Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (2)
Novel Cantik itu luka karya Eka Kurniawan telah
menampilkan secara binal sejarah Indonesia yang selama ini sering ditutupi. Halimunda,
kota di selatan pulau Jawa yang konon menjadi pintu selatan pelarian ke Australia
menduduki posisi sentral. Di sanalah Dewi Ayu salah satu tokoh utama dalam
novel ini lahir dan dibesarkan. Di sini pula dia dibesarkan menjadi seorang ibu
sekaligus pelacur yang sohor.
Di Halimunda pula tiga tokoh yang mewakili tiga kelompok
besar dalam sejarah bangsa ini. Shodanco mewakili Militer, Kamerad Kliwon
mewakili partai komunis dan Maman Gendeng mewakili kelompok preman liar. Meskipun ketiganya adalah beristrikan anak-anak
Dewi Ayu, ternyata latar belakang masing-masing tidak mampu menyatukan mereka
untuk menjadi saudara yang saling melindungi. Bahkan mereka akhirnya harus
meninggal secara mengenaskan.
Sketsa Manusia Indonesia
Sketsa manusia Indonesia masih
dihantui bayang-bayang masa lalu sejarah bangsa yang belum tuntas-jelas
terartikulasikan. Dari kisah Kamerad Kliwon tampak suatu puzzle sejarah bangsa
di sekitar tahun 1965. Puzzle itu antara lain keberlanjutan kisah tragis
generasi demi generasi korban ‘65 akibat kesimpangsiuran narasi tentang fakta
peristiwa 1965.
Nasib Kamerad
Kliwon dalam novel ini merepresentasikan para korban ‘65. Dikejar bagai
binatang buas, tidak mendapatkan fasilitas umum dan bahkan akhirnya dibuang ke
pulau Buru. Pemaparan tentang Kamerad Kliwon yang begitu lugas menunjukkan situasi
korban manusia Indonesia pada masa itu tidak menentu. Semua yang pernah
terhubung dengan partai komunis dijadikan anak haram oleh negara ini.
Rekam sejarah lain yang dapat ditemukan dalam novel ini adalah perseteruan antara Shudanco dan Kamerad Kliwon hingga berujung kepada Maman Gendeng. Masing-masing tiga pria tersebut mewakili perbedaan zaman namun menyambung ibarat benang merah yang tidak dapat terputuskan.
Rekam sejarah lain yang dapat ditemukan dalam novel ini adalah perseteruan antara Shudanco dan Kamerad Kliwon hingga berujung kepada Maman Gendeng. Masing-masing tiga pria tersebut mewakili perbedaan zaman namun menyambung ibarat benang merah yang tidak dapat terputuskan.
Karena saat
ini kita sedang membicarakan mengenai konstruksi sejarah dalam Cantik itu Luka
maka semua dimulai dengan berkembangnya kelompok golongan kiri yang kala itu
dikenal dengan sebutan Komunisme - para simpatisan Marxis yang setia hingga
akhir hayat.
Baca Juga: Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (1)
Baca Juga: Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (1)
Adalah
Kamerad Kliwon yang merupakan simbol dari Kekuasaan Komunis di wilayah
Halimunda yang berseteru dengan Sang Shodanco, perwakilan dari lambang kekuatan
tentara poros kanan atau veteran pejuang yang haus pengakuan. Bahkan bisa
dibilang Shodanco haus akan kekayaan dan rela mengorbankan masyarakat lemah.
Dikisahkan
dalam Cantik itu Luka, Komunisme muncul sejak masa perang dan kependudukan
Belanda namun akhirnya kembali ke panggung politik setelah Jepang menyerah pada
tahun 1945. Di sela-sela pertumbuhannya terdapat pergerakan buruh nelayan yang
merasa bahwa para penguasa di Halimunda (dalam hal ini Shodanco) sangat rakus
dengan menggunakan kapal-kapal besar untuk mengeruk hasil kekayaan laut
sehingga para nelayan hidup penuh kekurangan.
Di sinilah
peran Kamerad Kliwon dalam membangun perspektif mengenai komunisme yang serba
adil dan sama rata. Lambat-laun banyak masyarakat, terutama buruh yang
mengikuti jalan sang Kamerad menjadi seorang komunis. Terjadilah perselisihan antara
dua menantu Dewi Ayu, yaitu Shodanco dan Kamerad Kliwon. Puncaknya adalah
pembantaian masal anggota partai komunis di Halimunda. Hal itu, dilukiskan Eka
Kurniawan bahwa:
“Semua
laporan tampaknya begitu simpang-siur, dan satu-satunya informasi yang bisa
didapat hanyalah radio yang sama sekali tak bisa dipercaya, sebab sejak pagi
mereka melaporkan hal yang sama seolah itu telah direkam dan kasetnya diputar
berulang-ulang: Telah terjadi kudeta yang gagal dari Partai Komunis karena
tentara segera menyelamatkan negara dan mengambil-alih-kekuasaan untuk
sementara. Laporan baru datang: Presiden berada dalam tahanan rumah. Semuanya
serba membingungkan“. (hal.302)
Terkenallah
kemudian peristiwa berdarah Gerakan 30 September, sebagai ‘kudeta komunis’,
membunuh jenderal golongan kanan TNI dan mayatnya dibuang di lubang buaya. Sampai
saat ini spekulasi kebenaran mengenai keterlibatan partai komunis dalam
pembunuhan para jenderal belum menemukan titik terang.
