Menu

Tahun 2019 Rekor Jumlah Pengungsi Terbanyak dalam Sejarah



Tahun 2019 memecahkan jumlah rekor jumlah pengungsi dalam sejarah kemanusiaan. Sebagaimana yang dilaporkan dalam The Guardian, media terkemuka di Inggris menyebutkan total jumlah pengungsi selama tahun 2019. Sebanyak 50,8 juta orang di seluruh dunia tercatat sebagai pengungsi selama kurun tahun 2019, mereka dipaksa keluar dari rumah karena konflik sosial, perang dan bencana alam. Ini adalah angka tertinggi yang pernah ada dan jumlahnya bertambah 10 juta jika dibandingkan total jumlah pengungsi pada tahun 2018.
Statistik tahunan yang diterbitkan oleh Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC) atau Pusat Pengawasan Pemindahan Internal Dewan Pengungsi Norwegia melaporkan bahwa pada akhir tahun 2019, total 45,7 juta orang mengungsi secara internal - menjadi pengungsi di negara mereka sendiri - sebagai akibat dari kekerasan di 61 negara. Tambahan 5,1 juta orang di 96 negara telah terlantar akibat bencana. Pengungsi yang dimaksudkan di sini bukan hanya orang-orang yang pergi meninggalkan negaranya karena adanya persoalan, tetapi juga orang yang meninggalkan rumah dan daerahnya lalu pergi ke daerah lain yang lebih aman pun termasuk pengungsi yang dicatat oleh IDMC.
Alexandra Bilak, direktur IDMC, mengatakan ia berharap untuk tahun ini pengungsian internal akan mendapat perhatian lebih global. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya pengungsi yang tidak diperhatikan dan diperlakukan secara manusiawi ketika mereka tiba di tempat tujuan. Tidak hanya itu, bagi pengungsi internasional ternyata masih banyak yang tidak bisa mencapai tempat tujuan karena meninggal di tengah jalan entah karena kapal tenggelam, perompak, sakit atau banyak masalah lainnya. 
Bilak menambahkan ada kekhawatiran besar terhadap keselamatan orang-orang yang terlantar. “Pengungsi (pengungsi internal) seringkali adalah orang-orang yang sangat rentan yang tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat, tempat penampungan darurat dan permukiman informal dengan sedikit atau tanpa akses kesehatan memadai. Pandemi global coronavirus akan membuat mereka lebih rentan. Hal ini akan membahayakan kondisi hidup mereka yang sudah genting, dengan membatasi akses mereka ke layanan-layanan penting dan bantuan kemanusiaan.” Bilak mengatakan Dewan Pengungsi Norwegia dan lembaga kemanusiaan lainnya sudah melaporkan bahwa pembatasan bantuan pemerintah memengaruhi kualitas pelayanan terhadap para pengungsi.


Laporan, yang diterbitkan pada hari Selasa, 28/04/2020, menunjukkan bahwa sebagian besar kasus pengungsian tahun 2019 berada di negara-negara yang lebih miskin. Jumlah tertinggi dicatat di Afrika sub-Sahara, di mana meningkatnya kekerasan dan keamanan yang memburuk di Sahel dan konflik yang sedang berlangsung di Somalia dan Sudan Selatan terus mengusir ratusan ribu penduduk lokal dari rumah mereka. 
Badai tropis dan hujan monsun di Asia selatan dan timur dan Pasifik juga telah menyebabkan jutaan orang mengungsi. Negara-negara seperti India, Filipina, Bangladesh, dan China masing-masing mencatat setidaknya 4 juta pemindahan, meskipun mayoritas adalah hasil evakuasi oleh pemerintah mereka. Pada akhir tahun 2019, lebih dari 130.000 orang masih tidak dapat kembali ke rumah setelah kehancuran topan Idai dan Kenneth.  
Ketika pengungsi meninggalkan negara asal atau tempat tinggalnya, mereka meninggalkan hidup, rumah, kepemilikan dan keluarganya. Pengungsi tersebut tidak dapat dilindungi oleh negara asalnya karena mereka terpaksa meninggalkan negaranya. Karena itu, perlindungan dan bantuan kepada mereka menjadi tanggung jawab komunitas internasional.
Pada akhirnya jumlah pengungsi akan terus bertambah jika keadaan di sekitar tidak nyaman lagi untuk ditinggali. Mengungsi karena bencana alam memang tidak dapat dihindari, tetapi mengungsi karena perang atau keegoisan manusia yang merugikan orang lain adalah bentuk kekejaman terhadap sesama.

Tulisan ini dari https://www.theguardian.com/world/2020/apr/28/record-50-million-people-internally-displaced-in-2019-study-finds dan dipadukan dengan beberapa sumber lainnya. 
Sumber gambar: Matapolitik.com

Pandemi Virus Corona Memformat Ulang Model Pendidikan



Pada Minggu, 23/02/2020, ada desas-desus bahwa sekolah-sekolah di wilayah Lombardi, Italia, mungkin ditutup. Alasannya adalah jumlah kasus positif dan kematian akibat virus corona yang terus melonjak. Iain Sachdev, kepala sebuah sekolah di wilayah Lombardi, mengumumkan kepada para guru, siswa, dan orang tua murid bahwa mereka akan menerapkan sistem pembelajaran online
Italia memang harus segera menentukan arah dalam upaya menghentikan penyebaran virus tersebut. Salah satunya adalah menghentikan pembelajaran dalam kelas dan menggantinya dengan pembelajaran jarak jauh (online). Menerapkan kelas belajar online adalah prestasi besar sekaligus tantangan. Seluruh civitas akademika harus memanfaatkan waktu yang tersedia untuk belajar. Tidak hanya siswa, tetapi juga para guru. Mereka pun memulai kelas digital.  
Setiap hari, para guru mengajar melalui video konferensi. Anak-anak berpartisipasi menggunakan Padlet, sebuah sistem catatan post-it virtual yang memungkinkan siswa berbagi ide; dan Flipgrid, yang memungkinkan guru dan siswa membuat video pendek untuk dibagikan. Siswa mengerjakan tugas individu, tugas kelompok, dan juga berdiskusi dengan guru. Guru tidak lagi menggunakan email untuk memberikan materi pengajaran, tetapi produk Microsoft.
Di seluruh dunia diperkirakan ada 1,5 miliar siswa tidak bersekolah secara konvensional dan ratusan juta berusaha belajar secara online. Percobaan ini tentu menuntut agar membentuk kembali sekolah, gagasan pendidikan, dan metode pembelajaran di abad ke-21. Pandemi ini memaksa para pendidik, orang tua, dan siswa untuk berpikir kritis, menyelesaikan masalah, menjadi kreatif, berkomunikasi, kolaborasi, dan gesit.

