Menu

[Resensi Buku] Pingin Kuliah? Makanya Kaya




Judul           : Orang-Orang Biasa
Penulis         : Andrea Hirata
Penerbit       : Bentang Pustaka
Jumlah hal   : xii + 300 halaman; 20,5 cm.
Cetakan       : Pertama, Maret 2019

Novel ini ditulis berangkat dari kekecewaan Andrea Hirata yang gagal memperjuangkan seorang anak miskin yang pintar untuk melanjutkan pendidikannya di universitas. Anak tersebut sudah diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, tapi tidak bisa melanjutkan ke tahapan selanjutnya lantaran tidak mampu membayar uang muka. Akhirnya semua mimpi itu dikubur dalam-dalam lantaran biaya tidak mencukupi.

Untuk pertama kalinya, Andrea Hirata menulis novel dalam genre kejahatan. Pembaca akan berjumpa tokoh-tokoh unik dengan pemikiran menakjubkan, yang mudah bahagia dengan hal-hal sederhana. Dengan latar belakang para tokoh yang bervariasi, membuat pembaca tidak jenuh dengan kisah-kisah yang diceritakan secara runtut oleh si penulis novel.

Harus diakui, penulis novel lihai dalam memainkan kata-kata dan perasaan pembaca. Andrea Hirata mampu mengisahkan kegetiran hidup sepuluh sekawan yang dimulai sejak bangku sekolah. Kegagalan di sekolah, di dunia kerja, hidup bermasyarakat dan masih banyak lainnya. Hingga bisa digolongkan ke dalam kelompok orang-orang gagal.

Seorang motivator yang tidak pernah diundang untuk berbicara motivasi, guru honorer yang gajinya pas-pasan, penjual mainan anak-anak yang ditinggal pergi suaminya karena meninggal dan masih banyak lainnya. Semuanya diceritakan dengan gaya bahasa yang istimewa, jenius dan sangat jenaka. Dari halaman-halaman awal saja, kita akan tertawa ngakak. Kisah sepuluh orang geng bangku belakang setidaknya akan menghibur pembaca dengan aksi-aksi mereka yang kocak.


Melalui novel ini, Andrea Hirata mengajak kita untuk tetap kritis terhadap kenyataan pendidikan saat ini. Di negeri yang berlimpah susu dan madu, untuk menikmati pendidikan yang berkualitas membutuhkan uang yang banyak. Maka, tak heran di sekolah-sekolah atau universitas-universitas tertentu hanya dapat dinikmati oleh orang-orang berduit. Novel ini mengkritik pendidikan kita yang kelewat mahal untuk orang-orang sederhana. Sebab sekolah bukan lagi menjadi ladang untuk mencerdaskan bangsa, tetapi menjadi sumber meraup pundi-pundi rupiah.

Sinopsis Novel
Belantik kota penuh kenaifan. Orang-orang yang hidup di dalamnya seakan lupa bagaimana cara berbuat jahat. Kehidupan yang begitu damai membuat Inspektur Abdul Rojali bersama seorang Sersan andalannya harus bersabar menanti masa-masa di mana kriminalitas dapat mereka taklukan. Mata Inspektur sendu menunggu kejahatan. Sosok polisi dalam dirinya perlahan terbaring, lalu lama-lama mati.

Sebatang kapur dan penghapus tergeletak di bawah papan tulis itu. Tampak benar telah sangat lama tak dipakai. Demikian minim angka-angka itu sehingga tak bisa dijadikan diagram batang, atau diagram naik-naik ke puncak bukit. Rupanya di kota ini, penduduknya telah lupa cara berbuat jahat. Wahai kaum maling, ke manakah gerangan kalian?

Di sisi lain Kota Belantik, hidup sekawanan siswa: Salud, Honorun, Junilah, Sobri, Nihe, Rusip, Tohirin, Dinah dan Handai; dikenal sebagai siswa-siswa terbelakang, baik perihal prestasi maupun posisi bangku mereka di kelas. Mereka dipertemukan karena satu nasib tragis: memiliki kebodohan luar biasa.


Payah dalam Matematika, gagal naik kelas berkali-kali, suka dibuli, juga memiliki masa depan yang redup; Semua deskripsi itu tampaknya paling tepat menggambarkan kegetiran hidup mereka.  Lalu, bergabunglah seorang idealis bernama Debut Awaluddin dalam geng siswa bangku belakang. Ia kemudian menjadi pemimpin sekaligus pembela terdepan atas ketidakadilan hidup yang menimpa kawan-kawan terbelakangnya. Meskipun pada akhirnya dia selalu mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Duo Boron dan Trio Bastarian. Tetapi, sikap idealisnya telah tertanam untuk membela kawan-kawannya yang tertindas.

Ada yang menarik dari pernyataan penulis novel tentang sekawan itu “… jika sepuluh, mungkin lebih cocok disebut gerombolan. Lagi pula, sulit sepuluh sekawan dibuat cerita, pengarang yang tak kuat mentalnya akan mundur sebab bukan main sulitnya mengingat nama sepuluh orang itu” (hal.16).

Sejak zaman sekolah sepuluh sekawan selalu dibully Trio Bastardin dan Duo Boron. Nasib buruk itu berlangsung hingga mereka dewasa. Tak heran, jika sepuluh sekawan selalu kompak sejak zaman sekolah hingga dewasa. Kesamaan nasib sebagai orang tertindas dan miskin menjadikan mereka tetap kompak entah dalam hal kebaikan maupun dalam kejahatan.

Kedunguan dan keluguan mereka sebagai kawanan yang “bodoh” ternyata masih bisa melakukan sesuatu yang luar biasa. Kisah itu berubah drastis ketika Aini anak Dinah lulus di Fakultas Kedokteran di salah satu Perguruan Tinggi. Kesulitan yang dialami Dinah untuk membiayai anaknya masuk Perguruan Tinggi membuat sepuluh sekawan ini nekat melakukan tindakan kejahatan yang akan selalu diingat oleh masyarakat Belantik.

