Andrea Hirata,
Belantik,
biaya pendidikan,
Debut Awaluddin,
Dinah,
Junihe,
Novel,
Orang-orang biasa,
pendidikan
[Resensi Buku] Pingin Kuliah? Makanya Kaya
Judul : Orang-Orang Biasa
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Jumlah hal : xii + 300 halaman; 20,5 cm.
Cetakan : Pertama, Maret 2019
Novel ini ditulis berangkat
dari kekecewaan Andrea Hirata yang gagal memperjuangkan seorang anak miskin
yang pintar untuk melanjutkan pendidikannya di universitas. Anak tersebut sudah
diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, tapi tidak bisa
melanjutkan ke tahapan selanjutnya lantaran tidak mampu membayar uang muka.
Akhirnya semua mimpi itu dikubur dalam-dalam lantaran biaya tidak mencukupi.
Untuk pertama kalinya,
Andrea Hirata menulis novel dalam genre kejahatan. Pembaca akan berjumpa
tokoh-tokoh unik dengan pemikiran menakjubkan, yang mudah bahagia dengan
hal-hal sederhana. Dengan latar belakang para tokoh yang bervariasi, membuat
pembaca tidak jenuh dengan kisah-kisah yang diceritakan secara runtut oleh si
penulis novel.
Harus diakui, penulis novel
lihai dalam memainkan kata-kata dan perasaan pembaca. Andrea Hirata mampu
mengisahkan kegetiran hidup sepuluh sekawan yang dimulai sejak bangku sekolah.
Kegagalan di sekolah, di dunia kerja, hidup bermasyarakat dan masih banyak
lainnya. Hingga bisa digolongkan ke dalam kelompok orang-orang gagal.
Seorang motivator yang
tidak pernah diundang untuk berbicara motivasi, guru honorer yang gajinya
pas-pasan, penjual mainan anak-anak yang ditinggal pergi suaminya karena
meninggal dan masih banyak lainnya. Semuanya diceritakan dengan
gaya bahasa yang istimewa, jenius dan sangat jenaka. Dari halaman-halaman awal
saja, kita akan tertawa ngakak. Kisah sepuluh orang geng bangku belakang
setidaknya akan menghibur pembaca dengan aksi-aksi mereka yang kocak.
Melalui novel ini, Andrea
Hirata mengajak kita untuk tetap kritis terhadap kenyataan pendidikan saat ini.
Di negeri yang berlimpah susu dan madu, untuk menikmati pendidikan yang
berkualitas membutuhkan uang yang banyak. Maka, tak heran di sekolah-sekolah
atau universitas-universitas tertentu hanya dapat dinikmati oleh orang-orang
berduit. Novel ini mengkritik pendidikan kita yang kelewat mahal untuk
orang-orang sederhana. Sebab sekolah bukan lagi menjadi ladang untuk
mencerdaskan bangsa, tetapi menjadi sumber meraup pundi-pundi rupiah.
Sinopsis Novel
Belantik kota penuh
kenaifan. Orang-orang yang hidup di dalamnya seakan lupa bagaimana cara berbuat
jahat. Kehidupan yang begitu damai membuat Inspektur Abdul Rojali bersama
seorang Sersan andalannya harus bersabar menanti masa-masa di mana kriminalitas
dapat mereka taklukan. Mata Inspektur sendu menunggu kejahatan. Sosok polisi
dalam dirinya perlahan terbaring, lalu lama-lama mati.
Sebatang kapur dan
penghapus tergeletak di bawah papan tulis itu. Tampak benar telah sangat lama
tak dipakai. Demikian minim angka-angka itu sehingga tak bisa dijadikan diagram
batang, atau diagram naik-naik ke puncak bukit. Rupanya di kota ini,
penduduknya telah lupa cara berbuat jahat. Wahai kaum maling, ke manakah
gerangan kalian?
Di sisi lain Kota Belantik,
hidup sekawanan siswa: Salud, Honorun, Junilah, Sobri, Nihe, Rusip, Tohirin,
Dinah dan Handai; dikenal sebagai siswa-siswa terbelakang, baik perihal
prestasi maupun posisi bangku mereka di kelas. Mereka dipertemukan karena satu
nasib tragis: memiliki kebodohan luar biasa.
