Menu

Silence: Tuhan yang Diam atau Gereja yang Diam? [2]


                        Ket: Novel Silence karya Shusako Endo


Pengantar
Novel ini merupakan salah satu novel terlaris karya Shusako Endo. Banyak orang yang mengapresiasi novel silence, akan tetapi banyak juga yang menganggap karya Shusako Endo ini hanyalah untuk ketenaran semata. Novel silence telah membawa kita pada suatu sejarah yang mungkin selama ini dilupakan bahwa agama Katolik pernah hadir di negeri Matahari Terbit.
Novel ini menghadirkan secuil kisah dari perjuangan orang Katolik pada zaman itu. Orang-orang Katolik di Jepang mengalami nasib seperti jemaat Katolik ketika ditindas oleh kekaisaran Romawi. Penulis memberikan judul novelnya tentu saja memiliki maksud tertentu, sehingga saya pun tertarik mengulas novel ini dengan judul “Silence: Tuhan yang Diam atau Gereja yang Diam?” 

Kegagalan Misi Katolik di Jepang dari Sisi Sosiologis
Masalah utama yang diangkat dalam novel ini adalah konflik antara Timur dan Barat, secara khusus Kekatolikan. Memang ini bukan masalah baru. Sudah banyak penulis menyampaikannnya. Akan tetapi, Shusaku Endo adalah orang Katolik pertama yang mengemukakan hal ini dengan dahsyat dan menarik kesimpulan tegas bahwa Kristianitas harus beradaptasi secara radikal kalau ingin menumbuhkan akar di “rawa-rawa” lumpur Jepang.

Baca Juga: Silence: Tuhan yang Diam atau Gereja yang Diam? [1]

Pengakuan Ferreira imam yang murtad dalam novel ini menjadi salah satu bukti bahwa “satu hal yang aku tahu pasti adalah agama kita tidak bisa berakar di negeri ini. Negeri Jepang ini seperti rawa-rawa. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya sendiri. 
Dan rawa-rawa ini lebih parah dari yang biasa kau bayangkan. Setiap kali kau menanam tunas muda di rawa-rawa ini, akar-akarnya mulai membusuk, daun-daunnya menguning dan layu. Dan kita telah menanam tunas muda Kristianitas di rawa-rawa ini”[1].
Pernyataan Ferreira ini bukan tanpa maksud. Jepang disebutnya rawa-rawa karena memang semua yang datang dari luar tidak pernah berkembang di Jepang. Karena semakin ke tengah, maka akan tenggelam dalam rawa-rawa.
Begitu pula dengan kekatolikan yang ditawarkan oleh para misionaris. Ketika mereka berada di wilayah terluar Jepang mereka tidak mengalami kesulitan untuk menyebarkan ajaran Kekatolikan. Akan tetapi, ketika memasuki pedalaman tantangan besar menghadang.
Penyatuan antara ajaran Shinto dan budaya Jepang begitu melekat. Dengan penyatuan agama dan budaya yang begitu melekat, dapat dipastikan agama atau budaya lain sulit untuk masuk ke dalam kehidupan mereka. Ajaran Shinto dan budaya bangsa Jepang telah menjadi identitas yang takkan pernah terpisahkan.
Masyarakat Jepang telah memiliki agamanya sendiri dan tidak benar jika kita memaksa mereka untuk mengikuti kita. Mereka telah menemukan apa yang mereka cari dalam ajaran Shinto.
Tuhan yang dipercaya orang-orang Jepang bukanlah Tuhan orang Katolik, tuhan-tuhan mereka sendiri. “Sekian lama kita tidak menyadari hal ini dan kita yakin sepenuhnya bahwa mereka telah menjadi orang-orang Katolik”[2].

Baca Juga: [Resensi Buku] Memahami Pemikiran Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas

Lebih lanjut Ferreira menegaskan “aku mengatakan ini bukan untuk membela diri atapun mencoba membuatmu yakin. Kurasa tak seorang pun akan percaya apa yang kukatakan ini. Aku melihat bahwa sedikit demi sedikit, hampir tidak kentara, akar-akar yang kita tanam telah membusuk[3]”. Menginjili Jepang, yang diyakini sebagai "rawa-rawa", benih kekatolikan tidak pernah bisa bertumbuh dan berakar jika tidak beradaptasi.
Sampai hari ini bangsa Jepang tidak mengenal konsep Tuhan. Mereka tidak percaya pada Tuhan orang Katolik. Bangsa Jepang tidak bisa sepenuhnya memisahkan konsep Tuhan dari manusia. Mereka tidak bisa membayangkan eksistensi sesuatu yang melampaui manusia.
Bangsa Jepang membayangkan manusia yang indah dan mulia dan inilah yang mereka sebut Tuhan. Sebutan Tuhan itu mereka berikan kepada sesuatu yang memiliki eksistensi yang sama dengan manusia. Tetapi, dia bukanlah Tuhannya Gereja.
Kematian Kristianitas bukan disebabkan oleh larangan atau penganiayaan. Ada sesuatu di negeri itu yang menghambat pertumbuhan Kristianitas. Kristianitas yang mereka percayai itu bagaikan kerangka kupu-kupu yang terjerat di jaring laba-laba: hanya bentuk luarnya mereka ambil. Darah dan dagingnya sudah lenyap. 
Kepercayaan orang Jepang sangat sederhana dan mendasar, namun meniupkan keyakinan yang telah ditanamkan di Jepang oleh Gereja Katolik, bukan oleh para pejabat itu, bukan juga oleh Buddhisme[4].
Shinto sebagai agama, budaya dan simbol yang takkan pernah bisa dipisahkan dari masyarakat Jepang. Penyatuan yang erat ini menjadi tidak dapat dipisahkan karena masyarakat Jepang menemukan Tuhan dan kebahagiaan dalam ajaran Shinto.
Jika mereka sudah menemukan Tuhan dan kebahagiaan dalam ajaran Shinto, Tuhan mana lagi yang dapat membuat mereka menemukan lebih dari itu? Pengalaman kegagalan ini kiranya menjadi pelajaran bagi agama Katolik dalam bermisi.

Kesulitan Agama Monoteistik
Dari penjelasan di atas, sangat nampak betapa agama Shinto berakar dalam kehidupan masyarakat Jepang. Agama Buddha yang ajaran dan tradisinya banyak diadopsi oleh agama Shinto setelah sekian abad tetap tidak bisa mengambil alih pengaruh agama Shinto. Apalagi jika dibandingkan dengan agama monoteistik yang ajaran dan tradisinya jauh berbeda.
Sejarah telah mencatat betapa sulitnya agama monoteistik tertentu untuk berkembang di Jepang. Penyatuan agama dan budaya yang telah mendarah daging menjadi salah satu kesulitan berkembangnya agama monoteis di sana.

Baca Juga: Memaknai Trinitas dalam Kehidupan Berpancasila

Meskipun sejak zaman St. Fransiskus Xaverius agama monoteis (Katolik Roma) sudah membaptis beberapa masyarakat Jepang tidak berarti agama Katolik akan eksis. Agama Katolik yang sejak saat itu berusaha untuk hadir di Jepang ternyata tidak mampu masuk lebih dalam untuk berlama-lama hadir di sana.
Perbedaan cara berpikir dan konsep Tuhan dapat menjadi penyebab sulitnya agama Katolik atau agama monoteis berkembang di sana. Agama Shinto adalah simbol negeri Jepang.         
Konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto sangat sederhana yaitu semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak pada hakikatnya memiliki roh atau kekuatan, jadi wajib dihormati. Sejak awal sebenarnya secara alamiah orang Jepang sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat. 
Di luar mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan Besar" yang disebut dengan nama Kami.

