Belanda,
Dewi Ayu,
Eka Kurniawan,
Halimunda,
Indoneisa,
Jepang,
Militer,
Novel,
PKI,
Preman,
Sejarah,
tragedi keluarga
Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (1)
Judul : Cantik itu Luka
(English Version) : ‘Beauty is A Wound’
Pengarang : Eka Kurniawan
Tebal Halaman : 479
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Kesepuluh, Juni 2016
Diterbitkan pertama kali oleh
AKYPress dan Penerbit Jendela, Desember 2002
Novel dibuka dengan kisah magis
kebangkitan sang tokoh sentral, Dewi Ayu. “Ketika pada suatu sore di akhir pekan bulan maret, Dewi
Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematiannya”. Dewi Ayu adalah perempuan keturunan
Indo-Belanda. Bergidik ngeri namun menimbulkan sejumlah deretan pertanyaan
terutama mengenai waktu latar belakang kejadian yang sengaja tidak disajikan
oleh sang penulis.
Lambat laun, pelan dan pasti sesuai
dengan sinopsisnya terceritakanlah mengenai bagaimana kematian sosok Dewi Ayu,
seorang pelacur yang terkenal akan kecantikannya di seluruh pelosok Halimunda.
Dia mati setelah beberapa hari melahirkan anak keempatnya yang tidak diketahui
siapa gerangan ayahnya.
Anak tersebut lahir begitu buruk
rupanya tidak seperti dengan ketiga kakaknya yang semuanya cantik. Itulah yang
terjadi, meskipun secara cukup ironis ia memberikan nama Si Cantik kepada anak
yang baru dilahirkannya. Tampang dan bentuk tubuh yang buruk ternyata tidak
menjadi soal bagi seorang Ayu Dewi memberikan nama Si Cantik kepada putri
bungsunya yang buruk rupa.
Hingga suatu masa dia hidup kembali,
bertemulah Dewi Ayu dengan Si Cantik yang kini telah menjadi perempuan dewasa
dengan sosok sesuai dengan doa-doanya: Anak bayi yang hidungnya menyerupai
colokan listrik, telinganya sebagai telinga panci, mulutnya bagaikan mulut
celengan dan rambutnya menyerupai sapu dengan kulit serupa komodo dan kaki
serupa kura-kura. Maka, berbanggalah dia atas itu semua.
“Tak ada kutukan yang lebih
mengerikan daripada mengeluarkan bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang
mesum seperti anjing di musim kawin.” - Dewi Ayu. (hal. 4)
Kenyataannya mau cantik atau tidak,
kutukan tersebut selalu mengitari kehidupan Dewi Ayu. Ketika Si Cantik ternyata
hamil secara misterius tanpa gerangan mengetahui ayahnya - sama seperti yang
terjadi dengan ibunya sendiri sepanjang hayat.
Maka, ketimbang melanjutkan
perjalanan hidup Si Cantik, Eka selaku penulis memundurkan waktu pada masa
sebelum Dewi Ayu menjadi sesosok pelacur.
Semua itu berawal ketika Dewi Ayu hanyalah sosok gadis Belanda yang
jatuh cinta pada seorang pria tua bernama Ma Gedik yang belum pernah ditemuinya.
Baca Juga: Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat
Dewi Ayu pun memaksa Ma Gedik kawin
dengannya akibat terobsesi dengan kisah cinta pria itu dengan Ma Iyang, yang
menghilang ditelan kabut ketika lari bersama Ma Gedik ke atas bukit demi cinta
mereka berdua. Walaupun akhirnya, di hari selepas pernikahan mereka, Ma Gedik
memutuskan kabur menjerit-jerit bagai dikejar setan dan terjun dari puncak
bukit, terhempas ke bebatuan dan wajah-nya babak belur seperti daging cincang.
Awal Mula Menjadi Pelacur
Setelah itu cerita berjalan bagaikan
mozaik yang terkonstruksi dengan dinamis. Pelan-pelan para pembaca akan dibawa
kembali kepada masa kekuasaan Jepang di tanah ibu pertiwi.
Dalam situasi pendudukan Jepang, Dewi
Ayu tetap memilih bertahan di Halimunda, walau semua anggota keluarganya
kembali pulang ke negeri Belanda. Ia mengambil resiko untuk ditundukkan dalam
pendudukan Jepang. Ternyata tentara Jepang tahu juga bahwa meskipun memiliki
nama lokal, Dewi Ayu adalah orang Belanda.
Sebagaimana nasib orang Belanda
lainnya pada waktu itu, Dewi Ayu ditangkap dan ditahan di suatu tahanan yang
digambarkan sangat tidak manusiawi: gelap, becek, persediaan makanan yang mini,
ancaman malaria. Bahkan dikisahkan ia mesti merebus darah kutu sapi sebagai
makanan di tahanan agar bisa bertahan hidup.
Dalam rasa frustrasi di penjara itu,
nasib baru menjemput Dewi Ayu dan beberapa perempuan lain. Setelah lolos
serangkaian seleksi, Dewi Ayu dan beberapa perempuan cantik lain diam-diam
dijadikan pelacur untuk memenuhi kebutuhan birahi para tentara Jepang yang tak
tertahankan dalam situasi perang. Penderitaan jenis lain lantas menimpa
perempuan-perempuan cantik ini.