Kasus kegagalan pencurian di bank di saat masyarakat Belantik dan Inspektur menyaksikan pawai topeng monyet adalah titik baliknya. Semua mata langsung tertuju ke kasus itu. Para wartawan, polisi dan masyarakat Belantik yang selama ini selalu aman dikejutkan dengan masalah ini. 

Menarik untuk ditelusuri bahwa semua itu, dilakukan dengan tujuan membiayai pendidikan Aini yang kelewat mahal untuk mereka yang hidup miskin. Salah satu kutipan menarik dari novel ini kiranya menggambarkan perasaan sekawan ini dalam melancarkan aksi mereka:

“Tangkap! Tangkaplah orang miskin yang berjuang agar anaknya bisa sekolah! Kita ini bukan merampok, Dinah! Kita ini melawan ketidakadilan! Tengoklah banyaknya anak-anak pintar miskin yang tak dipedulikan Pemerintah! Tengoklah jurusan tertentu hanya dapat dimasuki orang-orang kaya! Tengoklah langkahnya anak-anak orang miskin jadi dokter! Mendaftar ke fakultas itu saja mereka tak berani! Padahal kecerdasan mereka siap diadu! Ilmu hendaknya hanya tunduk pada kecerdasan, bukan pada kekayaan!”.

Singkat cerita, sekawan ini berhasil merampok uang sebanyak 18 milyar. Bank yang semula menjadi target mereka, justru tidak dirampok padahal sekawan ini sudah berhasil menguasainya. Dan di sinilah kecerdasan penulis novel dalam menggambarkan sekawan ini yang malah batal merampok bank dan justru merampok di toko milik Trio Bastarian.

Dalang dari semuanya itu adalah Debut Awaluddin yang rupanya dengan sangat cerdas merancang semuanya. Trio Bastarian yang selama ini melakukan pencucian uang korupsi ternyata menjadi target utama Debut yang tidak diceritakannya kepada Sembilan kawannya.

Jika mereka sebelum-sebelumnya dikenal sebagai orang-orang gagal, tapi kali ini mereka bisa berbangga diri karena baik polisi maupun Trio Bastarian dan anak buah mereka tidak berhasil memecahkan dalang dan pencuri mereka. Uang 18 milyar ambyar seketika.

Mungkin Andrea Hirata terlalu cepat mengakhiri novelnya ini karena ada beberapa kejanggalan yang ditampilkannya. Tapi, apapun itu bagi saya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan orang-orang biasa yang mempunyai kemampuan yang luar biasa.

Untuk versi lengkapnya silahkan dibaca aja novelnya…


Kualitas Kepala Sekolah dan Guru Menentukan Kualitas Pendidikan




Meskipun terdapat banyak faktor, berbagai studi yang dilakukan satu dekade terakhir menunjukkan kepemimpinan di level sekolah menjadi salah satu faktor yang paling signifikan dalam mempengaruhi kualitas siswa. Kepemimpinan seorang kepala sekolah maupun para guru menjadi salah satu sumber untuk meningkatkan kualitas peserta didik.

Tim peneliti dari Stanford University, Amerika Serikat, melakukan observasi 1.800 sekolah di tujuh negara termasuk Brasil dan India. Mereka menemukan bahwa perbedaan antara sekolah dengan performa tinggi dan rendah hampir 50%-nya ditentukan oleh kualitas dan kebijakan kepala sekolah. Kebijakan kepala sekolah sebagai seorang nahkoda di sekolah akan berdampak pada peningkatan kualitas siswa dan para guru. Sayangnya, di Indonesia hingga kini peran kepala sekolah masih dianggap sekadar pekerjaan administratif dan kebanyakan tidak terlibat dalam upaya perbaikan kualitas pengajaran.

Dalam media Suara Pembaruan edisi Januari 11, 2020 menjelaskan bahwa Daniel Suryadarma, anggota tim penelitian SMERU mengobservasi 20 sekolah dasar dan 5 madrasah di Karawang. Mereka pun mendapati hanya terdapat persentase kecil pimpinan sekolah yang memiliki semangat membenahi pembelajaran siswa. Hal ini tentu saja mengejutkan semua pihak yang menaruh minat pada dunia pendidikan.

Hasilnya adalah 60% lebih dari 25 kepala sekolah menyatakan target mereka adalah memastikan siswa kelas 6 memiliki nilai ujian yang baik. Hanya 20% yang bertujuan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar di sekolah mereka. Ini salah satu gap [celah] yang sangat kontras. Bagaimana mungkin seorang kepala sekolah hanya memikirkan nilai ujian nasional yang bisa dimanipulasi dibandingkan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar di sekolahnya.

Sangat sedikit dari kepala sekolah tersebut - hanya 26% - yang berinisiatif mengamati proses belajar di dalam kelas, setidaknya sekali dalam satu bulan. Ironisnya, tim SMERU juga menemukan bahwa mayoritas kepala sekolah sudah merasa puas dengan kinerja guru-guru yang tergolong buruk – 2,5 dari 8,0 berdasarkan instrumen SMERU.

Apa yang mau disampaikan dari data-data di atas adalah kualitas pribadi seorang pemimpin akan turut mempengaruhi kualitas organisasi yang dipimpinnya. Kepala sekolah-kepala sekolah yang menjadi sampel penelitian SMERU bisa menjadi gambaran umum kepala sekolah di negara kita. Memang masih banyak kepala sekolah yang berintegritas dan berkualitas, tapi jumlahnya tidak sebanding dengan kepala sekolah yang punya kemampuan suam-suam kuku.


Jika kualitas sebagian besar kepala sekolah di Indonesia seperti yang ditampilkan oleh tim SMERU, pertanyaan sederhananya adalah pendidikan kita mau dibawa kemana? Kalau ingin kualitas pendidikan kita meningkat, tidak salah jika semuanya dimulai dari memperbaiki kualitas perangkat pendidik di sekolah. Marwah seorang kepala sekolah sebagai pemimpin yang visioner dan memajukan kualitas Pendidikan di sekolahnya adalah kriteria untuk menjadi seorang kepala sekolah.

