Menu

Manusia Menurut Victor E. Frankl

                                 (Ket. gambar: Viktor E. Frankl)
Berbagai pandangan tentang manusia telah dipelajari oleh banyak orang akhir-akhir ini. Pandangan-pandangan itu juga ditentukan oleh banyak faktor seperti ilmu yang diperoleh oleh seorang ahli, analisis data yang diperoleh, dan pengalaman masa lalu. Frankl menjelaskan manusia berdasarkan pengalamannya. Bagi Frankl manusia bukanlah tikus atau anjing. Manusia adalah manusia, yang memiliki dimensi kemanusiaan tersendiri.[1]
Bagi Frankl, yang pernah mengalami hidup dalam camp konsentrasi, manusia bukan hanya sekadar tulang, darah, dan daging. Di dalam tubuh manusia ada jiwa yang jauh lebih  luhur dan tinggi dari pada sekadar onggokan daging yang kasar. Tubuh manusia memang bisa disakiti dan disiksa oleh siapa saja, tetapi jiwa dan akal budi tidak bisa diambil dari manusia.

Baca juga: Mengenal Khazanah Islam

Manusia memiliki sejarah yang jauh lebih luhur dari semua makhluk yang pernah hidup di bumi. Sejarah masa lalunya itu turut membentuk masa depannya. Oleh karena manusia memiliki masa lalu, manusia juga mampu menentukan masa depannya. Dengan demikian, wajar jika manusia rela melakukan segala sesuatu untuk bertahan hidup.

Ada yang Menggerakkan untuk Bertahan Hidup
Manusia merasa bahwa hidup adalah sesuatu yang mutlak dimilikinya. Apalagi jika dilihat dari kehidupan Frankl saat di camp konsentrasi. Dia mengalami kekurangan makanan dan siksaan yang tiada henti. Frankl mengalami kelaparan yang hebat; Ia mempertahankan hidup hanya dengan sedikit roti dan sup yang bernilai gizi rendah. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, Frankl tetap berjuang agar bertahan hidup meskipun de facto keadaannya sangat buruk. Ia berjuang untuk masa depan yang lebih baik dan membahagiakan.
Manusia juga menjadi penentu finalitas untuk dirinya sendiri[2]. Kata finalitas ini dapat diartikan sebagai akhir dan tujuan untuk diraih. Finalitas hidup manusia tidak ditentukan oleh Simpanse atau Orang Utan yang memiliki kedekatan secara genetik dengan manusia. Finalitas hidup manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, setiap manusia, pada dasarnya, dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya baik secara mental maupun spiritual.
Dia tetap memiliki martabatnya sebagai manusia meskipun dia hidup dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit. Manusia adalah makhluk yang rasional yang dapat menentukan masa depannya. Finalitas yang hanya dimiliki oleh manusia dalam menentukan masa depannya menjadi salah satu unsur terpenting bagi manusia.
Manusia juga memiliki pilihan untuk bertindak, kebebasan berpikir, dan menentukan sikap dalam setiap keadaan.[3] Dengan demikian, kebebasan yang ada dalam diri dapat digunakan untuk mencari makna hidupnya. Manusia dituntut untuk menentukan makna hidupnya, bukan hidup yang memberikan makna baginya.
Oleh karena itu, manusia menjadi penentu pilihannya. Setiap pribadi menjadi penentu pilihannya. Sebesar apapun tekanan dari luar untuk menentukan pilihan, pilihan tersebut akan tetap bergantung pada manusia itu sendiri. Kebebasan yang dimiliki oleh manusia dalam menentukan pilihannya itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Hewan memang bisa menentukan pilihannya, tetapi dia tidak tahu apakah pilihannya itu berdampak baik atau buruk untuk dirinya.
Dalam kehidupan, banyak hal memang dapat dirampas oleh orang lain. Akan tetapi, kebebasan batin dan spiritual tidak dapat dirampas dari manusia. Kebebasan batin dan spiritual membuat kehidupan memiliki makna dan tujuan. Makna dan tujuan hidup inilah menjadi kekuatan bagi manusia dalam menghadapi tantangan hidupnya.

Makna Hidup
Dengan memiliki makna dan tujuan hidup manusia akan berusaha untuk selalu kuat dalam menghadapi tantangan hidupnya. Usaha dan kehendak yang kuat untuk mencari, menemukan, dan kemudian mengalami makna dalam kehidupan menjadi ciri dan hakikat eksistensi manusia. Kehidupan manusia senantiasa memiliki makna yang mendalam sampai pada momen kehidupan terakhir.
Banyak pengalaman manusia yang memiliki makna. Kecenderungan manusia selama ini memandang hanya pengalaman menarik yang memiliki makna. Manusia lupa bahwa pengalaman buruk sekali pun memiliki makna. Semua pengalaman memiliki makna. Akan tetapi, yang menjadi persoalan sekarang adalah sejauh mana manusia memaknai semua pengalaman itu.

