Labuan Bajo,
pariwisata,
Wishnutama
Wisata Premium Labuan Bajo Hanya Untuk Kaum Berduit
Kamis (28/11/2019) yang lalu kita dikejutkan dengan pernyataan
presiden Jokowi bahwa "Labuan
Bajo ini super premium. Ini hati-hati. Saya sudah ingatkan hati-hati. Jangan
sampai campur aduk super premium dengan yang menengah bawah," ujar Jokowi
saat membuka Kompas 100 CEO Forum di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta.
Bahkan, Jokowi meminta Menteri Pariwisata
Wishnutama Kusubandio memberlakukan sistem kuota bagi wisatawan yang hendak
berkunjung ke Labuan Bajo. Target yang dicanangkan presiden Jokowi yaitu, lima
ratus ribu orang untuk wisatawan mancanegara dan satu juta orang untuk
wisatawan nasional. Perencanaan ini tentu beresiko besar karena setelah
presiden Jokowi menyampaikan idenya itu, beragam komentar disampaikan oleh
masyarakat di dunia nyata atau dunia maya.
Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah
adalah penetapan Konsorsium Cardig Aero Service (CAS) dengan anggota Changi
Airport Internasional Pte Ltd (CAI) dan Changi Airports MENA Pte Ltd sebagai
pemenang tender pengembangan proyek Bandara Komodo di Labuan Bajo (LBJ), Nusa
Tenggara Timur. Konsorsium CAS mendapat hak konsesi pengelolaan Bandara LBJ
selama 25, sebelum kembali diserahkan kepada Pemerintah Indonesia sekitar tahun
2045.
Langkah ini merupakan sebuah terobosan
kebijakan investasi infrastruktur Pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan
kedatangan wisatawan manca negara (wisman) ke Indonesia. Namun masih banyak
persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
peng-"asing"-an bandara dijalankan.
Belum lagi penetapan wisata premium yang
dirancang pemerintah dengan biaya mencapai 14 juta untuk tiket masuk ke Taman
Nasional Komodo (TNK) telah memberatkan wisatawan. Biaya sebesar itu bahkan
berdampak pada beberapa turis mancanegara yang berencana berkunjung ke pulau
komodo memilih untuk membatalkannya. Padahal itu hanya wacana, apa jadinya jika
wacana ini direalisasikan. Mungkin pengunjung yang akan ke sana berkurang
drastis karena hanya orang-orang kalangan menengah ke atas yang mampu membayar
tiket masuk TNK.
Apakah Wisata Labuan Bajo
Sudah Tepat Sasar?
Menjadikan Labuan Bajo sebagai tempat wisata
premium sebenarnya hanya menambah derita masyarakat di sana. Dari pengalaman
selama ini ada beberapa contah maslah yang telah dihadapi masyarakat Labuan
Bajo. Krisis air bersih, jalan raya yang jelek, bahkan mereka sulit mengakses
ke beberapa lokasi pantai yang telah menjadi milik privat pengusaha.
Pertanyaannya adalah, apa yang didapat rakyat
Manggarai Barat khususnya Labuan Bajo atau masyarakat Pulau Komodo dari bisnis pariwisata
premium ini? Di TNK saja, penerimaan dari pajak dan retribusi masuk senilai Rp
28 miliar tapi pemasukan untuk Manggarai Barat, daerah lokasi TNK tidak jelas.
Sehingga jangan heran kalau masyarakat di sana masih tetap miskin dan kekayaan
alamnya hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Selain itu masyarakat yang tinggal di Pulau
Komodo tidak diperhatikan oleh pemerintah bertahun-tahun. Dalam hal ini mungkin
telalu lancang bila mengatakan bahwa Pemerintah Pusat sungguh tidak adil. Aset
Taman Nasional Komodo berupa biawak komodonya diambil pemerintah pusat,
sementara masyarakat miskin di wilayah TNK menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Saya yang pernah mengenyam pendidikan di Labuan Bajo pernah merasakan betapa
sulitnya kehidupan masyarakat di sana. Tanah dan alamnya dijadikan sapi perah
oleh pemerintah dan pengusaha sedangkan masyarakat masih hidup dalam
kemiskinan.
