Pancasila,
teologi,
Trinitas
Memaknai Trinitas dalam Kehidupan Berpancasila
(Ket: Lambang Garuda Pancasila)
Berbicara
tentang Trinitas berarti berbicara tentang persekutuan Allah Bapa, Putra dan
Roh Kudus. Persekutuan ketiganya membentuk komunitas kasih karena Bapa selalu
mengasihi Putra dan Roh Kudus, Putra selalu mengasihi Bapa serta Roh Kudus dan
Roh Kudus selalu mengasihi Bapa dan Putra. Akan tetapi, banyak orang kemudian
menganggap orang Kristen sebagai penyembah tiga allah (triteisme).
Mereka
berpendapat demikian karena Allah Bapa dipisahkan dari Allah Putra dan Allah
Roh Kudus. Jika ketiga-Nya dipisahkan akan jatuh pada triteisme. Akan tetapi,
dalam kekristenan ketiganya tidak dapat dipisahkan, malahan persekutuan
ketiganya membentuk monoteisme radikal dan komunitas Ilahi.
Keistimewaan
beriman pada Allah Trinitas, akan misteri perichoresis,
dan persekutuan Trinitaris adalah karena Allah Trinitas merupakan model bagi
kehidupan masyarakat yang adil, yang mengindahkan persamaan dan menghormati
perbedaan. Atas dasar iman akan Trinitas, orang Kristen dituntun pada sebuah
bentuk masyarakat yang mengikuti model persekutuan Trinitas.
Baca juga: Manusia Menurut Victor E. Frankl
Baca juga: Manusia Menurut Victor E. Frankl
Konsep Allah sebagai persekutuan inilah yang menjadi dasar
kita berelasi dengan orang-orang lain. Persekutuan Allah Trinitas merupakan
persekutuan pribadi Ilahi atas dasar kasih yang dapat kita jadikan sumber
inspirasi untuk pengamalan Pancasila. Tujuannya agar tercipta masyarakat yang
harmonis dan saling menghargai. Kita sebagai masyarakat Katolik pun sangat
diharapkan agar berlaku adil kepada sesama. Latar belakang tiap pribadi bukan
menjadi alasan bertindak diskriminasi. Karena Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus
selalu berlaku adil kepada kita.
Umat Katolik
mendukung Pancasila bukan hanya sebagai sarana pemersatu, melainkan juga
sebagai ungkapan nilai-nilai dasar hidup bernegara, yang berakar di dalam
budaya dan sejarah suku-suku bangsa kita. Pancasila, baik sebagai keseluruhan
maupun ditinjau sila demi sila, mencanangkan nilai-nilai dasar hidup manusiawi,
sejalan dengan nilai yang dikemukakan oleh ajaran dan pandangan Gereja
Katolik.”[1]
Kenapa pada
akhirnya orang-orang Kristen umumnya dan Katolik khususnya menyetujui Pancasila
sebagai dasar negara? Karena Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia mampu merangkul semua perbedaan yang ada dalam masyarakat baik itu
suku, agama, ras maupun golongan. Pancasila
menjadi ideologi yang mengayomi semua golongan masyarakat. Perbedaan latar belakang
entah itu ras, agama, golongan atau budaya adalah kekayaan yang harus
dipelihara. Seperti persekutuan Allah Trinitas yang dibangun atas dasar kasih,
diharapkan juga persatuan masyarakat Indonesia dibangun atas dasar kasih dan
dan menghargai perbedaan.
Trinitas
Sebagai Model dalam Pengamalan Pancasila
Menurut Boff
masyarakat manusia merupakan petunjuk ke arah Trinitas dan sebaliknya misteri
Trinitas menjadi petunjuk arah untuk kehidupan masyarakat.[2]
Trinitas sebagai model bagi setiap bentuk masyarakat yang mencari hubungan agar
dapat berpartisipasi dan mendapatkan kesederajatan.
Taymans
d’Eypernon menggariswabawahi bahwa masyarakat merupakan hasil dari kemajemukan
pribadi dan tindakan. Interaksi semua unsur masyarakat dapat menciptakan
keadian sosial[3].
Interaksi ini merupakan analogi bagi keesaan Allah, di dalamnya Pribadi-pribadi
ilahi membangun persekutuan kekal.