Pelajaran dari luar negeri: harus cakap memimpin guru
Sameer Sampat, seorang peneliti sekaligus pendiri organisasi pendidikan Global School Leaders (GSL) menceritakan beberapa inisiatif yang dilakukan organisasinya di negara lain dalam memperbaiki kualitas kepala sekolah. Di India misalnya, organisasinya menjalankan Institut Kepemimpinan Sekolah India (ISLI) yang telah melatih 600 kepala sekolah di lima kota sejak 2012.

Organisasinya juga menginisiasi program serupa di Kenya dan mendampingi lebih dari 70 kepala sekolah mulai tahun 2019. Mereka menemukan beberapa karakter kunci yang harus dimiliki kepala sekolah yang baik, yang benar-benar bisa meningkatkan performa siswa.

Pertama, fokus pada inisiatif yang meningkatkan proses pembelajaran. Kedua, mereka harus benar-benar cakap dalam memimpin dan mengarahkan guru lain. Hasilnya bisa dilihat dalam perkembangan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah dampingan mereka di India, seperti kenaikan persentase siswa - dari 19% menjadi 29% - yang memiliki capaian matematika dan sains di atas rata-rata, setelah intervensi ini dilakukan.

Untuk bisa menghasilkan komunitas belajar yang bagus di level sekolah, sekolah itu sendiri justru yang harus jadi komunitas belajar. Pimpinannya belajar, gurunya belajar, siswanya belajar, semua belajar. Prinsip yang mereka tanamkan adalah sama-sama belajar dan belajar bersama. Hasilnya pun dapat dilihat dari meningkatnya kemampuan siswa di bidang matematika dan sains.

Perlunya Peningkatan Kualitas Guru
Setelah pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi kembali di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), maka anggaran pendidikan yang semulanya Rp 35,7 triliun menjadi Rp 74 triliun. Hal ini karena adanya penambahan dari anggaran pendidikan tinggi senilai Rp 39 triliun. Jumlah yang fantastis dan berguna jika dikelolah dengan baik.


Direktur Eksekutif Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS), Indra Charismiadji mengatakan, dengan mengelola anggaran pendidikan yang jumlahnya semakin meningkat, Kemdikbud harus segera merampungkan blue print atau cetak biru pendidikan, sehingga anggaran triliun rupiah dapat memberi dampak yang positif.

“Mengelola anggaran ini butuh adanya blue print, tujuannya untuk menghindari uang triliun rupiah melayang tanpa ada hasilnya, karena terlihat 20 tahun anggaran pendidikan terus meningkat tetapi kemampuan anak-anak Indonesia stagnan,” kata Indra kepada Beritasatu.com, (11/1/2020).

Tentu pada akhirnya kita semua berharap Kemdikbud fokus pada masalah dasar pendidikan yakni mutu guru. Alokasi anggaran harus berpihak pada pelatihan guru mulai dari revitalisasi lembaga pendidikan tenaga kependidikan hingga pelatihan guru yang berkelanjutan. Pelatihan guru yang berkelanjutan selalu dengan harapan kualitas yang mereka miliki akan semakin meningkat. Dengan demikian, kualitas pendidikan yang diharapkan dapat terwujud dan kita tidak lagi tertinggal dari negara-negara maju lainnya.

Masalah pendidikan selalu berkaitan dengan mutu. Jadi fokus Kemdikbud adalah membenahi pelatihan guru agar benar-benar mampuni dan terukur. Kalau ingin membangun sumber daya manusia yang unggul maka pendidikan juga harus unggul. Peningkatan sumber daya manusia selalu berbanding lurus dengan kualitas pendidikan.




Manusia Indonesia yang Terjajah dalam Novel Bumi Manusia (2)


Suatu kekeliruan jika menilai Indonesia sebagai bangsa tidak jelaskan dalam novel Bumi Manusia. Novel Bumi Manusia merupakan bagian dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, selain novel Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Novel-novel ini adalah akuarium yang menggambarkan pergulatan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk membangun menjadi sebuah bangsa.

Kata “Indonesia” memang tidak ada dalam novel ini. Semua itu karena kehebatan seorang Pramoedya sebagai penulis. Secara sadar dia menunjukkan bahwa Indonesia sebagai bangsa bukan hadir karena proses alamiah. Entitas bangsa itu dibentuk untuk mencapai proses revolusi sosial melalui berbagai perjuangan dan tetesan darah. Sebuah proses pembentukan struktur sosial yang benar-benar baru dan pada akhirnya diberi nama “Indonesia”.

Pramoedya dengan begitu cerdas menunjukkan jejak langkah awal lahirnya embrio Indonesia sebagai bangsa. Dengan latar waktu awal abad ke 20, novel tersebut menampilkan proses awal terbentuknya kesadaran baru dalam melakukan perlawanan. Perlawanan yang ditampilkan dalam novel ini pun tidak lagi menonjolkan perlawanan secara fisik. Menentang orang-orang Eropa di pengadilan oleh seorang Nyai dan perlawanan Minke melalui media masa adalah model perlawanan jenis baru.


Tentu saja semua itu karena latar belakang Nyai Ontosoroh dan Minke yang telah banyak belajar dari budaya dan pendidikan Eropa. Nyai Ontosoroh yang begitu dicintai Herman Mellema mengajarnya membaca, menulis, berbicara Bahasa Belanda dan mengelolah perusahan. Nyai Ontosoroh merepresentasikan perempuan era baru dalam dekapan budaya patriarki Jawa yang meminggirkan perempuan.