Baca Juga: Beberapa Fakta Menarik Wae Rebo
Tidak hanya itu, terjadi suatu ironi yang tidak
masuk di akal karena Pembangkit Listik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di kabupaten
Manggarai diharuskan melayani kebutuhan listrik di Labuan Bajo yang secara
atministrasi berada di wilayah kabupaten Manggarai Barat. Sedangkan, masyarakat
Ulumbu sebagai pemilik sumber panas bumi tidak mendapatkan hasilnya. Keadaan
yang sangat ironis. Kekayaan mereka hanya dinikmati oleh orang-orang kaya yang
berwisata di Labuan Bajo dan mereka hanya menikmati bau belerangnya.
Labuan Bajo oleh pemerintah pusat dan pengusaha
adalah ladang untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin dan mengabaikan
kesejahteraan rakyat. Sudah 20 tahun Labuan Bajo dijual dan mendatangkan banyak
kekayaan bagi para investor dan pelaku industri, tetapi Kabupaten Manggarai
Barat sendiri tak mentas dari status “Daerah Tertinggal”. Jika demikian, masih
pantaskah Labuan Bajo dijadikan wisata premium sedangkan masyarakat di sana
masih berkutat dengan kemiskinan.
Keterbatasan jumlah pengunjung hanya akan
mengurangi pendapatan masyarakat Labuan Bajo atau juga masyarakat Pulau Komodo.
Mungkin kehidupan di Labuan Bajo sedikit lebih baik dibandingkan dengan
masyarakat di Pulau Komodo. Keterbatasan segala sarana dan prasana seperti
listrik, sekolah, fasilitas kesehatan dan lain-lain menjadi contoh nyata kalau
kekayaan mereka mereka hanya dinikmati oleh orang-orang berduit dan pemerintah.
Pemerintah mungkin menutup mata atau pura-pura tidak tahu dengan keadaan
masyarakat di sana.
Semua ini disebabkan desain dan konsep
pembangunan wisatanya, tidak melekat bersama konsep integral pembangunan daerah
dan masyarakat Labuan Bajo. Akses air bersih lancar hingga ke kamar-kamar hotel
dan kolam renang, tapi tidak ke rumah-rumah warga. Akhirnya, masyarakat di sana
hanya menjadi penonton pembangunan di daerahnya sendiri. Mereka cukup
menyaksikan apa yang dibangun di atas tanah leluhur mereka, tanah yang telah
diperjuangkan untuk masa depan anak cucuk mereka.
Air bersih yang seharusnya diutamakan untuk
masyarakat justru dialirkan ke hotel-hotel berbintang. Dan masyarakat terpaksa membeli
air di mobil-mobil tangki. Alhasil, masyarakat hanya bisa menjerit tapi tak ada
telinga yang ingin mendengar. Suara mereka adalah suara sumbang yang tidak
perlu didengarkan karena pemerintah sedang membangun pariwisata. Pemerintah
kita sedang berusaha meningkatkan devisa negara dan meningkatkan jumlah turis
asing. Sayangnya pemerintah tidak peduli apakah masyarakat merasakan manfaatnya
atau tidak.
Rupanya pemerintah tidak belajar dengan keadaan
di beberapa kota di Eropa seperti Barcelona dan Venice yang telah muncul sikap
warga lokal anti turisme. Jika hal ini
terjadi di Indonesia, maka satu-satunya tempat di mana turis merasa nyaman
hanyalah di kamar dan di sekitar kolam renang atau lobi hotel. Di luar itu,
lupakan cerita indah tentang penduduk lokal yang ramah menyapa para wisatawan.
Lupakan kekhasan masyarakat Indonesia yang ramah menyapa orang asing yang
berkunjung ke tempatnya.
February 12, 2020
No comments:
Post a Comment