Bahagia,
emosi,
Harrari,
manajemen diri,
masalah,
mengeluh,
puas diri
Jangan Lupa Bahagia!!!
Suatu waktu
ketika saya sedang duduk santai sambil menyeruput kopi hitam di sebuah kantin
dekat kampus, tiba-tiba seorang teman menghampiri saya dan mengeluh tentang
banyak hal yang terjadi dalam hidup. Hal itu membuat saya bingung dan berpikir
serta terus berpikir tentang hal-hal yang dia keluhkan.
Satu pertanyaan
yang sempat terlintas dalam benak, apa yang membuat dia selalu mengeluh? Kapan
bahagianya kalau terlalu banyak mengeluh? Padahal ada banyak hal yang sudah ia
dapatkan dan sudah dicapai. Tetapi, masih saja mengeluh. Aneh tapi nyata. Tanpa
dia sadari setiap orang di dunia ini pun memiliki beban hidup tersendiri. Tidak
ada manusia tanpa memiliki beban hidup kawan.
Kalau saja sopi
(arak) bisa membuat dia berhenti mengeluh bagaikan opium sebagai pereda rasa
sakit, mungkin saya sudah membeli sebotol sopi agar dia meminumnya. Biar aman.
Orang seperti ini, bisa dikatakan sebagai orang yang mengalami beban batin. Karena
mereka merasa selalu ada beban dalam hidup tanpa mereka syukuri apa yang sudah
mereka dapatkan selama ini. Mengeluh boleh saja, tapi jangan lupa syukuri apa
yang sudah didapatkan selama ini. Jika tidak pernah bersyukur, maka tiap hari
hanya akan mengeluh, mengeluh dan mengeluh.
Baca Juga: Filosofi Teras: Seni Manajemen Diri
Sebenarnya ada
begitu banyak orang di dunia ini terlalu sering memikirkan soal hidup. Dan itu
wajar-wajar saja. Tapi jangan sampai membuat kita lupa untuk bahagia. Terkadang
kita selalu berpikir bahwa orang yang sudah kaya memiliki banyak uang, status
sosial yang baik dalam masyarakat, rumah-rumah yang indah, serta posisi-posisi
kuat dalam jabatan-jabatan tertentu akan membuat orang bahagia.
Akan tetapi,
kenyataannya mereka belum juga bahagia dengan kelimpahan harta (uang), status
sosial, rumah-rumah yang indah, dan jabatan yang mereka miliki. Bahkan mereka
berpikir masih ada yang kurang. Sehingga mereka mencoba untuk mencapai serta
mendapatkannya. Hal itu bisa saja disebabkan karena ketidakpuasaan terhadap apa
yang dimiliki.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
bahagia ialah “keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang
menyusahkan)”. Terkadang kita terlalu sering membandingkan diri kita sendiri
dengan orang lain dan hal itu membuat kita berkecil hati. Tanpa kita bertanya kepada
diri sendiri "Apakah saya sudah bahagia?"
Jarang sekali
kita mengajukan pertanyaan semacam itu kepada diri sendiri. Terkadang ketika
melihat orang cacat, kita mungkin berpikir bahwa mereka tidak bahagia karena
kekurangan fisik yang mereka miliki. Heloo??? Anda sehat?? Tanpa kita sadari
sebetulnya mereka sangat bahagia, bukan karena uang, status sosial, rumah-rumah
yang indah atau pun posisi-posisi kuat, tetapi karena mereka masih bisa
menghirup nafas kehidupan.
Kita terlalu
sering mengejar impian-impian yang belum dicapai dan juga belum didapatkan sehingga
membuat kita kurang bahagia dan selalu berpikir masih ada yang kurang.
Kebahagiaan yang sesungguhnya tidak bergantung pada kondisi-kondisi obyektif
entah uang atau pun status sosial.
Namun, hal itu
tergantung pada korelasi antara kondisi-kondisi obyektif dan ekspektasi-ekspektasi
subjektif. Sebagai contoh, dalam suatu acara pembagian undian saya berharap
mendapatkan motor baru, namun yang saya dapatkan ialah motor bekas, lalu saya
pun kecewa.
Seperti dikutip
dari Harari (2015: 454) dijelaskan bahwa ketika keadaan membaik, ekspektasi-ekspektasi menggelembung dan akibatnya bahkan perbaikan-perbaikan dramatis dalam hal
kondisi-kondisi obyektif membuat kita tetap tidak puas.
Ketika keadaan
memburuk, ekspektasi-ekspektasi surut, dan akibatnya bahkan sakit parah mungkin
membuat kita tetap bahagia sebagaimana sebelumnya. Hemat penulis, satu hal yang
perlu kita ketahui ialah ketika kita merasa puas dengan apa yang sudah diperoleh,
itu jauh lebih penting ketimbang mendapatkan yang lebih banyak dari yang diinginkan.
Kultus-kultus New
Age sering menyatakan: "Kebahagiaan tidak bergantung pada kondisi-kondisi
eksternal. Ia (kebahagiaan) bergantung hanya pada apa yang kita rasakan di dalam. Orang harus
berhenti mengejar pencapaian-pencapaian eksternal seperti kekayaan dan status,
dan menghubungkannya dengan perasaan di dalam hati".
Sebagai penutup
dari tulisan ini, ada sebuah argumen biologis yang dikutip dari buku Harrari
(2015: 463) ialah kebahagiaan dimulai dari dalam. Uang, status sosial, rumah-rumah
indah, posisi-posisi kuat tak satu pun dari semua ini akan membawakan
kebahagiaan kepada Anda. Bahagia yang awet hanya datang dari serotonin,
dopamin dan oxytocin.
1. Serotonin mirip dengan dopamin,
yang merupakan hormon sekaligus neurotransmitter dalam mengatur suasana
hati. Selain perihal mood, serotonin juga berperan dalam siklus
tidur, nafsu makan, pencernaan, kemampuan bernalar, dan daya ingat.
2. Dopamin adalah hormon dan neurotransmitter
(senyawa otak) yang berkaitan dengan penghargaan diri, seperti motivasi. Hormon
ini turut memainkan peran terhadap suasana hati sehingga termasuk sebagai
Pada akhirnya,
kebahagiaan ditentukan oleh diri sendiri bukan orang lain. Semua orang memang
punya masalah, tetapi yang membedakan seorang dengan yang lain adalah bagaimana
dia mengelola masalahnya itu. Apakah hanya dengan mengeluh saja atau mencari
jalan keluar? Silahkan memilih. Keputusan dan masa depan ada di tanganmu
sendiri!!! (Afin Gagu: Tinggal di Manggarai)
Sumber gambar: Free-Photos
dari Pixabay
May 02, 2020
No comments:
Post a Comment