   
Siswa akan mengambil peran yang signifikan bagi pembelajaran mereka, memahami lebih banyak tentang bagaimana mereka belajar, apa yang mereka sukai, dan dukungan seperti apa yang mereka butuhkan. Siswa akan mempersonalisasikan pembelajaran mereka, bahkan jika sistem di sekitar mereka tidak mendukung.

Teknologi
Apa yang terjadi pada teknologi pendidikan setelah pandemi virus corona berakhir, sebagian akan bergantung pada kualitas teknologi itu sendiri. Direktur Eksekuti Center for Education Regulations and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menilai, pembelajaran jarak jauh di tengah wabah Covid-19 belum berjalan ideal. Di antaranya karena ada kecenderungan siswa diberikan PR yang ugal-ugalan. Kemudian, ada juga guru hanya merekam proses pembelajaran di kelas kemudian disebar ke ponsel siswa.
Model pembelajaran dalam jaringan (daring) seharusnya berorientasi pada kemampuan siswa agar mampu memecahkan masalah, kritis, kolaboratif, komunikatif, kreatif, dan inovatif. Guru harus jadi fasilitator dan motivator bagi siswa, bukan menjelaskan materi yang siswa bisa baca di buku atau cari di google.
Oleh karena itu, masa pandemi ini adalah masa di mana kita dituntut untuk kreatif dan mampu menyelesaikan suatu persoalan. Masalah pendidikan yang sedang kita hadapi saat ini pada akhirnya mengharuskan pihak sekolah dan semua pihak untuk mencari solusi yang terbaik agar siswa masih bisa belajar dengan baik.
Akan tetapi, ketika saat ini teknologi mampu menghubungkan orang-orang di berbagai tempat untuk belajar, teknologi sekaligus menunjukkan sisi lainnya. Krisis telah memberikan cahaya baru untuk melihat adanya ketidaksetaraan dalam mengakses internet dan belajar via online. Ada jurang pemisah antara sekolah yang memiliki akses kelas online dan sekolah yang tidak memilikinya.
Tidak hanya itu, kejadian ini juga menjadi pengingat nyata akan pentingnya sekolah bahwasanya tidak hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai tempat untuk sosialisasi, perawatan dan pelatihan, komunitas dan ruang belajar bersama. Memang tempat belajar pertama dan terutama dari seorang siswa adalah keluarga, tetapi dengan melakukan interaksi sosial di sekolah terdapat sisi lain dari setiap pribadi yang perlu dikembangkan.


Pandemi ini memberikan wawasan teknologi besar-besaran tentang bagaimana perkembangan manusia dan pembelajaran di masa depan. Ketika badai pandemi berlalu, sekolah-sekolah mungkin mengalami revolusi. Atau, mereka dapat kembali ke apa yang mereka ketahui. Tetapi dunia di mana mereka akan ada—yang ditandai dengan meningkatnya pengangguran dan kemungkinan resesi—akan menuntut lebih banyak. Pendidikan mungkin lambat untuk berubah, tetapi ekonomi pasca-virus corona akan menuntutnya.


Ketidakadilan
Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), di Denmark, Slovenia, Norwegia, Polandia, Lithuania, Islandia, Austria, Swiss dan Belanda, lebih dari 95% siswa melaporkan memiliki komputer atau laptop yang digunakan untuk belajar. Sementara, di Indonesia hanya 34% siswa yang memiliki laptop atau komputer untuk belajar. Data ini menunjukkan sebuah perbedaan yang cukup tajam. Belum lagi, tingkat literasi dan kemampuan guru di banyak tempat yang masih kesulitan menggunakan media pembelajaran dalam jaringan.
Ketidakadilan lain yang ditemukan adalah kesenjangan di antara siswa. Hal tersebut tidak hanya pada soal akses internet, tetapi juga kemampuan ekonomi keluarga. Selain itu, tidak setiap orang tua memiliki tingkat literasi digital yang diperlukan untuk membantu anak-anak mereka beralih ke pembelajaran online. Inilah beberapa model kesenjangan yang ditemukan ketika sekolah dengan terpaksa melakukan pembelajaran via online.


Schleicher direktur OECD mengatakan bahwa optimis terhadap penyerapan teknologi bersanding dengan pesimisme tentang apa artinya ini bagi keadilan. Mereka yang berlatar belakang sosial-ekonomi yang mapan akan menemukan alat yang mereka butuhkan, melalui orang tua atau tutor atau sekolah mereka yang memiliki sumber daya yang lebih baik. Akan tetapi, mereka yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung akan menghadapi banyak tantangan.
Jelas bahwa ini tidak akan menjangkau semua orang dan itu bukan hanya masalah akses ke kebutuhan dalam belajar. Jika siswa tidak tahu bagaimana belajar mandiri, tidak tahu bagaimana mengatur waktunya dengan baik, tidak memiliki motivasi intrinsik, siswa tersebut tidak akan sukses dalam pembelajaran online. Sebab, pembelajaran online tidak hanya melibatkan lingkungan sekitar, tetapi juga diri pribadi itu sendiri. Pada akhirnya, semua kembali ke pribadi masing-masing.






Coronavirus dan Peringatan Perubahan Iklim



Sejauh ini diskusi tentang strategi penanganan coronavirus berfokus pada langkah-langkah yang dapat mengakhiri penyebarannya. Dalam jangka pendek yang diharapkan baik oleh warga Indonesia maupun semua orang di seluruh dunia adalah pandemi ini segera berakhir. Orang-orang dapat melanjutkan aktivitas dengan aman seperti sedia kala. Tidak ada lagi ketakutan akan terjangkit virus.
Akan tetapi, "kembali ke normal" bukan satu-satunya hal yang penting. Cara para pemimpin dunia mengelola goncangan ekonomi dan politik kolosal yang disebabkan oleh virus juga sangat penting. Dan daftar teratas dari prioritas mereka di samping kesehatan dan kesejahteraan manusia, haruslah nasib ibu bumi dan masa depannya. Masa depan bumi
Masih terlalu dini untuk mengatakan dengan penuh percaya diri coronavirus memberikan dampak signifikan terhadap perubahan iklim. Rem yang digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi, di seluruh dunia, telah menyebabkan pengurangan emisi karbon yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam masa penyebaran coronavirus terjadi pengurangan emisi karbon 18% di Cina antara Februari dan Maret dan antara 40% sampai 60% di Eropa. 
Lalu lintas di jalanan di berbagai kota besar di tanah air mengalami penurunan drastis. Selain itu, pabrik-pabrik juga tidak banyak yang beroperasi. Lalu lintas udara global telah berkurang setengahnya. Di satu sisi pandemi ini telah mengurangi emisi karbon dan memperbaiki kualitas udara. Akan tetapi, di sisi lain pandemi ini menimbulkan kekhawatiran pada banyak orang. Ancaman PHK dan kekurangan pangan hanya tinggal menunggu waktu. 


