Menu

Coronavirus dan Peringatan Perubahan Iklim



Sejauh ini diskusi tentang strategi penanganan coronavirus berfokus pada langkah-langkah yang dapat mengakhiri penyebarannya. Dalam jangka pendek yang diharapkan baik oleh warga Indonesia maupun semua orang di seluruh dunia adalah pandemi ini segera berakhir. Orang-orang dapat melanjutkan aktivitas dengan aman seperti sedia kala. Tidak ada lagi ketakutan akan terjangkit virus.
Akan tetapi, "kembali ke normal" bukan satu-satunya hal yang penting. Cara para pemimpin dunia mengelola goncangan ekonomi dan politik kolosal yang disebabkan oleh virus juga sangat penting. Dan daftar teratas dari prioritas mereka di samping kesehatan dan kesejahteraan manusia, haruslah nasib ibu bumi dan masa depannya. Masa depan bumi
Masih terlalu dini untuk mengatakan dengan penuh percaya diri coronavirus memberikan dampak signifikan terhadap perubahan iklim. Rem yang digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi, di seluruh dunia, telah menyebabkan pengurangan emisi karbon yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam masa penyebaran coronavirus terjadi pengurangan emisi karbon 18% di Cina antara Februari dan Maret dan antara 40% sampai 60% di Eropa. 
Lalu lintas di jalanan di berbagai kota besar di tanah air mengalami penurunan drastis. Selain itu, pabrik-pabrik juga tidak banyak yang beroperasi. Lalu lintas udara global telah berkurang setengahnya. Di satu sisi pandemi ini telah mengurangi emisi karbon dan memperbaiki kualitas udara. Akan tetapi, di sisi lain pandemi ini menimbulkan kekhawatiran pada banyak orang. Ancaman PHK dan kekurangan pangan hanya tinggal menunggu waktu. 


Efek lanjut dari coronavirus adalah kontraksi ekonomi diprediksi oleh Bank Dunia akan menyebabkan depresi berat dan pasti akan brutal. Tidak seorang pun, paling tidak dari semua pemerintah terpilih, akan memilih untuk membatasi emisi dengan cara seperti ini. Setidaknya selama ini selalu ada konferensi perubahan iklim untuk merancang ke depannya bumi ini mau dibawa kemana. Meski pun hingga sekarang tidak pernah ada tindakan konkret untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran.
Keangkuhan manusia, merasa diri paling hebat telah diporak-porandakan oleh covid-19 dalam hitungan bulan. Virus ini bukan hanya menyerang manusia, tetapi juga sendi-sendi yang berkaitan dengan manusia seperti ekonomi dan sosial. Mungkin ini menjadi kode alam bahwa alam juga butuh istirahat dan diperhatikan secara serius. Mungkin, dalam konferensi perubahan iklim terdapat intrik-intrik politik di dalamnya sehingga untuk merawat ibu bumi hanya dibebankan kepada negara-negara tertentu. Alhasil, bumi pun dengan caranya sendiri menyadarkan kita.

Jeda Ekologi
Bumi butuh istirahat, udara butuh break sejenak dari sirkulasi yang buruk akibat ulah industri, transportasi, dan aktivitas manusia. Covid-19 mengistirahatkan banyak aktivitas yang berpotensi menghancurkan bumi. Dalam arti tertentu musti disyukuri bahwa pandemi ini mengajarkan kita untuk lebih menghargai alam.


Tidak hanya itu, melalui pandemi ini memberi jeda untuk iklim. Rehat sejenak untuk membiarkan bumi tempat tinggal segala mahluk hidup memulihkan kembali dirinya, dan haknya. Manusia mempunyai pikiran dan akal budi karena itu bisa membaca keadaan sekarang sebagai mekanisme ekologis untuk mempertahankan keseimbangan.
Lockdown berbagai negara, kota-kota besar maupun kota kecil, kampus dan sekolah-sekolah secara tidak langsung telah membiarkan bumi untuk istirahat sejenak. Udara yang telah tercemar dan sampah-sampah yang menggunung setidaknya untuk saat ini tidak kita alami. Sebagian besar orang akan masak sendiri, mendayahgunakan kekayaan lokal, pangan lokal, berhemat, solidaritas dengan tatangga dan komunitas. Pada akhirnya, jiwa konsumtif kita disadarkan untuk lebih menghargai segala yang telah alam berikan.
Melalui pandemi ini pun akhirnya kita berhemat sumber daya. Kita tidak tahu sampai kapan pandemi Covid-19 ini. Selama ini, kita merasa alam akan terus melayani tanpa habis. Membuang air, makanan, minuman, bahan bakar; sudah biasa kita lakukan. Sekarang, saatnya kita belajar untuk hidup hemat dengan apa yang ada. Makan apa yang ada, tidak perlu ikut heboh menumpuk sembako yang akan menimbulkan keriuhan. Makan masak sendiri dengan bahan-bahan yang mampu di dapat dari sekitar. Toh, itu jauh lebih nikmat kan dibanding harus membeli di luar terus?
Pada akhirnya kita sampai pada pertanyaan apakah para pemimpin negara bisa belajar dari kasus pandemi ini? Setelah mereka melihat apa yang telah terjadi terhadap ekologi dan kehidupan yang berkelanjutan. Apakah para pemimpin negara khususnya negara adidaya akan terus mendorong industrialisasi yang terus mengancam ibu bumi? 
Atau sebaliknya yaitu memberlakukan kebijakan pertumbuhan hijau yang lestari? Mari kita simak apa langkah yang diambil pemerintah pasca covid-19 dan apakah masyarakat luas juga akan menyadarinya sehingga memperbaiki pola hidup?
Maka, untuk memperingati hari bumi yang jatuh pada tanggal 22 April, marilah kita bersama-sama melihat kembali tindakan di masa lalu yang merusak bumi rumah kita bersama. Bumi sebagai ibu yang tak henti-hentinya menyuap dan mengasuh kita perlu dirawat dan diperhatikan.
Dalam spiritual Fransiskan misalnya, air, binatang, tumbuh-tumbuhan, gunung, lautan, bumi, sungai…. mempunyai tempat dalam kehidupan kita. Santo Fransiskus Assisi menemukan wajah Sang Pencipta dalam tiap ciptaan. Dia menghormati kebutuhan tiap ciptaan sebagaimana kita baca dalam kisah serigala gubio. Fransiskus menyadari baik kebutuhan masyarakat Gubio maupun juga serigala. Dengannya, dia mampu mengembalikan kedamaian dan harmoni.
Selain itu dalam Konstitusi Umum Fransiskan dikatakan “Dengan mengikuti jejak St. Fransiskus, hendaknya saudara-saudara menunjukkan rasa hormat terhadap alam yang dewasa ini terancam dimana-mana; sedemikian rupa sehingga alam itu seluruhnya dibuat menjadi bagaikan saudara dan bermanfaat bagi semua manusia untuk kemuliaan Allah pencipta" (Konsum. 71). Teks singkat ini mengekspresikan sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap Fransiskan terhadap saudari ibu bumi. Yaitu sikap hormat dan perhatian.
Selamat Merayakan Hari Bumi dengan Cara Kita Masing-masing




No comments:

Post a Comment