Menu

Sudah Saatnya Ujian Nasional Dihapus



Niat baik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menghapus Ujian Nasional (UN) ternyata memunculkan pro dan kontra. Namun, Menteri Nadiem yakin penghapusan UN akan lebih mengukur kemampuan siswa, guru dan juga sekolah. Benarkah ini langkah yang benar dalam memperbaiki mutu pendidikan?
Mas menteri memutuskan mengganti Ujian Nasional dengan metode asesmen kompetensi minimum. Hal ini turut didukung dengan hasil survei yang dikeluarkan oleh asesmen Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Penilaian yang dilakukan dalam survei itu terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.
Kebijakan tersebut diharapkan mendorong peserta didik berpikir logis, berprestasi sesuai kompetensi dan mengasah karakter siswa lebih baik. Selain itu, guru juga ditantang agar menerapkan proses belajar dua arah. Proses belajar yang dapat dipahami siswa dan bukan sekadar hafalan semata. Sehingga pembelajaran dalam kelas lebih hidup dan komunikatif.
Menurut pengamat pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis, Indra Charismiadji, metode PISA dan TIMSS berupa ujian dengan soal yang mengandalkan nalar. Dia menyatakan soal-soal ini bukan tipe yang bisa dijawab dengan hafalan. “Jadi, siswa tidak bisa menyontek,” dalam Koran Tempo, Sabtu, 14 Desember 2019.
Menurutnya selama ini UN tidak dapat menunjukkan ukuran dan kualitas siswa yang sesungguhnya. Sebab, dalam banyak pengalaman ketika UN ternyata ada manipulasi. Terdapat dua konteks manipulasi yakni manipulasi negatif seperti bocoran (kunci jawaban) dan nilai serta manipulasi positif dengan model bimbel (bimbingan belajar) yang mengajarkan cara mengerjakan soal UN. Indra menuturkan adanya UN membuat anak belajar bagaimana mengerjakan soal secara cepat dibanding memahami penerapan materi yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya siswa yang dihasilkan adalah siswa yang mampu mengerjakan soal dengan cepat, tetapi gagap menerapkan materi pelajarannya dalam kehidupan nyata. Nilai bagus memang terlihat keren, tetapi jika tidak mampu mengaplikasinya dalam kehidupan nyata akan menjadi nihil. Itulah problem utama yang sedang dihadapi oleh pendidikan kita.
Salah satu contoh paling nyata saat ini adalah siswa/I Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Mereka dituntut untuk mendapatkan nilai UN setinggi-tingginya, tetapi sekolah lupa untuk menyiapkan mereka kompentensi dan soft skill yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Soft skill yang seharusnya sudah diajarkan sejak bangku sekolah tidak diperhatikan.

Pemerintah malah asyik meningkatkan tuntutan mereka kepada siswa agar mendapatkan nilai bagus saat UN. Alhasil generasi yang dihasilkan adalah generasi yang penuh tekanan. Siswa tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat dan minat karena adanya tuntutan mendapatkan nilai UN yang tinggi.
Menurut Indra Charismiajdi untuk mencetak SDM unggul, yang harus diajarkan kepada generasi saat ini adalah keterampilan sosial-emosional, antara lain Problem Solving (Mampu memecahkan masalah), Ressilience (Ketangguhan), Control (Pengendalian), Teamwork (Kerja sama tim), Initiative (Prakarya), Confidence (Kepercayaan diri) dan Ethics (Etika).
Sifat-sifat tersebut harus tertanam dengan baik agar generasi masa depan yang dihasilkan baik melalui sistem pendidikan formal maupun nonformal bisa mencetak SDM unggul, yang berdaya kreatifitas tinggi dan mampu berinovasi.
Jika dilihat secara jernih UN telah membuat siswa hanya mengalir dalam sebuah sistem. Siswa dituntut mendapatkan nilai tinggi, tetapi ketika terjun ke dunia kerja malah tidak bisa melakukan apa-apa. Yang sering kita temukan adalah peserta didik hanya disiapkan untuk mengikuti UN bukan menyiapkan sotfskill dan tuntutan di dunia kerja. 
Tidak adil jika sekolah hanya menyiapkan siswanya menghafal dan mengerjakan soal-soal dengan baik tetapi tidak melatih softskill. Padahal soft sklill itulah yang dibutuhkan ketika mereka berada di luar sekolah. 

Pendidikan Seperti Apa yang Kita Harapkan?
Mencetak pemimpin masa depan sebagaimana yang disampaikan oleh Mentri Nadiem Makarim bertujuan untuk menciptakan SDM yang unggul. Sebagaimana disampaikan oleh Liputan 6.com pada Rabu (4/12/2019) semuanya diawali dengan "Kemerdekaan harus turun terus. Lembaga perguruan tinggi merdeka dari berbagai macam regulasi dan birokratisasi. Para pendidik dan dosen juga dimerdekakan dari birokrasi. Sebab kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, agreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar.”
Kita tidak bisa terus-terusan berada dalam situasi buruk seperti ini. Sistem pendidikan yang diterapkan selama ini adalah system Pendidikan untuk menyiapkan generasi pekerja. Karena itu, materi dan sistem pelajaran untuk ke depannya diharapkan agar menyiapkan siswa untuk menjadi inovator dan pencipta. Karena itu, perlu ada pembaharuan dalam pendidikan kita agar apa yang menjadi kecemasan dan harapan presiden Jokowi dapat terwujud.
Untuk memacu prestasi pendidikan Indonesia, sistem pendidikan berbasis Science, Technology, Engineering, Art and Mathematics atau STEAM mulai diterapkan dalam pendidikan kita. Ini merupakan sebuah model pembelajaran populer di tingkat dunia yang efektif dalam menerapkan Pembelajaran Tematik Integratif (PTI) karena menggabungkan lima bidang pokok dalam pendidikan yaitu ilmu pengetahuan, teknologi, matematika, seni dan rekayasa.

Metode tersebut mengajak siswa untuk mengintegrasikan mata pelajaran dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran melibatkan enam keahlian utama bagi siswa di abad ke-21, yaitu, kolaborasi, kreatif, berpikir kritis, berpikir secara komputasional, pemahaman budaya, serta mandiri dalam belajar dan berkarir.
Pembelajaran STEAM adalah langkah selanjutnya dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia nyata dan siap dalam persaingan global. Sebab, Science, technology, engineering, art and mathematics adalah mata pelajaran yang saling berkaitan dalam kehidupan keseharian kita. Keempat bidang itu, saling kait mengait dan tak bisa berdiri sendiri. 
Namun, selama ini keempatnya dipelajari terpisah-pisah, jadi seolah-olah hanya bisa dipahami secara teori. Padahal, keempatnya penting dikuasai oleh anak didik supaya mereka bisa memecahkan masalah dalam dunia kerja, masyarakat, dan dalam berbagai aspek kehidupan.
Kita tidak akan mampu menciptakan 1000 startup baru jika sistem pendidikan kita masih seperti ini. Belum lagi jika kita berbicara tentang kesejahteraan guru. Atau tugas mereka yang semakin menumpuk karena tuntutan dari pemerintah yang pada akhirnya mereka tidak bisa fokus untuk mengajar. Maka masalahnya akan semakin banyak.  Karena itu, sistem pendidikan kita perlu diubah agar apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu Indonesia Emas di tahun 2045 nanti dapat terwujud.
Jika UN tidak mampu menghasilkan siswa yang bisa berinovasi, kolaborasi, dan pencipta, masihkah UN diperlukan?




No comments:

Post a Comment