Efek lanjut dari coronavirus adalah kontraksi ekonomi diprediksi oleh Bank Dunia akan menyebabkan depresi berat dan pasti akan brutal. Tidak seorang pun, paling tidak dari semua pemerintah terpilih, akan memilih untuk membatasi emisi dengan cara seperti ini. Setidaknya selama ini selalu ada konferensi perubahan iklim untuk merancang ke depannya bumi ini mau dibawa kemana. Meski pun hingga sekarang tidak pernah ada tindakan konkret untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran.
Keangkuhan manusia, merasa diri paling hebat telah diporak-porandakan oleh covid-19 dalam hitungan bulan. Virus ini bukan hanya menyerang manusia, tetapi juga sendi-sendi yang berkaitan dengan manusia seperti ekonomi dan sosial. Mungkin ini menjadi kode alam bahwa alam juga butuh istirahat dan diperhatikan secara serius. Mungkin, dalam konferensi perubahan iklim terdapat intrik-intrik politik di dalamnya sehingga untuk merawat ibu bumi hanya dibebankan kepada negara-negara tertentu. Alhasil, bumi pun dengan caranya sendiri menyadarkan kita.

Jeda Ekologi
Bumi butuh istirahat, udara butuh break sejenak dari sirkulasi yang buruk akibat ulah industri, transportasi, dan aktivitas manusia. Covid-19 mengistirahatkan banyak aktivitas yang berpotensi menghancurkan bumi. Dalam arti tertentu musti disyukuri bahwa pandemi ini mengajarkan kita untuk lebih menghargai alam.


Tidak hanya itu, melalui pandemi ini memberi jeda untuk iklim. Rehat sejenak untuk membiarkan bumi tempat tinggal segala mahluk hidup memulihkan kembali dirinya, dan haknya. Manusia mempunyai pikiran dan akal budi karena itu bisa membaca keadaan sekarang sebagai mekanisme ekologis untuk mempertahankan keseimbangan.
Lockdown berbagai negara, kota-kota besar maupun kota kecil, kampus dan sekolah-sekolah secara tidak langsung telah membiarkan bumi untuk istirahat sejenak. Udara yang telah tercemar dan sampah-sampah yang menggunung setidaknya untuk saat ini tidak kita alami. Sebagian besar orang akan masak sendiri, mendayahgunakan kekayaan lokal, pangan lokal, berhemat, solidaritas dengan tatangga dan komunitas. Pada akhirnya, jiwa konsumtif kita disadarkan untuk lebih menghargai segala yang telah alam berikan.
Melalui pandemi ini pun akhirnya kita berhemat sumber daya. Kita tidak tahu sampai kapan pandemi Covid-19 ini. Selama ini, kita merasa alam akan terus melayani tanpa habis. Membuang air, makanan, minuman, bahan bakar; sudah biasa kita lakukan. Sekarang, saatnya kita belajar untuk hidup hemat dengan apa yang ada. Makan apa yang ada, tidak perlu ikut heboh menumpuk sembako yang akan menimbulkan keriuhan. Makan masak sendiri dengan bahan-bahan yang mampu di dapat dari sekitar. Toh, itu jauh lebih nikmat kan dibanding harus membeli di luar terus?
Pada akhirnya kita sampai pada pertanyaan apakah para pemimpin negara bisa belajar dari kasus pandemi ini? Setelah mereka melihat apa yang telah terjadi terhadap ekologi dan kehidupan yang berkelanjutan. Apakah para pemimpin negara khususnya negara adidaya akan terus mendorong industrialisasi yang terus mengancam ibu bumi? 
Atau sebaliknya yaitu memberlakukan kebijakan pertumbuhan hijau yang lestari? Mari kita simak apa langkah yang diambil pemerintah pasca covid-19 dan apakah masyarakat luas juga akan menyadarinya sehingga memperbaiki pola hidup?
Maka, untuk memperingati hari bumi yang jatuh pada tanggal 22 April, marilah kita bersama-sama melihat kembali tindakan di masa lalu yang merusak bumi rumah kita bersama. Bumi sebagai ibu yang tak henti-hentinya menyuap dan mengasuh kita perlu dirawat dan diperhatikan.
Dalam spiritual Fransiskan misalnya, air, binatang, tumbuh-tumbuhan, gunung, lautan, bumi, sungai…. mempunyai tempat dalam kehidupan kita. Santo Fransiskus Assisi menemukan wajah Sang Pencipta dalam tiap ciptaan. Dia menghormati kebutuhan tiap ciptaan sebagaimana kita baca dalam kisah serigala gubio. Fransiskus menyadari baik kebutuhan masyarakat Gubio maupun juga serigala. Dengannya, dia mampu mengembalikan kedamaian dan harmoni.
Selain itu dalam Konstitusi Umum Fransiskan dikatakan “Dengan mengikuti jejak St. Fransiskus, hendaknya saudara-saudara menunjukkan rasa hormat terhadap alam yang dewasa ini terancam dimana-mana; sedemikian rupa sehingga alam itu seluruhnya dibuat menjadi bagaikan saudara dan bermanfaat bagi semua manusia untuk kemuliaan Allah pencipta" (Konsum. 71). Teks singkat ini mengekspresikan sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap Fransiskan terhadap saudari ibu bumi. Yaitu sikap hormat dan perhatian.
Selamat Merayakan Hari Bumi dengan Cara Kita Masing-masing




Beberapa Catatan Penting Dunia Pendidikan Indonesia Tahun 2020



Tahun baru 2020 diharapkan memberi semangat baru untuk perbaikan pendidikan di Indonesia. Akhir tahun 2019 tercatat berbagai harapan diarahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah kepemimpinan "Mas Menteri" Nadiem Makarim, seperti program "Merdeka Belajar" dan rencana membuat Cetak Biru Pendidikan Indonesia. Terkait hal itu, dalam diskusi singkat di kantor ditemani segalas kopi hitam Bersama dengan pemerhati dan praktisi pendidikan Indra Charismiadji, dia memberikan beberapa catatan penting terhadap arah pembangunan pendidikan Indonesia di tahun 2020. Ada pun poin-poin itu sebagai berikut:

1. Kondisi pendidikan Indonesia
Melihat hasil beberapa kajian ilmiah baik dari luar negeri seperti PISA, World’s Most Literate Nations, TIMMS, PIRLS, Universitas 21, dan lain sebagainya, juga hasil dalam negeri seperti Ujian Nasional dan lain-lain menunjukkan selama hampir 20 tahun kondisi pendidikan Indonesia stagnan berada di posisi salah satu terbawah di dunia. Bahkan untuk urusan paling fundamental dalam pendidikan yaitu membaca.
Suatu kondisi menyedihkan dan memalukan mengingat anggaran besar yang telah dikeluarkan untuk mencerdaskan bangsa ini baik dalam bentuk APBN, APBD, bantuan luar negeri, maupun dana masyarakat. Kita harus bahu membahu memperbaikinya. Bukan mencari siapa yang salah, melainkan dari titik mana kita bergerak memperbaiki. Dengan demikian, langkah perbaikan akan berjalan tanpa beban karena tidak menutup-nutupi kondisi sebenarnya.

