Annalies Mellema,
Belanda,
Bumi Manusia,
cinta zaman penjajahan,
HBS,
Indonesia,
Minke,
Nyai Ontosoroh,
Pramoedya Ananta Toer
Manusia Indonesia yang Terjajah dalam Novel Bumi Manusia (1)
Judul :
Bumi Manusia
Penulis :
Pramoedya Ananta Toer
Halaman :
535
Penerbit :
Lentera Dipantara
Cetakan :
ke-17, Januari 2011
Apa alasan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta
Toer, masih tetap dibaca dan dibicarakan hingga saat ini? Mungkin secara
politis, novel ini ditulis pada masa pembuangannya di Pulau Buru. Novel ini,
menurut penulisnya dituturkan secara lisan pada tahun 1973, kemudian ditulis
secara sistematis sebagai cerita yang utuh dalam bentuk novel pada tahun 1975.
Bumi Manusia merupakan novel pertama dari tetralogi
Pulau Buru karya Pramoedya selain Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca. Tetralogi itu menjadi pusat perbincangan, mungkin karena dilarang oleh
rezim Orde Baru semenjak tahun 1981. Anehnya ketika novel ini dilarang beredar
di masyarakat luas, justru karyanya meraih sukses besar dan diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa.
Novel ini secara garis besar mengisahkan kisah cinta
yang tragis antara Minke dengan Annelies Mellema. Tetapi kisah cinta mereka tidak
sekadar menuturkan kisah asmara yang menonjolkan romantisme belaka ala anak
remaja zaman sekarang. Kisah cinta mereka diselimuti berbagai latar belakang
saat itu seperti politik kolonial yang represif dan diskriminatif, penjajahan,
dan masih banyak lainnya.
Karakteristik penulis novel dalam mendeskripsikan
situasi psikologis dan sosiologis tokoh-tokohnya sangat memikat. Dengan sudut pandang
orang pertama (aku), Pramoedya memperkenalkan tokoh utama, seperti ini: “Orang
memanggil aku: Minke” (hlm. 1). Nama Minke diberikan padanya ketika
bersekolah di ELS. Saat itu, ada seorang gadis bernama Vera yang mencubit
pahanya sebagai tanda perkenalan. Karena tidak mampu menahan rasa sakit, Minke
pun menjerit kesakitan. Gurunya, Meneer Ben Rooseboom membentak dan melotot: “Diam
kau, monk …. Minke!” (hlm. 33). Saat itu, Minke merupakan satu-satunya
murid pribumi, sedangkan guru dan teman-temannya adalah keturunan Eropa totok. Panggilan
Minke juga sebenarnya menunjukkan derajad pribumi yang rendah di mata orang
Eropa.
Sejak dalam bangku sekolah Minke sudah merasakan
diskriminasi rasial parah. Panggilan Minke untuknya sudah menggambarkan hal
itu. Kisah perjumpaan dengan Annalies menjadi titik balik hidupnya. Annelies
seorang Indo hasil perkawinan antara Nyai Ontosoroh dengan Herman Mellema. Yang
digambarkan dalam novel itu bak bidadari dari khayangan yang turun dan mencari
pangeran di bumi. Tidak hanya jatuh cinta, Minke pun berkeinginan untuk
memperistri Annalies. Keinginannya untuk memperistri Annelies pun terwujud
setelah Minke menyelesaikan sekolah HBS-nya.
Dari runtutan cerita yang ditampilkan Pramoedya, Annalies
dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Ayahnya, Herman Mellema,
mempunyai tekanan jiwa yang akhirnya secara tragis meninggal di rumah pelacuran
Babah Ah Tjong. Sementara kakak sulungnya, Robert Mellema, lebih memilih
bersikap hedonisitik dengan mengumbar hobi berburunya. Pada akhirnya, Robert
Mellema juga kabur tanpa diketahui secara pasti jejaknya.
Meninggalnya Herman Mellema ayah Annalies tidak
berarti masalah selesai begitu saja. Justru mulai dari momentum itulah berbagai
permasalahan yang berat selalu menimpa Nyai Ontosoroh. Dan bersama Minke, Nyai
Ontosoroh berani melawan pengadilan kulit putih yang pada masa itu mustahil
dilakukan oleh wanita pribumi.
Keberanian Nyai Ontosoroh dalam melawan pengadilan
kulit putih secara garis besar oleh Pramoedya. Meskipun saat itu sistem
pengadilan Eropa tidak memberikan kesempatan orang pribumi untuk membela diri. Annalies
yang saat itu sudah menikah pun dipaksa untuk dibawa ke Belanda dan diasuh Maurits
Mellema. Karena saat itu usianya masih remaja dan menurut hukum Eropa dia mesti
hidup dibawah asuhan.
