Annalies Mellema,
Belanda,
Bumi Manusia,
cinta zaman penjajahan,
HBS,
Indonesia,
Minke,
Nyai Ontosoroh,
Pramoedya Ananta Toer
Manusia Indonesia yang Terjajah dalam Novel Bumi Manusia (2)
Suatu kekeliruan jika menilai Indonesia
sebagai bangsa tidak jelaskan dalam novel Bumi Manusia. Novel Bumi Manusia
merupakan bagian dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, selain
novel Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Novel-novel ini adalah
akuarium yang menggambarkan pergulatan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk
membangun menjadi sebuah bangsa.
Kata “Indonesia” memang tidak ada dalam
novel ini. Semua itu karena kehebatan seorang Pramoedya sebagai penulis. Secara
sadar dia menunjukkan bahwa Indonesia sebagai bangsa bukan hadir karena proses
alamiah. Entitas bangsa itu dibentuk untuk mencapai proses revolusi sosial
melalui berbagai perjuangan dan tetesan darah. Sebuah proses pembentukan
struktur sosial yang benar-benar baru dan pada akhirnya diberi nama “Indonesia”.
Pramoedya dengan begitu cerdas menunjukkan
jejak langkah awal lahirnya embrio Indonesia sebagai bangsa. Dengan latar waktu
awal abad ke 20, novel tersebut menampilkan proses awal terbentuknya kesadaran
baru dalam melakukan perlawanan. Perlawanan yang ditampilkan dalam novel ini
pun tidak lagi menonjolkan perlawanan secara fisik. Menentang orang-orang Eropa
di pengadilan oleh seorang Nyai dan perlawanan Minke melalui media masa adalah
model perlawanan jenis baru.
Tentu saja semua itu karena latar belakang
Nyai Ontosoroh dan Minke yang telah banyak belajar dari budaya dan pendidikan
Eropa. Nyai Ontosoroh yang begitu dicintai Herman Mellema mengajarnya membaca,
menulis, berbicara Bahasa Belanda dan mengelolah perusahan. Nyai Ontosoroh
merepresentasikan perempuan era baru dalam dekapan budaya patriarki Jawa yang
meminggirkan perempuan.
Dia mengajarkan ide-ide dan nilai-nilai
pencerahan Eropa kepada minke, yang sebagian telah ia pelajari sendiri, namun
juga menunjukan kemunafikan Eropa dalam mengurusi koloni-koloninya (hal. 157).
Di sinilah bisa kita lihat peran nyai Ontosoroh dalam membagikan keberaniannya
kepada Minke. Jika Nyai Ontosoroh berani melawan pengadilan Belanda, maka Minke
sebagai ningrat Jawa melawan budayanya sendiri.
“Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan
Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak,
beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barang kali buta
huruf pula! God, God! Menghadap bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan
tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu
terhadapku. Mengapa harus kulakukan untuk orang lain? Sambar gledek!”.
Minke menolak tata cara menyembah,
merangkak, merendahkan diri, dan tidak boleh mengkritik dalam adat Jawa. “Orang
Jawa sujud berbakti kepada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada
penghujung keluhuran. Orang harus berani mengalah, Gus” ungkap Ibu Minke. “Yang
berani mengalah terinjak-injak, Bunda” jawabnya.
Pernyataan di atas tentu telah melukai
hati ibunya yang dibesarkan dalam budaya Jawa. Mungkin seumur hidupnya belum
pernah ada orang yang berani mengatakan demikian. Dan dari sini, kita melihat
keberanian Minke yang ingin adanya kesetaraan harkat dan martabat setiap
manusia. Perlawanannya terhadap budayanya sendiri adalah perlawannya yang lebih
kecil sebelum dia melawan bangsa kolonial yang lebih besar.
Perubahan Pola Pikir Minke
Perjumpaan dengan Nyai Ontosoroh turut
mempengaruhi cara berpikir dan kehidupan Minke di kemudian hari. Nyai Ontosoroh
adalah sosok Nyai yang memang benar-benar berusaha untuk bangkit. Dia sebagai
sosok individu bukan dalam menyandang status sebagai pribumi namun manusia
seutuhnya. Pergolakan yang terjadi di antara pihak kolonial dan pribumi
merupakan bukti nyata perjuangan yang berbeda antara melawan dengan fisik dan
pemikiran.
Nyai Ontosoroh dalam novel ini
merepresentasikan wanita modern yang berani berpikir sendiri tanpa bergantung
pada laki-laki. Kemampuannya bahkan melampaui wanita pribumi pada masa itu dan
juga wanita-wanita Eropa yang ada di Pulau Jawa. Keunggulannya itulah yang
membuat Minke selalu terkagum-kagum. Bagaimana mungkin seorang wanita pribumi
dan bergelar nyai, menjadi pemimpin sebuah perusahan di zaman itu.
Dalam Novel ini oleh penulis novel
mengajak untuk melihat dan memahami kembali arti sebuah perjuangan dan cara
memperjuangkan hak sebagai seorang manusia tanpa melihat status sosial dan
kehidupan penjajahan. Bangkit menjadi manusia bebas diawali dari diri sendiri
untuk berani lebih menyuarakan yang ada dalam pemikiran. “Kau terpelajar,
Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan Itulah memang arti terpelajar itu.”
“Maka malam itu aku sulit dapat tidur.
Pikiranku bekerja keras memahami wanita luar biasa ini. Orang luar sebagian
memandangnya dengan mata sebelah karena ia hanya seorang nyai, seorang gundik.
Atau orang menghormati hanya karena kekayaannya. Aku melihatnya dari segi lain:
dari segala apa yang ia mampu kerjakan, dan segala apa yang ia bicarakan,”
kekaguman Minke pada perempuan yang mengaku tidak pernah bersekolah itu (hal.
105).
Perjumpaan dengan nyai Ontosoroh kiranya
menjadi titik balik perubahan pola pikir seorang Minke. Jika sebelumnya selalu
mengagungkan Eropa, kali ini Minke ditantang untuk mencintai bangsanya sendiri.
Perlawanan yang disampaikan dalam koran melalui buah penanya dalam Bahasa
Melayu menjadi bukti nyata akan hal itu. Nyai Ontosoroh adalah wonder
women. Kehadirannya melampaui wanita zaman itu.
Perlawannya bersama Minke adalah bukti
bahwa siapa pun bisa melawan penjajah tanpa harus menggunakan otot. Perempuan
pun bisa melawan dan menjadi pemimpin yang pada zaman itu mungkin masih tabu.
Semuanya karena budaya patriarkat yang kuat. Tetapi, novel ini ingin
menjungkirbalikan fakta-fakta itu. Siapa pun bisa menjadi pemimpin dan
melakukan perlawanan.
January 15, 2020
No comments:
Post a Comment