Dia mengajarkan ide-ide dan nilai-nilai pencerahan Eropa kepada minke, yang sebagian telah ia pelajari sendiri, namun juga menunjukan kemunafikan Eropa dalam mengurusi koloni-koloninya (hal. 157). Di sinilah bisa kita lihat peran nyai Ontosoroh dalam membagikan keberaniannya kepada Minke. Jika Nyai Ontosoroh berani melawan pengadilan Belanda, maka Minke sebagai ningrat Jawa melawan budayanya sendiri.

Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barang kali buta huruf pula! God, God! Menghadap bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus kulakukan untuk orang lain? Sambar gledek!”.

Minke menolak tata cara menyembah, merangkak, merendahkan diri, dan tidak boleh mengkritik dalam adat Jawa. “Orang Jawa sujud berbakti kepada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang harus berani mengalah, Gus” ungkap Ibu Minke. “Yang berani mengalah terinjak-injak, Bunda” jawabnya.


Pernyataan di atas tentu telah melukai hati ibunya yang dibesarkan dalam budaya Jawa. Mungkin seumur hidupnya belum pernah ada orang yang berani mengatakan demikian. Dan dari sini, kita melihat keberanian Minke yang ingin adanya kesetaraan harkat dan martabat setiap manusia. Perlawanannya terhadap budayanya sendiri adalah perlawannya yang lebih kecil sebelum dia melawan bangsa kolonial yang lebih besar.

Perubahan Pola Pikir Minke
Perjumpaan dengan Nyai Ontosoroh turut mempengaruhi cara berpikir dan kehidupan Minke di kemudian hari. Nyai Ontosoroh adalah sosok Nyai yang memang benar-benar berusaha untuk bangkit. Dia sebagai sosok individu bukan dalam menyandang status sebagai pribumi namun manusia seutuhnya. Pergolakan yang terjadi di antara pihak kolonial dan pribumi merupakan bukti nyata perjuangan yang berbeda antara melawan dengan fisik dan pemikiran.

Nyai Ontosoroh dalam novel ini merepresentasikan wanita modern yang berani berpikir sendiri tanpa bergantung pada laki-laki. Kemampuannya bahkan melampaui wanita pribumi pada masa itu dan juga wanita-wanita Eropa yang ada di Pulau Jawa. Keunggulannya itulah yang membuat Minke selalu terkagum-kagum. Bagaimana mungkin seorang wanita pribumi dan bergelar nyai, menjadi pemimpin sebuah perusahan di zaman itu.  


Dalam Novel ini oleh penulis novel mengajak untuk melihat dan memahami kembali arti sebuah perjuangan dan cara memperjuangkan hak sebagai seorang manusia tanpa melihat status sosial dan kehidupan penjajahan. Bangkit menjadi manusia bebas diawali dari diri sendiri untuk berani lebih menyuarakan yang ada dalam pemikiran. “Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan Itulah memang arti terpelajar itu.”

Maka malam itu aku sulit dapat tidur. Pikiranku bekerja keras memahami wanita luar biasa ini. Orang luar sebagian memandangnya dengan mata sebelah karena ia hanya seorang nyai, seorang gundik. Atau orang menghormati hanya karena kekayaannya. Aku melihatnya dari segi lain: dari segala apa yang ia mampu kerjakan, dan segala apa yang ia bicarakan,” kekaguman Minke pada perempuan yang mengaku tidak pernah bersekolah itu (hal. 105).

Perjumpaan dengan nyai Ontosoroh kiranya menjadi titik balik perubahan pola pikir seorang Minke. Jika sebelumnya selalu mengagungkan Eropa, kali ini Minke ditantang untuk mencintai bangsanya sendiri. Perlawanan yang disampaikan dalam koran melalui buah penanya dalam Bahasa Melayu menjadi bukti nyata akan hal itu. Nyai Ontosoroh adalah wonder women. Kehadirannya melampaui wanita zaman itu.



Perlawannya bersama Minke adalah bukti bahwa siapa pun bisa melawan penjajah tanpa harus menggunakan otot. Perempuan pun bisa melawan dan menjadi pemimpin yang pada zaman itu mungkin masih tabu. Semuanya karena budaya patriarkat yang kuat. Tetapi, novel ini ingin menjungkirbalikan fakta-fakta itu. Siapa pun bisa menjadi pemimpin dan melakukan perlawanan.

Manusia Indonesia yang Terjajah dalam Novel Bumi Manusia (1)



Judul               : Bumi Manusia
Penulis             : Pramoedya Ananta Toer
Halaman          : 535
Penerbit           : Lentera Dipantara
Cetakan           : ke-17, Januari 2011