2. Membuat cetak biru pendidikan Indonesia
Setelah bertahun-tahun diusulkan perlunya sebuah cetak biru/blueprint/grand design pendidikan Indonesia, akhirnya Mas Menteri Nadiem Makarim menyatakan akan membuatnya dalam waktu 6 bulan ke depan. Suatu langkah patut diapresiasi karena ini adalah sebuah tonggak bersejarah bagi Indonesia dengan memiliki cetak biru pendidikan untuk pertama kalinya.
Blueprint ini oleh para pemerhati pendidikan disarankan agar masuk sebagai bagian dari Revisi UU Sisdiknas yang kebetulan sudah masuk prolegnas. Tujuannya, agar tidak hanya berhenti di Peraturan Pemerintah atau bahkan Peraturan Menteri. Selain itu, dalam menyusun cetak biru ini, hendaknya Kemdikbud membentuk tim yang juga melibatkan pihak luar Kemdikbud dan pemerintah daerah agar memiliki sudut pandang lain.
Cetak biru pendidikan ini harus menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0 yang sangat berbeda dengan era sebelumnya yang bernuansa manufaktur atau pabrik. Di era sekarang yang dibutuhkan dunia adalah inovator-inovator dan kreator-kreator baru atau Nadiem-Nadiem baru.

Baca Juga: Kualitas Kepala Sekolah dan Guru Menentukan Kualitas Pendidikan

Kenapa dibutuhkan cetak biru pendidikan? Karena akan membantu semua pihak dalam menyusun program kerja sehingga tidak tumpang tindih atau bahkan bertolak belakang. Contoh: Kemdikbud mengeluarkan kebijakan zonasi dengan dalih agar tidak ada kastanisasi dalam pelayanan publik. Tetapi, nyatanya selama ini justru Kemdikbud yang membuat adanya kasta sekolah menggunakan istilah sekolah rujukan atau sekolah teladan.
Sebenarnya (ini) dibuat dalam kapasitas serapan anggaran yang tidak akan cukup untuk seluruh sekolah di Indonesia. Karena itu dibuatlah kasta tersebut agar sekolah dengan kasta tertentu berhak mendapatkan bantuan yang berasal dari DIPA Kemdikbud. Cetak biru ini akan menunjukkan sebenarnya total anggaran yang dibutuhkan untuk operasional dan perbaikan sekolah-sekolah se-Indonesia. Cetak biru ini harus dimulai dari kondisi nyata saat ini (poin nomor 1) dengan target tahun 2045 Indonesia menjadi kekuatan ekonomi nomor 5 dunia.

3. Tata kelola dan kualitas guru
Dari berbagai permasalahan muncul dalam tata kelola pendidikan Indonesia, mutu guru adalah salah satu yang paling krusial apalagi jika mengacu pada hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dilakukan Kemdikbud. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
a. Dilakukan seleksi ulang, siapa-siapa saja yang layak berprofesi sebagai pendidik (tidak semua orang memiliki minat dan bakat sebagai pendidik). Karena jika dipaksakan hasilnya tidak maksimal dan berakibat buruk bagi generasi penerus bangsa.
b. Bagi para pendidik yang layak diberikan pelatihan dengan konsep dan strategi matang.
c. Guru harus memiliki Izin Praktik Mengajar dan diperbaharui secara berkala. Sebaiknya lisensi ini tidak dikeluarkan pemerintah semata melainkan melalui organisasi profesi guru atau sinergi keduanya
d. “Pabrik guru” alias LPTK yang harus ditransformasikan agar mampu mendidik calon guru yang sesuai dengan tantangan Revolusi Industri 4.0.

Baca Juga: Sudah Saatnya Ujian Nasional Dihapus

4. Keterbukaan akses pendidikan dan sinergi lembaga swasta
Sudah menjadi rahasia umum jika pendidikan di negeri ini tidak adil. Terdapat banyak kesenjangan dalam pendidikan kita. Jika demikian, apa saja yang bisa dilakukan:
a. Perketat Zonasi dengan tidak boleh ada penolakan bagi anak-anak dari keluarga pra sejahtera dan berikan edukasi pada masyarakat bahwa pelayanan publik termasuk sekolah tidak boleh ada kastanisasi.
b. Karena kondisi keuangan negara belum cukup kuat memberikan pelayanan 100 persen, maka perlu dipertimbangkan kerja sama dengan pihak swasta daripada terus menerus membangun sekolah baru yang biaya pembangunan dan operasionalnya tinggi. Lebih baik bekerja sama dengan sekolah swasta yang sudah melayani daerah tersebut selama bertahun-tahun dari pada membangun sekolah baru.
Model kolaborasi ini sangat populer di berbagi belahan dunia dengan istilah Charter School. Intinya sekolahnya tanpa biaya bagi masyarakat, biaya 100 persen ditanggung pemerintah, namun pengelolanya adalah pihak swasta. Mutu pendidikan benar-benar dikawal ketat dan biayanya jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan membuka sekolah negeri baru yang butuh guru ASN, sarana dan prasarana baru, serta biaya operasional yang tinggi.

5. Mengurangi pengaruh politik dan peningkatan profesionalitas layanan
Salah satu problematika pendidikan Indonesia yang diotonomikan adalah tekanan politik dari kepala daerah misalnya pergantian kepala sekolah/pejabat dinas pendidikan yang dilakukan atas dorongan politik.
Pengangkatan pendidik dan tenaga kependidikan sering kali merupakan bagian dari timses kepala daerah, atau pun penempatan personil yang tidak memiliki kapasitas serta kapabilitas dalam mengelola pendidikan. Untuk itu dapat menjadi sebuah alternatif jika pelayanan pendidikan bukan ditempatkan di bawah birokrasi pemerintah daerah melainkan berdiri sendiri seperti di Eropa, Amerika Serikat, maupun Australia.
Secara finansial mereka di bawah pemerintah negara bagian/provinsi tetapi pelakunya bukan ASN tetapi profesional dunia pendidikan yang disebut sebagai School Board/Dewan Sekolah yang ada masa jabatannya. Dewan Sekolah ini bisa dipilih oleh masyarakat atau ditunjuk pemerintah pusat dan atau daerah. Selain itu, mereka adalah para profesional di bidang pendidikan.

Baca Juga: Bekerja Menggunakan Gadget

6. Kurikulum sesuai kebutuhan zaman
Di era Industri 4.0 ini kebutuhan akan para inovator dan kreator menempati urutan utama. Untuk itu kurikulum harus disesuaikan menjadi seperti berikut: Penguatan kemampuan calistung sebagai fondasi pembelajaran Pendidikan berbasis STEAM (Science, Technology, Engineering, Art Mathematic). Selain itu, pemanfaat teknologi secara optimal dalam pembelajaran Kompetensi inti; penalaran tingkat tinggi, serta kemampuan 4K (Komunikasi, Kolaborasi, Kritis dan Kreatif).