Baca juga: Mengenal Khazanah Islam
Baca juga: Mengenal Khazanah Islam
Menurut Soekarno persatuan nasional memerlukan identitas
nasional dan kepribadian nasional. Dengan mudah kita akan temukan jawaban dari
pernyataan ini, yaitu gotong royong sebagai kekhasan masyarakat kita. Semua
identitas kita dengan sangat gamblang disampaikan dalam Pancasila. Sila-sila
dalam Pancasila pun menjadi bukti bahwa para founding fathers ingin agar
Indonesia ini berdiri atas kerja keras dan perjuangan semua golongan. Sebab dalam kenyataannya, bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, adat istiadat,
kebudayaan dan agama yang berbeda.
Lalu, kenapa Trinitas sebagai model dalam pengamalan
Pancasila? Jawaban sederhananya karena Allah sebagai persekutuan (persekutuan
Bapa, Putra dan Roh Kudus) selaras dengan sila ketiga Pancasila yaitu, Persatuan
Indonesia. Maksudnya persekutuan ketiganya sebagai relasi ilahi coba
diwujudnyatakan dalam relasi sesama manusia Indonesia melalui sila ketiga.
Sehingga, boleh dikatakan Allah sebagai Communio menjadi inspirasi untuk
menciptakan perdamaian dan kesatuan.
Paham Allah Trinitas dan Pancasila paling sederhana dapat
kita temukan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi
satu jua). Kedua paham ini yang satunya sangat religius dan yang lain sangat
politis mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu merangkul semua perbedaan yang
ada tanpa ada yang diistimewakan. Mengistimewakan yang satu hanya akan
menganak-tirikan yang lain. Itulah konsekuensi jika ada yang diistimewakan. Karena
itu, untuk menghindari perpecahan lahirlah semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Semboyan yang diharapkan dapat merangkul semua entitas di bumi pertiwi.
Sebagai orang Kristiani patut bersyukur bahwa mengakui
Pancasila sebagai dasar ideologi negara punya dasar teologisnya. Artinya, apa
yang pernah disampaikan oleh MGR. Albertus Soegijapranata berpuluh-puluh tahun
lalu, yaitu seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia masih relevan
untuk dipraktikan di zaman sekarang. Setidaknya persekutuan Allah Trinitas atas
dasar kasih dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk juga melakukan hal yang
sama kepada sesama kita. Jika Allah telah mengasihi kita, adakah alasan kita
tidak mengasihi sesama?
Apalagi saat ini kita sedang menghadapi pandemi covid-19
yang telah menelan banyak korban jiwa. Keadaan sekarang dapat menjadi momen
untuk terus meningkatkan persatuan dan kesatuan tanpa harus melihat latar
belakang sosial, agama, suku, atau ras. Keadaan pandemi ini menjadi kesempatan
untuk semakin menunjukkan kepada semua orang bahwa kita adalah masyarakat
penganut Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab Pancasila akan semakin
bermakna ketika dapat diaktualisasikan dalam kehidupan bersama.
Baca juga: Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls
Baca juga: Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls
Tolong menolong dengan meringankan beban tetangga di sekitar
rumah atau mendukung protokol yang dikeluarkan oleh pihak berwenang juga
merupakan salah satu bentuk penghayatan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Jika Yesus taat kepada Bapa-Nya hingga mati, adakah alasan bagi kita untuk
tidak taat kepada pemerintah yang kita pilih ketika mereka mengeluarkan larangan
untuk menyelamatkan banyak orang? Pancasila tetap berdiri kokoh karena mayoritas
masyarakat Indonesia percaya bahwa ini adalah ideologi yang mampu merangkul semua
perbedaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, wujud konkret pengamalan Pancasila
dengan berani menanggalkan ego masing-masing.
Sekarang, saat menghadapi wabah Covid-19, kita tidak mampu
menghindarinya. Tentu kita semua ingin selamat. Saat ini pandemi, Covid-19
menggantikan peran malaikat pencabut nyawa. Akan tetapi, layakkah kita pesimis
dan terus berharap ada mukjizat? Yuval Noah Harari dalam
bukunya Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, mengatakan,
“…Orang-orang berdoa kepada Tuhan agar menurunkan keajaiban, tetapi mereka
sendiri tidak berbuat serius untuk menghentikan kelaparan, wabah dan perang.”[4]
Jadi, kita semua punya peran masing-masing untuk menghentikan penyebaran wabah
ini dengan mengikuti arahan pemerintah dan pihak medis.
[3] Leonardo Boff, Allah Persekutuan: Ajaran Tentang Allah
Tritunggal, 24.
[4] Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, Judul
asli, Homo Deus – a Brief History of Tomorrow, Pent. Yanto Musthofa, (Jakarta:
Alvabet, 2018), 21.
June 01, 2020
No comments:
Post a Comment