Gedung yang indah dan disediakan
perawatan layaknya perempuan istana, tidak bisa mengkompensasi begitu saja luka
yang mendalam akibat perkosaan tentara-tentara Jepang yang dilakukan setiap
malam.
Banyak perempuan yang tidak tahan
sampai mencoba bunuh diri. Tapi lain halnya dengan Dewi Ayu. Diam-diam Dewi Ayu
bisa beradaptasi dengan dunia prostitusi ini sebagai jalan bertahan hidup. Bahkan
ia pun menerima kehamilannya oleh salah seorang petinggi tentara Jepang. Dengan
sabar ia merawat janinnya hingga terlahir seorang anak cantik, bernama
Alamanda.
Masa pendudukan Jepang lewat. Dewi Ayu
tetap menjadi pelacur. Awalnya pilihan itu merupakan keterpaksaan sebagai
satu-satunya jalan membayar hutang kepada Mama Kalong (pengelola tempat
pelacuran) untuk mendapatkan lagi rumahnya dulu yang masih amat dia cintai.
Tapi ia juga sebenarnya menikmati menjadi pelacur profesional (mematok bayaran
paling mahal), bahkan justru kian hari ia menjadi pelacur paling ternama dan
disegani di Halimunda.
Selain karena Dewi Ayu teramat
cantik, tidak bisa dimungkiri juga ia memang selalu bercinta dengan penuh cinta
dengan para pelanggan yang sengaja ia batasi perharinya. Hal ini yang lantas
membuatnya menjadi sumber kebahagiaan kota sebab para laki-laki selalu
mengalami persetubuhan dengan Dewi Ayu menghadirkan sensasi malam pertama
mereka.
Meskipun menjadi pelacur, Dewi Ayu
tidak menolak kehamilan. Dari seorang pejuang revolusi ia melahirkan satu orang
anak perempuan lagi. Dan dari seorang lain lagi, Dewi Ayu mempunyai anak perempuan juga. Keduanya,
Adinda dan Maya Dewi mewarisi kecantikannya yang amat mempesona.
Plot novel lalu digerakkan oleh
peristiwa-peristiwa yang katakanlah manjadi konsekuensi kecantikan Dewi Ayu,
Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Masing-masing anaknya tersebut memiliki kisah
asmara tersendiri yang pada akhirnya berakhir tragis dan mengenaskan.
Melalui kisah asmara yang dibalut
orkes sakit hati keempat putri Dewi Ayu ini pembaca akan melihat jalinan plot
novel yang berkelindan dengan kompleksitas situasi sosial, politik, ekonomi dan
carut marut realitas Halimunda dari waktu ke waktu.
Bangunan Cerita
Tampak bahwa novel ini mendasarkan
cerita pada sebuah tragedi keluarga. Ada penggunaan silsilah keluarga
sebagai kerangka. Ada kontinuitas yang jelas antar tokoh dalam novel ini. Tokoh-tokoh
yang ada terjalin dengan keluarga Dewi Ayu. Tragedi selalu menjadi kata akhir
kehidupan para tokoh dalam novel ini. Semua tokoh dibunuh oleh penulisnya dan meninggalkan
janda-janda menyedihkan.
Kedua, dalam pengkisahan keluarga
Dewi Ayu, tampak tema sakit hati ikut menentukan alur cerita. Hal ini
misalnya kuat dalam kisah asmara Kamerad Kliwon sang pujaan dengan Alamanda,
sang penakhluk. Relasi-relasi antara tokoh, misalnya Maman Gendeng – Shodanco
dan juga Shodanco dengan Kamerad Kliwon sangat kental suasana konflik dan
logika sakit hati.
Unsur ketiga yang juga kuat dalam novel ini adalah erupsi-erupsi irasionalitas manusia. Ada banyak penggambaran sisi dalam diri manusia yang kadang terasa irasional. Erupsi-erupsi irasionalitas manusia ini tampak jelas dalam kehidupan seksualitas para tokoh dalam novel.
Unsur ketiga yang juga kuat dalam novel ini adalah erupsi-erupsi irasionalitas manusia. Ada banyak penggambaran sisi dalam diri manusia yang kadang terasa irasional. Erupsi-erupsi irasionalitas manusia ini tampak jelas dalam kehidupan seksualitas para tokoh dalam novel.
Unsur yang kental juga dalam novel
ini adalah narasi sejarah bangsa Indonesia. Kelindan antara plot novel
dan perjalanan sejarah bangsa ini misalnya terlihat dari dinamika tiga
laki-laki dalam suatu pertarungan menikahi anak Dewi Ayu. Hasrat birahi dianalogkan
dengan gejolak pertarungan kekuatan politik dalam sejarah Indonesia.
Ketiga laki-laki tersebut memiliki
latar sosial politik berbeda. Shodanco adalah seorang komandan militer yang
pernah melakukan pemberontakan pada masa pendudukuan Jepang dan lalu dipuja
sebagai pahlawan kota karena berhasil menumpas babi hutan yang merajalela waktu
itu. Kamerad Kliwon seorang
pemuda pujaan yang lantas menjadi aktivis partai komunis. Dan Maman Gendeng
seorang preman yang paling disegani di Halimunda karena kekuatan bertarungnya. Ketiga
tokoh yang berdinamika mendapatkan hati anak-anak Dewi Ayu ini seolah memberi
ilustrasi pertarungan kekuatan-kekuatan politik yang pernah tercatat dalam
sejarah indonesia.
January 07, 2020
No comments:
Post a Comment