Hati-hati Menggunakan Media Sosial (Facebook)



Sesuatu yang mungkin tak dapat kita pungkiri di zaman sekarang ini ialah kecanduan menggunakan gadget untuk berselancar di media sosial (WhatsApp, Twitter, Instagram, Facebook). Tetapi penulis ingin melihat lebih jauh, yaitu pengaruh media sosial secara khusus facebook terhadap kehidupan sehari-hari. Kenapa facebook yang dipilih karena hal ini berangkat dari pengalaman yang selama ini tinggal di Manggarai dan setiap hari menyaksikan kehidupan masyarakat di Manggarai.
Facebook membuat kita harus ikut terlibat dan berpacu bersamanya. Contohnya saja, ketika kehabisan paket data atau jaringan lelet (baca:loading). Kita seperti orang gila atau orang kesurupan setan. Bahkan ada yang mungkin tidak bisa makan lalu galau. Mungkin putus cinta masih lebih baik. Iya to? (Catatan: ini pengakuan para jomblo yaa). Semenit saja tidak membukanya, serasa sudah setahun. Seakan-akan kita tidak bisa hidup tanpanya.
Hebat bukan main. Tanpa kita sadari kita sudah terperangkap dan terjebak di dalamnya. Memang ada hal-hal baik ketika menggunakan facebook. Contohnya: membuat status yang dapat memotivasi orang lain, membagikan cerita pengalaman melalui blog lalu dibagikan di facebook, menonton video lucu, menghubungi teman, keluarga dan kenalan yang jauh, serta masih banyak lainnya. Sangat banyak keuntungan sekaligus kerugian yang bisa didapat. Jika tidak bisa mengatur diri sendiri, maka bersiap-siaplah masuk ke jurang kegelapan yang paling gelap.
Oleh karena itu, ada beberapa sisi negatif akibat kecanduan menggunakan facebook yang dapat merugikan diri sendiri dan sesama. Contohnya: mencurahkan isi hatinya ketika baru saja diputus pacar, mengunggah foto senonoh, menggunakan kata-kata kasar untuk mencibir atau memprovokasi orang lain. Selain itu, ada juga orang yang menjadikan madia sosial ini sebagai tempat untuk berdoa dan memohon kepada Tuhan. Aduhhhh mama sayang ee.
Kita bahkan rela menghabiskan waktu menunggu dan juga memeriksa akun kita setiap menit dan mungkin saja setiap detik untuk melihat berapa banyak like dan komen yang didapatkan setelah menggunggah status atau foto. Seakan-akan facebook itu lebih penting dari segala-galanya yang ada di dunia. Haissss.
Mark Zuckerberger pendiri sekaligus CEO facebook mengatakan "berhentilah kalian berdoa di facebook, aku tidak bisa mengabulkan doa-doa kalian, aku CEO, bukan Tuhan.” Lebih lanjut Yuval Noah Harari dalam bukunya berjudul "Homo Deus" (2015: 444-445), mengatakan, "...kita adalah kaum datais yang percaya bahwa pengalaman tidak berguna jika tidak dibagi, dan bahwa kita tidak perlu - bahkan tidak bisa - mencari makna dalam diri kita sendiri. Kita hanya perlu merekam dan menghubungkan pengalaman-pengalaman kita pada aliran data besar..." Karena sibuk melihat ke luar dan mencari pengakuan dari orang lain, sampai lupa untuk melihat ke dalam diri dan mencari ke kedalaman diri. Akhirnya, hidup menjadi dangkal dan mungkin tidak menemukan makna hidup.
Yuval Noah menambahkan, “20 tahun lalu, para turis Jepang menjadi bahan tertawaan dunia karena mereka selalu membawa kamera dan mengambil gambar segala hal di tempat. Kini setiap orang melakukannya. Jika anda pergi ke kebun binatang dan melihat seekor gajah, anda tidak memperhatikannya dan bertanya kepada diri sendiri, "Apa yang saya rasakan? Berapa umur gajah itu? Dan dari mana dia berasal? Anda hanya mencari telepon genggam, mengambil gambar gajah itu dan mengunggahnya ke facebook lalu kemudian memeriksa akun anda setiap beberapa saat untuk melihat berapa banyak like dan komen yang anda dapatkan."
Kebanyakan dari kita sudah tidak tertarik lagi untuk menulis puisi atau pun membaca buku dan lain-lain yang lebih bermanfaat. Hal itu disebabkan karena kita merasa semuanya tidak berguna dan membuang waktu saja. Toh kalau pun saya menulis, pasti tidak ada yang membacanya. Satu hal yang terlintas dalam benak ialah jika saya mengalami sesuatu atau menemukan sesuatu, saya harus merekamnya kemudian mengunggah dan membagikannya.
Dari uraian dan penjelasan di atas, penulis mencoba menarik kesimpulan yang dapat arahan bagi kita semua terutama untuk memperbaiki hal-hal yang kurang berkenan di hati penulis, yaitu: bijaklah dalam menggunakan media sosial (facebook) karena jangan sampai kita terlalu larut dan terhanyut dalam menggunakannya. Jangan sampai setelah kita menceburkan diri dalam menggunakan media sosial kita tersesat dan tak tahu jalan pulang.
Perhatikan etika dan etiket dalam bermedia sosial apalagi dalam penggunaan kata-kata yang tidak senonoh. Berhentilah membuang-buang waktu yang berlarut-larut tanpa melakukan kegiatan yang lebih penting. Berhentilah mendewakan facebook yang seakan-akan menjadi Tuhan yang kita percayai dengan memanjatkan doa dan permohonan.
Dampak lain yang mungkin sudah kita alami saat ini adalah ketika terlalu asyik dengan gadget dan bermain facebook ada kecenderungan lebih sering berinteraksi dengan sesama pengguna facebook dan mengabaikan orang di sekitar. Dengan demikian, pada titik tertentu mereka berhenti berinteraksi dengan banyak orang di dunia nyata dan memilih terus terhubung dengan sesama pengguna facebook.