Ada beberapa fakta dari seorang Nyai Ontosoroh dari
novel ini:
Pertama,
Nyai Ontosoroh tetaplah figur perempuan pribumi yang tidak mempunyai hak milik
apapun terhadap perusahaan dan peternakannya yang dikelola dengan sekuat
kemampuan dan tenaganya hingga menjadi sedemikian besar. Hal ini lantaran kedudukannya “hanya seorang
nyai dan bukan istri sah”.
Kedua,
Nyai Ontosoroh tidak mempunyai hak perwalian terhadap Annelies, putri yang
merupakan darah dagingnya sendiri. Hal ini disebabkan Herman Mellema masih
mempunyai istri yang sah di negeri Belanda. Dengan istrinya ini, Herman Mellema
mempunyai putra yang bernama Maurits Mellema. Kehidupan suami-istri Herman-Amelia
juga tidak harmonis, namun Herman dianggap menggantung nasib istrinya dengan
cara tidak menceraikannya.
Secara hukum yang diterapkan oleh pengadilan Putih di
Hindia Belanda, posisi serta kekuatan Nyai Ontosoroh sebagai pribumi
jelas-jelas dikalahkan. Hal lain yang membuat kedudukuan pribumi semakin
terpojok adalah keputusan Pengadilan Amsterdam yang menyerahkan seluruh
harta-benda peninggalan mendiang Herman Mellema kepada Maurits Mellema yang tidak
pernah mengeluarkan keringat dalam mengembangkan usaha itu.
Novel Bumi Manusia bukan sekadar novel yang menuturkan
kisah-kasih tak sampai antara Minke-Annelies, pribumi-Indo Belanda. Justru yang
harus diperhatikan secara lebih detail adalah konteks historis yang melingkupi
berbagai peristiwa tragis itu. Novel-novel karya Pramoedya tidak hanya hasil
imajinasi yang bersifat fiktif belaka. Selalu ada sesuatu yang dikisahkan dalam bentuk sastra.
Memang, karya sastra bukanlah sebuah historiografi
yang hendak mengklaim fakta-fakta dan kebenaran suatu sejarah dalam periode
waktu tertentu. Tetapi, dalam menulis novel ini, Pramoedya memperlihatkan
keunggulannya dalam melakukan studi historis, sosiologis, bahkan antropologis.
Hal ini terbukti dari beberapa kesimpulan yang dapat
diambil, seperti:
Pertama,
kurun waktu terjadinya rentetan peristiwa dalam novel ini adalah akhir abad
ke-19. Pada masa ini, di Eropa sedang mabuk abad Pencerahan (Aufklärung)
yang sudah dimulai senjak abad ke-18. Ciri khusus zaman itu adalah berkembangnya
ilmu pengetahuan secara meluas, semangat
revisi atas kepercayaan-kepercayaan tradisional, memisahkan pengaruh-pengaruh
keagamaan dari pemerintahan, dan penaklukan tanah jajahan.
Kedua,
deskripsi sosiologis kehidupan Nyai yang menjadi gundik orang Belanda.
Sebenarnya, tidaklah tepat jika praktik ini dipandang sebatas relasi seksual
antara pria Eropa dengan perempuan pribumi. Jelas, secara harkat kemanusiaan,
praktik tersebut sangat menyakitkan karena menempatkan perempuan pribumi hanya sebagai
objek seks.
Namun, di sisi lain kalangan Nyai ternyata memiliki pengetahuan dan kemampun teknis yang jauh lebih baik. Ada transfer pengetahuan di sana. Dalam novel in Nyai Ontosoroh menunjukkan ketrampilannya dalam membaca,
menulis, berbahasa Belanda, mengelola perusahaan bahkan sampai pada
keberaniannya melakukan perlawanan secara beradab kepada bangsa Belanda (hlm.
405).
Ketiga,
beberapa aspek lain yang secara agak luas disinggung Pramoedya dalam novelnya adalah perkembangan pers yang di satu sisi mencoba memberikan
keberpihakan kepada kalangan tertindas. Tetapi, di sisi lain juga digunakan
sebagai ajang bisnis dengan memuat berita-berita sensasional, terutama
kasus-kasus Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh.
Sebagai hal terakhir yang dapat dikomentari dari novel
ini adalah Apakah sebenarnya makna Bumi Manusia? Tampaknya yang dapat menjawab itu adalah Minke sebagai tokoh utamanya.
Karena “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan”. Semua itu dia tunjukkan baik ketika sedang
bersekolah, setelah menikah bahkan ketika harus berhadapan dengan pengadilan
kulit putih.
January 09, 2020
No comments:
Post a Comment