Apa alasan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, masih tetap dibaca dan dibicarakan hingga saat ini? Mungkin secara politis, novel ini ditulis pada masa pembuangannya di Pulau Buru. Novel ini, menurut penulisnya dituturkan secara lisan pada tahun 1973, kemudian ditulis secara sistematis sebagai cerita yang utuh dalam bentuk novel pada tahun 1975.
Bumi Manusia merupakan novel pertama dari tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya selain Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Tetralogi itu menjadi pusat perbincangan, mungkin karena dilarang oleh rezim Orde Baru semenjak tahun 1981. Anehnya ketika novel ini dilarang beredar di masyarakat luas, justru karyanya meraih sukses besar dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Novel ini secara garis besar mengisahkan kisah cinta yang tragis antara Minke dengan Annelies Mellema. Tetapi kisah cinta mereka tidak sekadar menuturkan kisah asmara yang menonjolkan romantisme belaka ala anak remaja zaman sekarang. Kisah cinta mereka diselimuti berbagai latar belakang saat itu seperti politik kolonial yang represif dan diskriminatif, penjajahan, dan masih banyak lainnya.
Karakteristik penulis novel dalam mendeskripsikan situasi psikologis dan sosiologis tokoh-tokohnya sangat memikat. Dengan sudut pandang orang pertama (aku), Pramoedya memperkenalkan tokoh utama, seperti ini: “Orang memanggil aku: Minke” (hlm. 1). Nama Minke diberikan padanya ketika bersekolah di ELS. Saat itu, ada seorang gadis bernama Vera yang mencubit pahanya sebagai tanda perkenalan. Karena tidak mampu menahan rasa sakit, Minke pun menjerit kesakitan. Gurunya, Meneer Ben Rooseboom membentak dan melotot: “Diam kau, monk …. Minke!” (hlm. 33). Saat itu, Minke merupakan satu-satunya murid pribumi, sedangkan guru dan teman-temannya adalah keturunan Eropa totok. Panggilan Minke juga sebenarnya menunjukkan derajad pribumi yang rendah di mata orang Eropa.
Sejak dalam bangku sekolah Minke sudah merasakan diskriminasi rasial parah. Panggilan Minke untuknya sudah menggambarkan hal itu. Kisah perjumpaan dengan Annalies menjadi titik balik hidupnya. Annelies seorang Indo hasil perkawinan antara Nyai Ontosoroh dengan Herman Mellema. Yang digambarkan dalam novel itu bak bidadari dari khayangan yang turun dan mencari pangeran di bumi. Tidak hanya jatuh cinta, Minke pun berkeinginan untuk memperistri Annalies. Keinginannya untuk memperistri Annelies pun terwujud setelah Minke menyelesaikan sekolah HBS-nya.
Dari runtutan cerita yang ditampilkan Pramoedya, Annalies dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Ayahnya, Herman Mellema, mempunyai tekanan jiwa yang akhirnya secara tragis meninggal di rumah pelacuran Babah Ah Tjong. Sementara kakak sulungnya, Robert Mellema, lebih memilih bersikap hedonisitik dengan mengumbar hobi berburunya. Pada akhirnya, Robert Mellema juga kabur tanpa diketahui secara pasti jejaknya.
Meninggalnya Herman Mellema ayah Annalies tidak berarti masalah selesai begitu saja. Justru mulai dari momentum itulah berbagai permasalahan yang berat selalu menimpa Nyai Ontosoroh. Dan bersama Minke, Nyai Ontosoroh berani melawan pengadilan kulit putih yang pada masa itu mustahil dilakukan oleh wanita pribumi.

Keberanian Nyai Ontosoroh dalam melawan pengadilan kulit putih secara garis besar oleh Pramoedya. Meskipun saat itu sistem pengadilan Eropa tidak memberikan kesempatan orang pribumi untuk membela diri. Annalies yang saat itu sudah menikah pun dipaksa untuk dibawa ke Belanda dan diasuh Maurits Mellema. Karena saat itu usianya masih remaja dan menurut hukum Eropa dia mesti hidup dibawah asuhan.
Ada beberapa fakta dari seorang Nyai Ontosoroh dari novel ini:
Pertama, Nyai Ontosoroh tetaplah figur perempuan pribumi yang tidak mempunyai hak milik apapun terhadap perusahaan dan peternakannya yang dikelola dengan sekuat kemampuan dan tenaganya hingga menjadi sedemikian besar.  Hal ini lantaran kedudukannya “hanya seorang nyai dan bukan istri sah”.
Kedua, Nyai Ontosoroh tidak mempunyai hak perwalian terhadap Annelies, putri yang merupakan darah dagingnya sendiri. Hal ini disebabkan Herman Mellema masih mempunyai istri yang sah di negeri Belanda. Dengan istrinya ini, Herman Mellema mempunyai putra yang bernama Maurits Mellema. Kehidupan suami-istri Herman-Amelia juga tidak harmonis, namun Herman dianggap menggantung nasib istrinya dengan cara tidak menceraikannya.
Secara hukum yang diterapkan oleh pengadilan Putih di Hindia Belanda, posisi serta kekuatan Nyai Ontosoroh sebagai pribumi jelas-jelas dikalahkan. Hal lain yang membuat kedudukuan pribumi semakin terpojok adalah keputusan Pengadilan Amsterdam yang menyerahkan seluruh harta-benda peninggalan mendiang Herman Mellema kepada Maurits Mellema yang tidak pernah mengeluarkan keringat dalam mengembangkan usaha itu.
Novel Bumi Manusia bukan sekadar novel yang menuturkan kisah-kasih tak sampai antara Minke-Annelies, pribumi-Indo Belanda. Justru yang harus diperhatikan secara lebih detail adalah konteks historis yang melingkupi berbagai peristiwa tragis itu. Novel-novel karya Pramoedya tidak hanya hasil imajinasi yang bersifat fiktif belaka. Selalu ada sesuatu yang dikisahkan dalam bentuk sastra.
Memang, karya sastra bukanlah sebuah historiografi yang hendak mengklaim fakta-fakta dan kebenaran suatu sejarah dalam periode waktu tertentu. Tetapi, dalam menulis novel ini, Pramoedya memperlihatkan keunggulannya dalam melakukan studi historis, sosiologis, bahkan antropologis.
Hal ini terbukti dari beberapa kesimpulan yang dapat diambil, seperti:
Pertama, kurun waktu terjadinya rentetan peristiwa dalam novel ini adalah akhir abad ke-19. Pada masa ini, di Eropa sedang mabuk abad Pencerahan (Aufklärung) yang sudah dimulai senjak abad ke-18. Ciri khusus zaman itu adalah berkembangnya ilmu pengetahuan secara meluas, semangat revisi atas kepercayaan-kepercayaan tradisional, memisahkan pengaruh-pengaruh keagamaan dari pemerintahan, dan penaklukan tanah jajahan.
Kedua, deskripsi sosiologis kehidupan Nyai yang menjadi gundik orang Belanda. Sebenarnya, tidaklah tepat jika praktik ini dipandang sebatas relasi seksual antara pria Eropa dengan perempuan pribumi. Jelas, secara harkat kemanusiaan, praktik tersebut sangat menyakitkan karena menempatkan perempuan pribumi hanya sebagai objek seks.
Namun, di sisi lain kalangan Nyai ternyata memiliki pengetahuan dan kemampun teknis yang jauh lebih baik. Ada transfer pengetahuan di sana. Dalam novel in Nyai Ontosoroh menunjukkan ketrampilannya dalam membaca, menulis, berbahasa Belanda, mengelola perusahaan bahkan sampai pada keberaniannya melakukan perlawanan secara beradab kepada bangsa Belanda (hlm. 405).
Ketiga, beberapa aspek lain yang secara agak luas disinggung Pramoedya dalam novelnya adalah perkembangan pers yang di satu sisi mencoba memberikan keberpihakan kepada kalangan tertindas. Tetapi, di sisi lain juga digunakan sebagai ajang bisnis dengan memuat berita-berita sensasional, terutama kasus-kasus Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh.
Sebagai hal terakhir yang dapat dikomentari dari novel ini adalah Apakah sebenarnya makna Bumi Manusia? Tampaknya yang dapat menjawab itu adalah Minke sebagai tokoh utamanya. Karena “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Semua itu dia tunjukkan baik ketika sedang bersekolah, setelah menikah bahkan ketika harus berhadapan dengan pengadilan kulit putih.

Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (2)



Novel Cantik itu luka karya Eka Kurniawan telah menampilkan secara binal sejarah Indonesia yang selama ini sering ditutupi. Halimunda, kota di selatan pulau Jawa yang konon menjadi pintu selatan pelarian ke Australia menduduki posisi sentral. Di sanalah Dewi Ayu salah satu tokoh utama dalam novel ini lahir dan dibesarkan. Di sini pula dia dibesarkan menjadi seorang ibu sekaligus pelacur yang sohor.
Di Halimunda pula tiga tokoh yang mewakili tiga kelompok besar dalam sejarah bangsa ini. Shodanco mewakili Militer, Kamerad Kliwon mewakili partai komunis dan Maman Gendeng mewakili kelompok preman liar.  Meskipun ketiganya adalah beristrikan anak-anak Dewi Ayu, ternyata latar belakang masing-masing tidak mampu menyatukan mereka untuk menjadi saudara yang saling melindungi. Bahkan mereka akhirnya harus meninggal secara mengenaskan.

Sketsa Manusia Indonesia
Sketsa manusia Indonesia masih dihantui bayang-bayang masa lalu sejarah bangsa yang belum tuntas-jelas terartikulasikan. Dari kisah Kamerad Kliwon tampak suatu puzzle sejarah bangsa di sekitar tahun 1965. Puzzle itu antara lain keberlanjutan kisah tragis generasi demi generasi korban ‘65 akibat kesimpangsiuran narasi tentang fakta peristiwa 1965.
Nasib Kamerad Kliwon dalam novel ini merepresentasikan para korban ‘65. Dikejar bagai binatang buas, tidak mendapatkan fasilitas umum dan bahkan akhirnya dibuang ke pulau Buru. Pemaparan tentang Kamerad Kliwon yang begitu lugas menunjukkan situasi korban manusia Indonesia pada masa itu tidak menentu. Semua yang pernah terhubung dengan partai komunis dijadikan anak haram oleh negara ini.
Rekam sejarah lain yang dapat ditemukan dalam novel ini adalah perseteruan antara Shudanco dan Kamerad Kliwon hingga berujung kepada Maman Gendeng. Masing-masing tiga pria tersebut mewakili perbedaan zaman namun menyambung ibarat benang merah yang tidak dapat terputuskan.
Karena saat ini kita sedang membicarakan mengenai konstruksi sejarah dalam Cantik itu Luka maka semua dimulai dengan berkembangnya kelompok golongan kiri yang kala itu dikenal dengan sebutan Komunisme - para simpatisan Marxis yang setia hingga akhir hayat.

Baca Juga: Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (1)

Adalah Kamerad Kliwon yang merupakan simbol dari Kekuasaan Komunis di wilayah Halimunda yang berseteru dengan Sang Shodanco, perwakilan dari lambang kekuatan tentara poros kanan atau veteran pejuang yang haus pengakuan. Bahkan bisa dibilang Shodanco haus akan kekayaan dan rela mengorbankan masyarakat lemah.
Dikisahkan dalam Cantik itu Luka, Komunisme muncul sejak masa perang dan kependudukan Belanda namun akhirnya kembali ke panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945. Di sela-sela pertumbuhannya terdapat pergerakan buruh nelayan yang merasa bahwa para penguasa di Halimunda (dalam hal ini Shodanco) sangat rakus dengan menggunakan kapal-kapal besar untuk mengeruk hasil kekayaan laut sehingga para nelayan hidup penuh kekurangan.
Di sinilah peran Kamerad Kliwon dalam membangun perspektif mengenai komunisme yang serba adil dan sama rata. Lambat-laun banyak masyarakat, terutama buruh yang mengikuti jalan sang Kamerad menjadi seorang komunis. Terjadilah perselisihan antara dua menantu Dewi Ayu, yaitu Shodanco dan Kamerad Kliwon. Puncaknya adalah pembantaian masal anggota partai komunis di Halimunda. Hal itu, dilukiskan Eka Kurniawan bahwa:
Semua laporan tampaknya begitu simpang-siur, dan satu-satunya informasi yang bisa didapat hanyalah radio yang sama sekali tak bisa dipercaya, sebab sejak pagi mereka melaporkan hal yang sama seolah itu telah direkam dan kasetnya diputar berulang-ulang: Telah terjadi kudeta yang gagal dari Partai Komunis karena tentara segera menyelamatkan negara dan mengambil-alih-kekuasaan untuk sementara. Laporan baru datang: Presiden berada dalam tahanan rumah. Semuanya serba membingungkan“. (hal.302)
Terkenallah kemudian peristiwa berdarah Gerakan 30 September, sebagai ‘kudeta komunis’, membunuh jenderal golongan kanan TNI dan mayatnya dibuang di lubang buaya. Sampai saat ini spekulasi kebenaran mengenai keterlibatan partai komunis dalam pembunuhan para jenderal belum menemukan titik terang.