Coronavirus Menyingkap Kegagalan Dunia Sains



Kita tahu pandemi ini akan datang. Pada 1994, dalam The Coming Plague, Laurie Garrett mengungkapkan, “Sementara umat manusia berjuang memperebutkan wilayah yang semakin padat dan sumber daya yang lebih langka, keuntungan berpindah ke pengadilan mikroba. Mikroba adalah pemangsa dan mereka akan menang jika kita, Homo sapiens, tidak mempelajari bagaimana seharusnya hidup di kampung global.”
Analisis yang lebih bijaksana muncul dari Institut Kedokteran AS pada 2004. Setahun sebelumnya, yaitu pada 2003, mereka melakukan penelitian dan mengevaluasi apa yang bisa dipelajari dari wabah Sars yang pernah menewaskan banyak orang. Mengutip Goethe, "Penanganan Sars yang cepat adalah keberhasilan dalam dunia kesehatan, sekaligus sebagai peringatan ... Jika Sars terulang kembali ... sistem kesehatan di seluruh dunia akan berada di bawah tekanan ekstrem ... kewaspadaan yang berkelanjutan sangat penting." Namun, dunia mengabaikan peringatan ini bahwa sewaktu-waktu akan dilanda pandemi yang mematikan.
Respons global terhadap covid-19 adalah kegagalan dunia sains di awal abad ke-21. Betapa tidak, hingga Sabtu (11/04/2020), total kasus positif Corona sebanyak 1.699.019 dan menewaskan 102.019 orang. Jumlah yang tidak sedikit dan memunculkan keresahan. Meski demikian, ada harapan untuk kita bahwa jumlah pasien yang sembuh jauh lebih banyak, yaitu 341.780 orang. Akan tetapi, tetap saja menimbulkan kecemasan dan ketakutan karena jumlah pasien yang terjangkit virus ini semakin bertambah dari hari ke hari.
Jika kita sedikit mempelajari sejarah sebenarnya sinyalnya sudah jelas. Dunia dilanda virus Hendra pada (1994), lalu virus Nipah (1998), Sars (2003), Mers (2012), dan Ebola (2014). Dari rentetan-rentetan peristiwa ini seharusnya tidak hanya dunia medis, tetapi juga para ilmuwan sudah mengetahui bahwa di masa depan akan ada virus yang mematikan manusia, sehingga fasilitasnya disiapkan agar bisa ditangani dengan lebih baik. Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, fasilitas laboratorium sudah seharusnya lengkap. Sayangnya, semua itu hanya idealisme belaka.
Bahwasan tanda-tanda peringatan homo sapiens tidak peduli dengan peringatan alam itu bukanlah hal yang mengejutkan. Beberapa dari kita telah mengalami pandemi. Kita pun bersalah karena mengabaikan peringatan yang sudah dialami oleh Tiongkok dan pengalaman selama ini. Bencana ini mengungkap kelemahan bahwa ingatan manusia terbatas. Meskipun kejadian yang hampir mirip pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, tetapi manusia melupakannya. Atau mungkin juga karena bahaya alam yang tidak bisa dihindari.
Selama krisis ini, baik masyarakat akar rumput maupun politisi papan atas, semuanya pasrah kepada ilmuwan dan tenaga medis. Namun, pada kesempatan ini, para ilmuwan yang telah membuat model dan mensimulasikan kemungkinan masa depan kita - membuat asumsi yang ternyata salah. Contoh paling nyata adalah Inggris yang membayangkan pandemi ini seperti influenza. Mereka mengira virus ini jinak karena itu tidak perlu mendengarkan imbauan pemerintah. Ternyata virus ini jauh lebih berbahaya.
Jika negara lain ketika di awal penyebaran Covid-19 masa bodoh, Tiongkok malah sebaliknya. Mereka belajar dari pengalaman penyebaran virus Sars. Ketika pemerintah menyadari bahwa ada virus baru yang beredar, para pejabat Tiongkok tidak menyarankan mencuci tangan, etiket batuk yang lebih baik dan membuang tisu. Mereka mengkarantinakan seluruh kota dan mematikan perekonomian. Alhasil, mereka bisa mengatasi penyebaran virus ini.
Kita hidup di zaman antroposentrisme, era di mana aktivitas manusia telah mempengaruhi perubahan lingkungan. Gagasan antroposentrisme memunculkan gagasan tentang kemahakuasaan manusia. Akan tetapi, Covid-19 telah mengungkapkan kerapuhan kita dengan cara yang menakjubkan. Konferensi iklim yang selama ini telah dilakukan dan belum mendapatkan hasil maksimal seperti mendapatkan tamparan keras. Dalam hitungan minggu udara di berbagai belahan dunia menjadi lebih baik pasca diberlakukan karantina di rumah masing-masing.
Melalui covid-19 telah menunjukkan ketidakmampuan kita untuk bekerja sama, berkoordinasi, dan bertindak bersama. Mungkin kita tidak bisa mengendalikan dunia. Mungkin kita tidak cukup dominan seperti yang pernah kita pikirkan. Akan tetapi, kita masih bisa bekerja sama dan saling mendukung untuk menyelesaikan masalah ini. Penyebaran virus ini hanya bisa dihentikan jika semua orang mau bekerja sama dan mengindahkan larangan tenaga medis.
Jika Covid-19 akhirnya membuat manusia untuk bersikap rendah hati, mungkin saja kita akan menerima pelajaran pandemi mematikan ini. Atau mungkin kita akan tenggelam kembali ke dalam budaya kita yang luar biasa dan menunggu wabah berikutnya yang pasti akan datang. Masa depan memang masih misteri, tetapi tidak salah jika kita mulai menyiapkan masa depan yang lebih baik dengan belajar dari pengalaman masa lalu dan masa kini.



Haleluya! Kristus Telah Bangkit!



Mengucapkan kata-kata ‘Haleluya! Kristus telah bangkit!’ seperti minum segelas air dingin setelah keluar di padang pasir sepanjang hari. Masa puasa telah berakhir dan sekarang saatnya untuk merayakan kegembiraan Paskah! Paskah sebagai puncak iman kristiani. Setelah kisah sengsara, kini saatnya merayakan paskah.
Pada Malam Paskah, diawali dengan menyanyikan exsultet (pujian paskah) dalam kegelapan. Keadaan dalam gereja hanya diterangi lilin. Exsultet adalah nyanyian pujian yang indah bersukacita karena kemenangan Kristus atas dosa dan kematian. Ada salah satu bagian menyatakan:
Betapa agung kasih-Mu Bapa terhadap kami
Sampai Putra-Mu kau serahkan untuk menebus para hamba
Sungguh perlu dosa Adam, yang telah dilebur oleh wafat Kristus.
O dosa yang menguntungkan sebab mendatangkan penebusan semulia ini!