Baca Juga: Sudah Saatnya Ujian Nasional Dihapus
Payah dalam Matematika,
gagal naik kelas berkali-kali, suka dibuli, juga memiliki masa depan yang
redup; Semua deskripsi itu tampaknya paling tepat menggambarkan kegetiran hidup
mereka. Lalu, bergabunglah seorang
idealis bernama Debut Awaluddin dalam geng siswa bangku belakang. Ia kemudian
menjadi pemimpin sekaligus pembela terdepan atas ketidakadilan hidup yang
menimpa kawan-kawan terbelakangnya. Meskipun pada akhirnya dia selalu
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Duo Boron dan Trio Bastarian.
Tetapi, sikap idealisnya telah tertanam untuk membela kawan-kawannya yang
tertindas.
Ada yang menarik dari
pernyataan penulis novel tentang sekawan itu “… jika sepuluh, mungkin lebih
cocok disebut gerombolan. Lagi pula, sulit sepuluh sekawan dibuat cerita,
pengarang yang tak kuat mentalnya akan mundur sebab bukan main sulitnya
mengingat nama sepuluh orang itu” (hal.16).
Sejak zaman sekolah sepuluh
sekawan selalu dibully Trio Bastardin dan Duo Boron. Nasib buruk itu
berlangsung hingga mereka dewasa. Tak heran, jika sepuluh sekawan selalu kompak
sejak zaman sekolah hingga dewasa. Kesamaan nasib sebagai orang tertindas dan
miskin menjadikan mereka tetap kompak entah dalam hal kebaikan maupun dalam
kejahatan.
Kedunguan dan keluguan
mereka sebagai kawanan yang “bodoh” ternyata masih bisa melakukan sesuatu yang
luar biasa. Kisah itu berubah drastis ketika Aini anak Dinah lulus di Fakultas
Kedokteran di salah satu Perguruan Tinggi. Kesulitan yang dialami Dinah untuk
membiayai anaknya masuk Perguruan Tinggi membuat sepuluh sekawan ini nekat
melakukan tindakan kejahatan yang akan selalu diingat oleh masyarakat Belantik.
Kasus kegagalan pencurian
di bank di saat masyarakat Belantik dan Inspektur menyaksikan pawai topeng
monyet adalah titik baliknya. Semua mata langsung tertuju ke kasus itu. Para
wartawan, polisi dan masyarakat Belantik yang selama ini selalu aman dikejutkan
dengan masalah ini.
Menarik untuk ditelusuri
bahwa semua itu, dilakukan dengan tujuan membiayai pendidikan Aini yang kelewat
mahal untuk mereka yang hidup miskin. Salah satu kutipan menarik dari novel ini
kiranya menggambarkan perasaan sekawan ini dalam melancarkan aksi mereka:
“Tangkap! Tangkaplah orang
miskin yang berjuang agar anaknya bisa sekolah! Kita ini bukan merampok, Dinah!
Kita ini melawan ketidakadilan! Tengoklah banyaknya anak-anak pintar miskin
yang tak dipedulikan Pemerintah! Tengoklah jurusan tertentu hanya dapat
dimasuki orang-orang kaya! Tengoklah langkahnya anak-anak orang miskin jadi
dokter! Mendaftar ke fakultas itu saja mereka tak berani! Padahal kecerdasan
mereka siap diadu! Ilmu hendaknya hanya tunduk pada kecerdasan, bukan pada
kekayaan!”.
Singkat cerita, sekawan ini
berhasil merampok uang sebanyak 18 milyar. Bank yang semula menjadi target
mereka, justru tidak dirampok padahal sekawan ini sudah berhasil menguasainya.
Dan di sinilah kecerdasan penulis novel dalam menggambarkan sekawan ini yang
malah batal merampok bank dan justru merampok di toko milik Trio Bastarian.
Dalang dari semuanya itu
adalah Debut Awaluddin yang rupanya dengan sangat cerdas merancang semuanya.
Trio Bastarian yang selama ini melakukan pencucian uang korupsi ternyata
menjadi target utama Debut yang tidak diceritakannya kepada Sembilan kawannya.
Jika mereka
sebelum-sebelumnya dikenal sebagai orang-orang gagal, tapi kali ini mereka bisa
berbangga diri karena baik polisi maupun Trio Bastarian dan anak buah mereka
tidak berhasil memecahkan dalang dan pencuri mereka. Uang 18 milyar ambyar
seketika.
Mungkin Andrea Hirata
terlalu cepat mengakhiri novelnya ini karena ada beberapa kejanggalan yang
ditampilkannya. Tapi, apapun itu bagi saya sudah lebih dari cukup untuk
menjelaskan orang-orang biasa yang mempunyai kemampuan yang luar biasa.
Untuk versi lengkapnya
silahkan dibaca aja novelnya…
January 21, 2020
No comments:
Post a Comment