Langkah selanjutnya adalah pembantaian massal terhadap anggota partai komunis di seluruh Indonesia. Tidak hanya sang komunis yang dieksekusi bahkan para keluarga, kerabat atau temannya sekalian ikut dieksekusi karena dituduh sebagai simpatisan dan pendukung komunis.
Melalui Cantik itu Luka, sketsa pembunuhan para anggota komunis di Halimunda disajikan secara lantang, tegas dan frontal. Semua itu dimulai dari secara mendadak dengan tidak datangnya koran pada pagi hari di halaman rumah partai PKI Halimunda. Kamerad Kliwon tetap menunggu walau kabar burung mengatakan para dewan utama Partai Komunis telah ditangkap dan ditahan karena dituduh melakukan kudeta.
Mereka dibunuh, baik oleh tentara reguler dan terutama oleh orang-orang anti-komunis yang bersenjata golok dan pedang dan arit dan apapun yang bisa membunuh, di tepi jalan dan membiarkan mayat mereka di sana sampai membusuk. Kota Halimunda seketika dipenuhi mayat-mayat seperti itu, tergeletak di selokan dan kebanyakan di pinggiran kota, di kaki bukit dan di tepi sungai, di tengah jembatan dan di semak belukar. Mereka kebanyakan terbunuh ketika mencoba melarikan diri setelah menyadari Partai Komunis hanya meninggalkan sisa-sisa reputasinya yang telah usang. (Hal. 312-313)
Namun Eka nyatanya memiliki sense of humor yang satir, dengan menampilkan wujud propagandanya (pasca pembantaian) sebagai hantu-hantu komunis yang kembali bangkit dan menghantui para tentara dan seluruh warga di pelosok Halimunda.
Serangan hantu-hantu orang komunis, paling dahsyat dirasakan oleh Sang Shodancho. Selama bertahun-tahun sejak peristiwa pembantaian tersebut, ia menderia insomnia yang parah, dan kalau-pun tidur ia menderita tidur berjalan [...] semua orang di kota itu merasakan hantu-hantu tersebut, mengenali dan takut oleh mereka“ (hal.354)
Kisah lantas segera bergulir menuju perseteruan antara polisi dengan para preman yang menimbulkan kekerasan dan keresahan di Halimunda. Maman Gendeng sebagai pemimpin para kelompok preman merupakan kelompok ikonik Gabungan Anak Liar yang dimasa kejayaannya harus dihentikan dengan penembakan misterius (petrus). Kasus ini ramai terjadi pada tahun 1980-an karena meresahkan masyarakat.

Baca Juga: Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat

Pada zaman petrus dalam sehari, di berbagai kota hampir dipastikan ada  saja mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukkan dalam karung yang diletakkan begitu saja di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai dan kebun. Mereka adalah korban petrus entah karena tergabung dalam kelompok yang dicurigakan atau melawan pemerintah. Mayat-mayat para korban petrus selalu identik dengan tato di dada dan kepala berlubang ditembus peluru.
Operasi itu dilakukan pada malam hari, untuk tidak menimbulkan kepanikan massal, penduduk kota. Para prajurit menyebar dalam pakaian sipil bersenjata, juga para penembak gelap, menuju kantong-kantong para begundal […] Pembantaian berlangsung di malam kedua, dan malam ketiga, serta malam keempat, kelima, dan keenam serta ketujuh. Operasi itu berlangsung sangat cepat, nyaris menghabiskan seluruh persediaan begundal di Halimunda“ (hal. 445-446)

Tragedi Keluarga
Pokok yang ingin disampaikan dari narasi tentang Kamerad Kliwon adalah ketidakadilan dan kehidupan tragis menyedihkan yang dialami oleh para mantan penganut Komunisme. Pasca selamat dari pembunuhan para anggota PKI, Kamerad Kliwon harus menjalani sisa hidupnya sebagai pemuda yang amat menyedihkan. Di tengah pengawasan yang ketat dari militer, ia memilih menjadi penjual kolor dan bertransformasi menjadi borjuis kecil di wilayah tersebut.
Suatu hari, kios-kios yang menjajakan kolornya digusur pemerintah demi program pembangunan. Kejadian tersebut membangunkan jiwa kirinya dan ia berencana kembali melakukan pemberontakan. Malangnya, ia justru kembali digebuk dan ditangkap sebagai sisa-sisa hantu komunis. Ia pun mesti diasingkan ke Pulau Buru. Beberapa tahun setelah penyiksaan yang panjang, Kamerad Kliwon dikembalikan ke Halimunda sebagai lelaki yang hidup segan mati tak mau. Hingga pada akhirnya dia memilih untuk bunuh diri.


Sketsa Manusia Indonesia dalam Novel Cantik Itu Luka (1)




Judul                           : Cantik itu Luka
(English Version)        : ‘Beauty is A Wound’
Pengarang                   : Eka Kurniawan
Tebal Halaman            : 479
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Kesepuluh, Juni 2016
Diterbitkan pertama kali oleh AKYPress dan Penerbit Jendela, Desember 2002