Bait di atas istimewa karena menyebut dosa Adam "diperlukan" sehingga " menguntungkan sebab mendatangkan penebusan semulia ini." Pada awalnya, mungkin tampak aneh. Mengapa kita menyebut dosa Adam, dosa asal diperlukan diperlukan untuk mendatangkan kebahagiaan. Jawabannya adalah karena adanya Paskah. Hal itu karena Allah, dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya yang sempurna kepada ciptaan-Nya, mengambil dosa dan konsekuensi dari dosa (kematian) serta menggunakannya sebagai sarana keselamatan dunia.
Mungkin sulit untuk dipahami sehingga perlu dipikirkan lebih dalam. Pandangan tradisional kita adalah tanpa dosa Adam, Allah tidak akan menjadi manusia. Karena itu, Tuhan tidak harus menjadi salah satu dari ciptaan-Nya (baca:manusia) jika tidak ada dosa di bumi. Akan tetapi, karena kasih-Nya yang besar kepada ciptaan-Nya Allah pun menjadi sama dengan ciptaan-Nya. Jadi, dosa asal Adam serta semua dosa di masa depan, Allah dalam kuasa dan kasih-Nya yang sempurna memilih untuk menggunakannya sebagai sarana keselamatan dunia.
Bagaimana caranya? Dengan membiarkan dosa-dosa dunia menganiaya Dia dan menyalibkan Dia, lalu mengubah penderitaan dan kematian itu menjadi sarana keselamatan. Yesus menghancurkan dosa dengan menghancurkan konsekuensi dari dosa yaitu kematian. Kematian hilang dalam Kebangkitan! Kebangkitan Yesus menghapuskan efek dari semua dosa bagi mereka yang berpegang teguh kepada-Nya.
Paskah adalah saat ketika kita harus melakukan hal itu. Berpegang teguh kepada Tuhan kita yang telah bangkit! Berpegang teguh pada Yesus yang hidup dan bangkit. Bagaimana kita berpegang teguh pada Tuhan kita yang telah bangkit?


Ada banyak cara salah satunya adalah bersuka cita dalam segala hal. Mulailah dengan apa pun yang paling memberatkan anda. Apa pun itu yang membuat anda marah, sedih atau tertekan. Seberat apa pun itu, tetap saja berpotensi menjadi salah satu sumber rahmat dan sukacita.
Jika penyaliban Yesus yang kejam, Anak Allah, dapat berubah menjadi peristiwa terbesar dalam seluruh sejarah manusia, maka penderitaan pribadi, beban, atau bahkan dosa kita dapat menjadi sumber sukacita besar selama kita membiarkan Allah mengubahnya menjadi bagian dari kebangkitan-Nya!
Inilah arti Paskah! Paskah berarti tidak ada yang bisa menjauhkan kita dari sukacita yang Allah ingin berikan. Tidak ada yang bisa mencuri kesenangan itu. Tentu, kadang-kadang kita akan berjuang seperti yang Yesus lakukan dalam penderitaan di taman Getsemani dan Via Dolorosa (Jalan Salib), tetapi penderitaan itu tidak akan menang. Kebangkitan Kristus menghalau segalanya.
Saat ini memang kita sedang dilanda pandemi covid-19 dan karantina pribadi rumah masing-masing. Selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu aktivitas kita hanya di dalam rumah. Tentu saja hal itu membuat kita bosan dan jenuh. Akan tetapi, justru di situlah sumber suka cita. Ketika mampu mengendalikan diri untuk tetap stay at home sehingga penyebaran virus ini berkurang maka kita telah menyebarkan suka cita berlimpah kepada banyak orang.
Paskah tahun 2020 sangat berbeda dari paskah tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada upacara meriah di gereja. Semua umat dihimbau untuk melakukan doa di rumah masing-masing. Suka cita paskah pun bisa dirasakan di mana-mana. Kebangkitan Kristus dari alam maut adalah kesempatan bagi kita untuk ikut bangkit melawan penyebaran virus corona dengan cara kita masing-masing. Kebangkitan Kristus hanya bermakna untuk orang-orang yang ingin memperbaharui dirinya dan selalu bersuka cita meskipun sedang dilanda pandemi seperti saat ini.
Selamat Paskah!!!

Sumber Gambar: localprayers.com

Bangkit Bersama Kristus Menjadi Pahlawan Sejati



Sebuah kesedihan yang mendalam sekaligus terharu bagi kita di tengah situasi saat ini yang telah membuat kita takut dan panik serta tidak lagi peduli dengan sesama. Dengan semakin banyaknya orang yang pulang kampung memicu perdebatan yang saling menyalahkan dan hampir tidak menemukan titik temu.
Keadaan yang begitu sulit dan pelik. Belum lagi penyebaran isu-isu serta berita-berita palsu hanya menambah ketakutan, kecemasan dan kepanikan. Orang-orang pun mencoba mendekatkan diri kepada Allah sebagai empunya kehidupan. Di tengah pandemi yang semakin parah orang-orang hanya bisa berharap kepada Tuhan agar dapat beraktivitas seperti sedia kala. Agar keadaan semakin membaik dan penyebaran virus corona segera di atasi.
Tantangan lain yang dihadapi saat ini khususnya umat Kristiani adalah tidak dapat merayakan paskah meriah seperti tahun-tahun sebelumnya. Malam perjamuan terakhir, perarakan sakramen, mengenang kisah sengsara Yesus sata Jumat Agung yang seharusnya begitu agung dan perayaan kebangkitan Kristus dari alam maut tidak dapat dirayakan secara Bersama-sama.
Hening seketika. Kisah sengsara di hari Jumat Agung dalam proses penyembahan terhadap salib yang seharusnya dirayakan begitu sakral dan khitmad hanya bisa disaksikan melalui layar gadget. Sabtu suci yang seharusnya meriah di paroki-paroki dan stasi-stasi diiringi dengan paduan suara dan cahaya lilin paskah tidak dapat dirayakan secara meriah. Di gereja-gereja hanya dihadiri oleh segelintir orang yang menjadi pelayan perayaan ekaristi atau ibadat. Perayaan paskah yang memilukan hati.


Hari ini, dalam tragedi pandemi coronavirus dan pada hari raya Paskah, Yesus mengajak kita agar bangkit bersama-sama dengan Dia dan berpegang teguh kepada-Nya. Yesus yang tersalib, mengajak kita untuk melihat salib dan merenungkan betapa besar cinta kasih Allah bagi kita. Bahkan sampai Dia memberikan putra-Nya kepada kita semua.
Kita pun diajak untuk belajar dari Bunda Maria yang menatap putranya yang disalibkan dengan keheningan batin dan tatapan hati. Ketakutan yang luar biasa juga dialami oleh murid-murid Yesus di saat mereka diterjang badai. Ketakutan dan kecemasan yang luar biasa tidak saja dialami oleh kita tetapi juga dialami oleh Yesus sendiri dan murid-murid-Nya. Tetapi, kita diajak agar menyerahkan segala kekuatiran dan kecemasan kepada-Nya. Belajar pada Abraham yang selalu berharap pada Allah. Meskipun harus menjadikan putranya sebagai persembahan kepada Allah, Abraham pun berani melakukannya. Kita pun diajak agar bisa seperti dia.


