bencana alam,
IDMC,
Pengungsi,
perang,
The Guardian,
UNHCR
Tahun 2019 Rekor Jumlah Pengungsi Terbanyak dalam Sejarah
Tahun 2019 memecahkan jumlah rekor
jumlah pengungsi dalam sejarah kemanusiaan. Sebagaimana yang dilaporkan dalam The
Guardian, media terkemuka di Inggris menyebutkan total jumlah pengungsi
selama tahun 2019. Sebanyak 50,8 juta orang di seluruh dunia tercatat sebagai
pengungsi selama kurun tahun 2019, mereka dipaksa keluar dari rumah karena
konflik sosial, perang dan bencana alam. Ini adalah angka tertinggi yang
pernah ada dan jumlahnya bertambah 10 juta jika dibandingkan total jumlah
pengungsi pada tahun 2018.
Statistik tahunan
yang diterbitkan oleh
Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC) atau Pusat Pengawasan
Pemindahan Internal Dewan Pengungsi Norwegia melaporkan bahwa pada akhir tahun 2019,
total 45,7 juta orang mengungsi secara internal - menjadi pengungsi di negara
mereka sendiri - sebagai akibat dari kekerasan di 61 negara. Tambahan 5,1
juta orang di 96 negara telah terlantar akibat bencana. Pengungsi yang
dimaksudkan di sini bukan hanya orang-orang yang pergi meninggalkan negaranya
karena adanya persoalan, tetapi juga orang yang meninggalkan rumah dan daerahnya
lalu pergi ke daerah lain yang lebih aman pun termasuk pengungsi yang dicatat
oleh IDMC.
Alexandra Bilak, direktur IDMC, mengatakan
ia berharap untuk tahun ini pengungsian internal akan mendapat perhatian lebih
global. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya pengungsi yang tidak
diperhatikan dan diperlakukan secara manusiawi ketika mereka tiba di tempat
tujuan. Tidak hanya itu, bagi pengungsi internasional ternyata masih
banyak yang tidak bisa mencapai tempat tujuan karena meninggal di tengah jalan
entah karena kapal tenggelam, perompak, sakit atau banyak masalah lainnya.
Bilak menambahkan ada kekhawatiran
besar terhadap keselamatan orang-orang yang terlantar. “Pengungsi
(pengungsi internal) seringkali adalah orang-orang yang sangat rentan yang
tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat, tempat penampungan darurat dan
permukiman informal dengan sedikit atau tanpa akses kesehatan memadai. Pandemi
global coronavirus akan membuat mereka lebih rentan. Hal ini akan
membahayakan kondisi hidup mereka yang sudah genting, dengan membatasi akses
mereka ke layanan-layanan penting dan bantuan kemanusiaan.” Bilak mengatakan
Dewan Pengungsi Norwegia dan lembaga kemanusiaan lainnya sudah melaporkan bahwa
pembatasan bantuan pemerintah memengaruhi kualitas pelayanan terhadap para
pengungsi.
Laporan, yang diterbitkan pada hari
Selasa, 28/04/2020, menunjukkan bahwa sebagian besar kasus pengungsian tahun 2019
berada di negara-negara yang lebih miskin. Jumlah tertinggi dicatat di Afrika sub-Sahara,
di mana meningkatnya kekerasan dan keamanan yang memburuk di Sahel dan konflik
yang sedang berlangsung di Somalia dan Sudan Selatan terus mengusir ratusan
ribu penduduk lokal dari rumah mereka.
Badai tropis dan hujan monsun di Asia
selatan dan timur dan Pasifik juga telah menyebabkan jutaan orang mengungsi. Negara-negara
seperti India, Filipina, Bangladesh, dan China masing-masing mencatat
setidaknya 4 juta pemindahan, meskipun mayoritas adalah hasil evakuasi oleh
pemerintah mereka. Pada akhir tahun 2019, lebih dari 130.000 orang masih tidak
dapat kembali ke rumah setelah kehancuran topan Idai dan
Kenneth.
Ketika
pengungsi meninggalkan negara asal atau tempat tinggalnya, mereka meninggalkan
hidup, rumah, kepemilikan dan keluarganya. Pengungsi tersebut tidak dapat
dilindungi oleh negara asalnya karena mereka terpaksa meninggalkan negaranya.
Karena itu, perlindungan dan bantuan kepada mereka menjadi tanggung jawab
komunitas internasional.
Pada
akhirnya jumlah pengungsi akan terus bertambah jika keadaan di sekitar tidak
nyaman lagi untuk ditinggali. Mengungsi karena bencana alam memang tidak dapat
dihindari, tetapi mengungsi karena perang atau keegoisan manusia yang merugikan
orang lain adalah bentuk kekejaman terhadap sesama.
Sumber gambar: Matapolitik.com
April 30, 2020