
yang mapan akan menemukan alat yang mereka butuhkan, melalui orang tua atau
tutor atau sekolah mereka yang memiliki sumber daya yang lebih baik. Akan
tetapi, mereka yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung akan
menghadapi banyak tantangan.
Jelas bahwa ini tidak akan menjangkau
semua orang dan itu bukan hanya masalah akses ke kebutuhan dalam belajar. Jika
siswa tidak tahu bagaimana belajar mandiri, tidak tahu bagaimana mengatur waktunya
dengan baik, tidak memiliki motivasi intrinsik, siswa tersebut tidak akan
sukses dalam pembelajaran online. Sebab, pembelajaran online
tidak hanya melibatkan lingkungan sekitar, tetapi juga diri pribadi itu
sendiri. Pada akhirnya, semua kembali ke pribadi masing-masing.
April 24, 2020
No comments:
Post a Comment