Langkah
selanjutnya adalah pembantaian massal terhadap anggota partai komunis di
seluruh Indonesia. Tidak hanya sang komunis yang dieksekusi bahkan para
keluarga, kerabat atau temannya sekalian ikut dieksekusi karena dituduh sebagai
simpatisan dan pendukung komunis.
Melalui
Cantik itu Luka, sketsa pembunuhan para anggota komunis di Halimunda disajikan
secara lantang, tegas dan frontal. Semua itu dimulai dari secara mendadak
dengan tidak datangnya koran pada pagi hari di halaman rumah partai PKI
Halimunda. Kamerad Kliwon tetap menunggu walau kabar burung mengatakan para
dewan utama Partai Komunis telah ditangkap dan ditahan karena dituduh melakukan
kudeta.
Mereka
dibunuh, baik oleh tentara reguler dan terutama oleh orang-orang anti-komunis
yang bersenjata golok dan pedang dan arit dan apapun yang bisa membunuh, di
tepi jalan dan membiarkan mayat mereka di sana sampai membusuk. Kota Halimunda
seketika dipenuhi mayat-mayat seperti itu, tergeletak di selokan dan kebanyakan
di pinggiran kota, di kaki bukit dan di tepi sungai, di tengah jembatan dan di
semak belukar. Mereka kebanyakan terbunuh ketika mencoba melarikan diri setelah
menyadari Partai Komunis hanya meninggalkan sisa-sisa reputasinya yang telah
usang. (Hal. 312-313)
Namun Eka
nyatanya memiliki sense of humor yang satir, dengan menampilkan wujud
propagandanya (pasca pembantaian) sebagai hantu-hantu komunis yang kembali
bangkit dan menghantui para tentara dan seluruh warga di pelosok Halimunda.
“Serangan hantu-hantu
orang komunis, paling dahsyat dirasakan oleh Sang Shodancho. Selama
bertahun-tahun sejak peristiwa pembantaian tersebut, ia menderia insomnia yang
parah, dan kalau-pun tidur ia menderita tidur berjalan [...] semua orang di
kota itu merasakan hantu-hantu tersebut, mengenali dan takut oleh mereka“
(hal.354)
Kisah lantas
segera bergulir menuju perseteruan antara polisi dengan para preman yang
menimbulkan kekerasan dan keresahan di Halimunda. Maman Gendeng sebagai
pemimpin para kelompok preman merupakan kelompok ikonik Gabungan Anak Liar yang
dimasa kejayaannya harus dihentikan dengan penembakan misterius (petrus). Kasus
ini ramai terjadi pada tahun 1980-an karena meresahkan masyarakat.
Baca Juga: Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat
Baca Juga: Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat
Pada zaman
petrus dalam sehari, di berbagai kota hampir dipastikan ada saja mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat
atau dimasukkan dalam karung yang diletakkan begitu saja di pinggir jalan, di
depan rumah, dibuang ke sungai dan kebun. Mereka adalah korban petrus entah
karena tergabung dalam kelompok yang dicurigakan atau melawan pemerintah. Mayat-mayat
para korban petrus selalu identik dengan tato di dada dan kepala berlubang
ditembus peluru.
“Operasi
itu dilakukan pada malam hari, untuk tidak menimbulkan kepanikan massal,
penduduk kota. Para prajurit menyebar dalam pakaian sipil bersenjata, juga para
penembak gelap, menuju kantong-kantong para begundal […] Pembantaian
berlangsung di malam kedua, dan malam ketiga, serta malam keempat, kelima, dan
keenam serta ketujuh. Operasi itu berlangsung sangat cepat, nyaris menghabiskan
seluruh persediaan begundal di Halimunda“ (hal. 445-446)
Tragedi Keluarga
Pokok yang
ingin disampaikan dari narasi tentang Kamerad Kliwon adalah ketidakadilan dan
kehidupan tragis menyedihkan yang dialami oleh para mantan penganut Komunisme.
Pasca selamat dari pembunuhan para anggota PKI, Kamerad Kliwon harus menjalani
sisa hidupnya sebagai pemuda yang amat menyedihkan. Di tengah pengawasan yang
ketat dari militer, ia memilih menjadi penjual kolor dan bertransformasi
menjadi borjuis kecil di wilayah tersebut.
Suatu hari,
kios-kios yang menjajakan kolornya digusur pemerintah demi program pembangunan.
Kejadian tersebut membangunkan jiwa kirinya dan ia berencana kembali melakukan
pemberontakan. Malangnya, ia justru kembali digebuk dan ditangkap sebagai
sisa-sisa hantu komunis. Ia pun mesti diasingkan ke Pulau Buru. Beberapa tahun
setelah penyiksaan yang panjang, Kamerad Kliwon dikembalikan ke Halimunda
sebagai lelaki yang hidup segan mati tak mau. Hingga pada akhirnya dia
memilih untuk bunuh diri.
January 07, 2020
No comments:
Post a Comment