Baca juga: Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls

Jika hidup benar-benar memiliki makna, makna itu harus ada dalam penderitaan. Dengan demikian, “penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, meskipun penderitaan itu dalam bentuk nasib dan kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tidak sempurna.”[4]
Makna hidup dapat dialami melalui pekerjaan atau perbuatan. Tindakan kreatif yang kelihatan adalah sumbangan ide yang kelihatan dan adanya ide itu untuk melayani orang lain. Hal ini menyangkut pemberian kepada dunia. Selain itu makna hidup juga dapat dialami melalui orang lain, yaitu dengan mengalami sesuatu seperti kebaikan, kebenaran, atau dengan merasakan keindahan alam, budaya serta dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya. Hal ini menyangkut penerimaan setiap pribadi oleh dunia.
Cara lain untuk menemukan makna hidup adalah melalui cara manusia menyikapi penderitaan yang tidak bisa dihindari. Penderitaan menjadi kesempatan yang besar untuk menemukan makna hidup. Cara rasional menyikapinya adalah dengan menerima bahwa dalam kondisi seperti itu pun tetap ada makna dan tujuan. Karena pada dasarnya hidup bukanlah sebuah masalah yang harus diatasi, tetapi realita yang harus dijalani. Situasi-situasi yang sangat buruk, yang menimbulkan keputusasaan dan tampaknya tidak ada harapan, dilihat Frankl sebagai situasi-situasi yang memberikan kesempatan yang besar untuk menemukan arti hidup.
Manusia yang memaknai semua pengalamannya tentunya karena dia juga mengalami cinta dalam hatinya. Cinta manusia kepada sesamanya atau lebih spesifiknya mereka yang paling dekat dengannya seperti keluarga dan sahabatnya akan turut mematangkan pemahamannya. Cinta menjadi nilai penting dalam hidup manusia karena manusia membutuhkan cinta.

Bertahan Karena Cinta
Cinta sudah ada dalam diri setiap manusia dan tentunya manusia itu juga ingin untuk dicintai. “Cinta merupakan tujuan utama dan tujuan tertinggi yang ingin diraih manusia.”[5] Kemudian dapat dipahami mengapa manusia diselamatkan oleh cinta dan di dalam cinta. Bisa dipahami bagaimana seorang manusia yang tidak lagi memiliki apapun di dunia ini masih dapat merasakan arti kebahagiaan meskipun sejenak karena memikirkan orang yang dicintai.

Baca juga: [Resensi Buku] Absurditas dalam Novel Sampar

Cinta tidak dibatasi oleh fisik dari orang yang dicintai. Dia akan menemukan makna yang lebih dalam di dalam jiwa dan batinnya. Apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, bukan hal yang penting[6]. Pada intinya adalah orang itu merasakan cinta sebagai kekuatan hidupnya.
Cinta mutlak dibutuhkan oleh siapa saja dalam hidup ini. Cinta bisa membangkitkan manusia dari keterpurukan hidupnya. Ketika de facto dia dibenci oleh banyak orang, dia akan tetap dicintai oleh orang-orang terdekatnya. Hal itu akan membuat orang itu tetap kuat. Meskipun kekuatan cinta tidak dapat dilihat dengan kasat mata, cinta mampu meningkatkan kehidupan batin setiap orang yang sedang mengalami kekosongan dari kerterasingan dan kemiskinan spiritual hidupnya.
Berdasarkan penjelasan di atas manusia menurut Frankl manusia adalah makhluk yang memiliki pilihan untuk bertindak, kebebasan berpikir, menentukan sikap dalam setiap keadaan, penentu finalitas, dan memiliki cinta. Kelima unsur terpenting ini menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lain.
Manusia menjadi makhluk yang istimewa di antara makhluk-makhluk yang lain karena manusia memiliki kelima unsur ini. Melalui kelima unsur utama ini manusia secara perlahan menemukan makna hidupnya. Hal ini menjadi penting karena makna hidup yang dicari manusia kemudian membuat kelima unsur utama ini mengharuskan manusia mengoptimalkannya. 


Sumber gambar 1 : excellencereporter.com
Sumber gambar 2 : blog.mizanstore.com

Daftar Pustaka
Victor, Frankl E.Man’s Search For Meaning: Revised and Updated. New York: Washington Square Pres, 2014.





[1] Frankl, E. Victor, Man’s Search For Meaning: Revised and Updated (New York: Washington Square Press, 2014), 10.
[2] Frankl, Man’s Search For Meaning, 87.
[3] Frankl, Man’s Search For Meaning, 86.
[4] Frankl, Man’s Search For Meaning, 89.
       [5] Frankl, Man’s Search For Meaning, 57.
       [6] Frankl, Man’s Search For Meaning, 58.

No comments:

Post a Comment