Memang saat ini kita sedang menghadapi pandemi yang ganas dan mematikan. Bahkan sekadar untuk berkumpul dan memuliakan Allah secara Bersama-sama pun tidak bisa dilakukan. Penyebaran berita palsu dan masih banyak persoalan lainnya. Akan tetapi, kita tidak bisa terus terlarut dalam keadaan seperti itu. Kita perlu bangkit dan berharap bahwa badai pasti berlalu. Semua persoalan yang sedang kita hadapi saat ini adalah ujian yang mesti kita lewati. Saat ini, kita bergandengan tangan untuk bersama-sama menghadapi ujian itu. Bukan saling menyalahkan.
Sebagai penutup dari tulisan dan renungan singkat ini, penulis ingin mengajak kita semua untuk menyudahi perdebatan yang tidak penting yang hanya dapat merugikan sesama, menyebarkan isu-isu serta berita-berita palsu yang membuat kita semua takut dan cemas.
Alangkah akan lebih baik jika kita bergandengan tangan dan memberi diri menjadi "pahlawan sejati" dalam menolong sesama dengan memberikan berita-berita positif yang baik dan bermanfaat. Tidak semua di antara kita bisa memberikan pertolongan saat ada yang menderita, tetapi kita bisa mencegahnya dengan menertipkan diri sendiri. Berani menertipkan diri sendiri akan memutus penyebaran berita palsu atau hal-hal lain yang merugikan sesama.


Kebangkitan Kristus dari alam maut adalah momen kita untuk kembali menata diri untuk berlangkah maju. Semua yang ada di bawah kolong langit ini tidak ada yang sia-sia. Kita hanya perlu melihatnya dari berbagai sisi yang bisa memberikan dampak positif untuk orang lain. Agar, perayaan suka cita paskah bisa membawa suka cita kepada semua orang yang kita jumpai.
Paus Fransiskus mengatakan bahwa sama seperti Allah Bapa menopang Yesus dalam penderitaan dalam Sengsara-Nya, Tuhan juga mendukung setiap orang yang cinta akan pelayanan-Nya kepada orang lain. Paus juga menambahkan bahwa Yesus ingin agar kita membuka hati untuk menerima rahmat keberanian sehingga kita bisa merasakan cinta penghiburan dari Tuhan yang menopang hidup kita.

Selamat pesta paskah untuk kita semua... (Afin Gagu, Tiggal di Manggarai)

Sumber gambar: Dokumentasi pribadi Afin Gagu


MENYONGSONG TRI HARI SUCI DALAM NUANSA CORONA VIRUS



Tinggal menghitung jam umat Katolik di seluruh dunia akan merayakan Tri Hari Suci sebagai perayaan misteri iman kristiani. Namun, perayaan itu tidak lagi dirayakan sebagaimana mestinya yang dihadiri oleh umat karena adanya himbauan dari pemerintah agar “mengisolasi diri” yang disebabkan oleh coronavirus atau lebih dikenal dengan Covid-19.
Tahun ini merupakan tahun terburuk sepanjang sejarah penulis sebagai umat Katolik. Betapa tidak, baru pertama kali saya mengikuti misa secara online (via youtube dan live-streaming). Tetapi, kita juga bisa berdoa menurut cara kita masing-masing. Sebuah pencobaan sekaligus ajakan pertobatan yang tidak bisa dielakan dan sulit untuk diterima tetapi harus bisa dijalani. Hal ini bukanlah perkara mudah mengingat keterbatasan jaringan internet di seluruh pelosok daerah Manggarai Belum lagi keterbatasan handphone seluler yang tidak memiliki aplikasi android untuk mendukung ketersediaan aplikasi-aplikasi seperti, facebook, youtube dan lain-lain.


Menghadapi kenyataan pahit itu, muncul berbagi macam pertanyaan yang mungkin saja tidak dapat kita jawab. Apakah ini pertanda bahwa iman kita sedang mengalami cobaan? Seperti yesus yang dicobai oleh iblis di padang gurun (Mat. 4:1-11). Apakah ini waktu yang tepat bagi kita untuk bertobat? Seperti Yesus mengajak kita untuk bertobat dengan sungguh-sungguh (Mat. 3:2). Apakah kita masih bisa merayakan Tri Hari Suci tanpa harus mengikutinya secara online?
Dari uraian di atas, penulis mencoba menarik ikhtiar bahwa kerinduan untuk bisa mengikuti perayaan ekaristi Tri Hari Suci bukanlah sebuah dambaan yang semu. Persoalan sekarang justru mengajak kita semua untuk bertobat secara menyeluruh dalam masa pencobaan di tengah kasus coronavirus. Bertobat dari cara hidup lama yang mungkin telah merugikan orang lain dan merusak alam ciptaan. Melalui pandemi covid-19 kita disadarkan betapa rapuhnya diri kita di hadapan alam yang begitu luar biasa.
Pandemi covid-19 yang sedang kita alami saat ini, di saat kita sedang menyiapkan diri untuk perayaan paskah terasa tepat. Dengan diberlakukannya isolasi mandiri di rumah secara tidak langsung memberi kita kesempatan untuk kembali ke kedalaman diri dan melihat kembali pengalaman selama ini. Mungkin selama ini kita disibukan dengan berkelana ke sana kemari mencari sesuap nasi, tetapi melalui pandemi ini diberi jeda dan waktu untuk diri sendiri dan waktu untuk keluarga.

Bertobat dan Cobaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bertobat memiliki arti: menyesal dan berniat hendak memperbaiki (perbuatan yang salah dan sebagainya). Dan cobaan berarti sesuatu yang dipakai untuk menguji (ketabahan, iman, dan sebagainya). Kedua kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam bagi kita umat Katolik saat ini. Mungkin saja coronavirus ini “diciptakan” untuk menguji iman kita kepada Tuhan dan juga menanyakan eksistensi-Nya sebagai Sang Pencipta. Tetapi, kita tidak akan pergi sejauh itu.
Paus Fransiskus dalam sebuah wawancara seperti dikutip dari Cindy Woden 2020 (Catholic News Service, 4.8.2020 7:48 ET) mengatakan karantina, penguncian, dan perintah menginap di rumah adalah kesempatan sempurna untuk PERTOBATAN untuk individu, untuk gereja dan untuk pemerintah.  Lebih lanjut beliau mengajak kita untuk bermeditasi tentang Sengsara Kristus yang dapat membantu kita ketika bergumul dengan pertanyaan tentang Tuhan dan penderitaan selama krisis coronavirus (dikutip dari www.catholiknewsagency.com. Edisi 8 April 2020/03.30, CNA).



Dapat disimpulkan bahwa cobaan yang sedang dihadapi saat ini mengajak kita untuk bertobat dengan sungguh-sungguh. Mungkin ini adalah waktu yang tepat agar kita membenah diri dan menyatakan iman kepercayaan kita kepada-Nya dalam perayaan Tri Hari Suci tanpa harus mengikuti perayaan itu via youtube dan live-streaming. Karena perayaan itu pun takkan bermakna ketika kita tidak melibatkan diri seutuhnya dan tanpa mengambil bagian dalam kisah Sengsara Yesus. Seperti kata Yakobus, “sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 2:26). (Afin Gagu, Tiggal di Manggarai)

Sumber gambar: Dokumentasi pribadi Afin Gagu