Arti Silence
Menurut saya, arti silence berdasarkan novel ini adalah Tuhan tidak memberikan jalan keluar ketika umatnya mengalami kesulitan. Tuhan seakan-akan tidak memberikan apa yang dibutuhkan oleh umat-Nya. Tuhan tidak terlihat dan sepertinya hanya diam ketika Padre Rodrigues menghadapi ujian hidup yang paling berat. 
Satu-satu orang beriman itu ditangkap, tidak untuk dibunuh. Mereka selalu punya pilihan; memilih hidup dengan syarat meninggalkan iman atau bersiap mati jika kukuh mempertahankannya.
Surat Padre Rodrigues menampilkan kenyataan bahwa semua yang beriman memilih mati demi mempertahankan keyakinan akan Kristus. Mungkin juga hal itu diperteguh oleh keyakinan bahwa kematian akan membawa mereka ke Surga, dan membebaskan mereka dari semua bentuk penindasan dan penderitaan di dunia.
“…Kalau kami masuk surga, kami akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan abadi. Di Surga tidak perlu bayar pajak setiap tahun, tidak perlu takut kelaparan dan sakit. Tidak bakal ada kerja keras di sana. Di dunia ini kami selalu saja kena masalah” kata seorang perempuan Katolik bernama Monica[5].
Agama telah menjadi candu untuk masyarakat Jepang pada zaman itu. Mereka terpesona dengan janji-janji tentang Surga yang tidak akan mengalami penderitaan atau membayar pajak terhadap Kaisar.
Arti lain dari silence menurut saya adalah para misionaris merasa ditinggalkan. Ketika mereka dalam kesulitan dan harus mengambil keputusan yang sulit, Tuhan justru ‘tidak ada’. Baik Ferreira maupun Rodrigues dibiarkan berjuang sendirian. 
“Hentikan! Hentikan! Tuhan, sekaranglah Kau harus menghentikan keheningan-Mu. Kau tidak boleh tetap bungkam. Buktikan Kau adil, mahabaik, penuh kasih. Kau harus membuka suara, untuk menunjukkan pada dunia bahwa Kau mahakuasa.”[6]
Mengapa Tuhan terus berdiam diri sementara hamba-Nya harus menghadapi pilihan yang menentukan kehidupan banyak orang. Apakah Tuhan hanya mengejek Rodrigues dan misionaris lainnya? Tidak ada yang tahu selain Tuhan sendiri.
Orang Katolik Jepang merasa mereka menderita tanpa “ada keterlibatan Allah” yang kelihatan. Mereka dibiarkan menanggung sendirian penderitaan itu. Penderitaan yang mungkin saja tidak mereka alami seandainya mereka bukan Katolik. 
Saya juga melihat arti silence sebagai operasi hening orang Katolik. Orang Katolik dalam menyebarkan ajaran agama Katolik di sana dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pengalaman mereka seperti orang Katolik pada masa pengejaran di wilayah kekaisaran Roma.

Baca Juga: Kotak Pandora di Balik Kehancuran Jepang di Tangan Sekutu

Mereka adalah warga negara ‘bawah tanah’ dalam menyebarkan ajaran agamanya. Keheningan dalam menyebarkan ajaran agama Katolik karena takut diketahui oleh pemerintah Jepang yang sangat memusuhi agama Katolik saat itu.
Umat Katolik Jepang dengan penuh kehati-hatian dalam menyebarkan agama Katolik. “Iman Anda memberi saya kekuatan, Mokichi[7],” katanya kepada seorang Katolik yang siap dibawa menuju tempat penyiksaan. Tapi, berapa lama mereka sanggup bertahan dalam tempat yang tersembunyi, sedang otoritas senantiasa mengincar dan mencari orang Katolik hingga ke tempat tersembunyi sekalipun.
Selain itu arti silence bagi saya adalah agama Katolik tidak mendapat respon pemerintah. Meskipun agama Katolik telah lama hadir di Jepang mereka tidak pernah mendapat tanggapan dari pemerintah. Orang-orang Katolik Jepang adalah korban perselisihan politik antara Jepang versus Spanyol.
Meskipun jumlah orang Katolik Jepang sempat mencapai 400.000 orang, tetapi itu hanyalah tampak luar. “Ibarat kupu-kupu yang terjerat di jaring laba-laba. Mulanya kau yakin dia kupu-kupu—sayapnya, badannya. Realitasnya yang sejati sudah hilang dan menjadi sekadar kerangka. Di Jepang, Tuhan kita persis seperti kupu-kupu yang terjerat jaring laba-laba itu. Hanya bentuk luar Tuhan yang tersisa, tetapi sudah menjadi kerangka.”[8]

Daftar Pusataka
https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Catholic_Church_in_Japan. Diunduh Selasa 05 September 2017, pkl 08.13 WIB.
Endo, Shusaku. Silence. Penter. Tanti Lesmana. Jakarta: Kompas, 2009.




[1] Shusaku Endo, Silence, 234.
[2] Shusaku Endo, Silence, 235.
[3] Shusaku Endo, Silence, 235.
[4] Shusaku Endo, Silence, 238-242.
[5] Shusaku Endo, Silence, 183.
[6] Shusaku Endo, Silence, 164.
[7] Seorang Katolik yang menjadi Katekis ketika Rodriques tiba di Jepang.
[8] Shusaku Endo, Silence, 237

No comments:

Post a Comment