Novel dibuka dengan kisah magis kebangkitan sang tokoh sentral, Dewi Ayu. “Ketika pada suatu sore di akhir pekan bulan maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematiannya”. Dewi Ayu adalah perempuan keturunan Indo-Belanda. Bergidik ngeri namun menimbulkan sejumlah deretan pertanyaan terutama mengenai waktu latar belakang kejadian yang sengaja tidak disajikan oleh sang penulis.
Lambat laun, pelan dan pasti sesuai dengan sinopsisnya terceritakanlah mengenai bagaimana kematian sosok Dewi Ayu, seorang pelacur yang terkenal akan kecantikannya di seluruh pelosok Halimunda. Dia mati setelah beberapa hari melahirkan anak keempatnya yang tidak diketahui siapa gerangan ayahnya.
Anak tersebut lahir begitu buruk rupanya tidak seperti dengan ketiga kakaknya yang semuanya cantik. Itulah yang terjadi, meskipun secara cukup ironis ia memberikan nama Si Cantik kepada anak yang baru dilahirkannya. Tampang dan bentuk tubuh yang buruk ternyata tidak menjadi soal bagi seorang Ayu Dewi memberikan nama Si Cantik kepada putri bungsunya yang buruk rupa.
Hingga suatu masa dia hidup kembali, bertemulah Dewi Ayu dengan Si Cantik yang kini telah menjadi perempuan dewasa dengan sosok sesuai dengan doa-doanya: Anak bayi yang hidungnya menyerupai colokan listrik, telinganya sebagai telinga panci, mulutnya bagaikan mulut celengan dan rambutnya menyerupai sapu dengan kulit serupa komodo dan kaki serupa kura-kura. Maka, berbanggalah dia atas itu semua.
Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti anjing di musim kawin.” - Dewi Ayu. (hal. 4)
Kenyataannya mau cantik atau tidak, kutukan tersebut selalu mengitari kehidupan Dewi Ayu. Ketika Si Cantik ternyata hamil secara misterius tanpa gerangan mengetahui ayahnya - sama seperti yang terjadi dengan ibunya sendiri sepanjang hayat.
Maka, ketimbang melanjutkan perjalanan hidup Si Cantik, Eka selaku penulis memundurkan waktu pada masa sebelum Dewi Ayu menjadi sesosok pelacur.  Semua itu berawal ketika Dewi Ayu hanyalah sosok gadis Belanda yang jatuh cinta pada seorang pria tua bernama Ma Gedik yang belum pernah ditemuinya.


Dewi Ayu pun memaksa Ma Gedik kawin dengannya akibat terobsesi dengan kisah cinta pria itu dengan Ma Iyang, yang menghilang ditelan kabut ketika lari bersama Ma Gedik ke atas bukit demi cinta mereka berdua. Walaupun akhirnya, di hari selepas pernikahan mereka, Ma Gedik memutuskan kabur menjerit-jerit bagai dikejar setan dan terjun dari puncak bukit, terhempas ke bebatuan dan wajah-nya babak belur seperti daging cincang.

Awal Mula Menjadi Pelacur
Setelah itu cerita berjalan bagaikan mozaik yang terkonstruksi dengan dinamis. Pelan-pelan para pembaca akan dibawa kembali kepada masa kekuasaan Jepang di tanah ibu pertiwi.
Dalam situasi pendudukan Jepang, Dewi Ayu tetap memilih bertahan di Halimunda, walau semua anggota keluarganya kembali pulang ke negeri Belanda. Ia mengambil resiko untuk ditundukkan dalam pendudukan Jepang. Ternyata tentara Jepang tahu juga bahwa meskipun memiliki nama lokal, Dewi Ayu adalah orang Belanda.
Sebagaimana nasib orang Belanda lainnya pada waktu itu, Dewi Ayu ditangkap dan ditahan di suatu tahanan yang digambarkan sangat tidak manusiawi: gelap, becek, persediaan makanan yang mini, ancaman malaria. Bahkan dikisahkan ia mesti merebus darah kutu sapi sebagai makanan di tahanan agar bisa bertahan hidup.
Dalam rasa frustrasi di penjara itu, nasib baru menjemput Dewi Ayu dan beberapa perempuan lain. Setelah lolos serangkaian seleksi, Dewi Ayu dan beberapa perempuan cantik lain diam-diam dijadikan pelacur untuk memenuhi kebutuhan birahi para tentara Jepang yang tak tertahankan dalam situasi perang. Penderitaan jenis lain lantas menimpa perempuan-perempuan cantik ini.
Gedung yang indah dan disediakan perawatan layaknya perempuan istana, tidak bisa mengkompensasi begitu saja luka yang mendalam akibat perkosaan tentara-tentara Jepang yang dilakukan setiap malam.
Banyak perempuan yang tidak tahan sampai mencoba bunuh diri. Tapi lain halnya dengan Dewi Ayu. Diam-diam Dewi Ayu bisa beradaptasi dengan dunia prostitusi ini sebagai jalan bertahan hidup. Bahkan ia pun menerima kehamilannya oleh salah seorang petinggi tentara Jepang. Dengan sabar ia merawat janinnya hingga terlahir seorang anak cantik, bernama Alamanda.
Masa pendudukan Jepang lewat. Dewi Ayu tetap menjadi pelacur. Awalnya pilihan itu merupakan keterpaksaan sebagai satu-satunya jalan membayar hutang kepada Mama Kalong (pengelola tempat pelacuran) untuk mendapatkan lagi rumahnya dulu yang masih amat dia cintai. Tapi ia juga sebenarnya menikmati menjadi pelacur profesional (mematok bayaran paling mahal), bahkan justru kian hari ia menjadi pelacur paling ternama dan disegani di Halimunda.
Selain karena Dewi Ayu teramat cantik, tidak bisa dimungkiri juga ia memang selalu bercinta dengan penuh cinta dengan para pelanggan yang sengaja ia batasi perharinya. Hal ini yang lantas membuatnya menjadi sumber kebahagiaan kota sebab para laki-laki selalu mengalami persetubuhan dengan Dewi Ayu menghadirkan sensasi malam pertama mereka.
Meskipun menjadi pelacur, Dewi Ayu tidak menolak kehamilan. Dari seorang pejuang revolusi ia melahirkan satu orang anak perempuan lagi. Dan dari seorang lain lagi, Dewi Ayu mempunyai anak perempuan juga. Keduanya, Adinda dan Maya Dewi mewarisi kecantikannya yang amat mempesona.
Plot novel lalu digerakkan oleh peristiwa-peristiwa yang katakanlah manjadi konsekuensi kecantikan Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Masing-masing anaknya tersebut memiliki kisah asmara tersendiri yang pada akhirnya berakhir tragis dan mengenaskan.
Melalui kisah asmara yang dibalut orkes sakit hati keempat putri Dewi Ayu ini pembaca akan melihat jalinan plot novel yang berkelindan dengan kompleksitas situasi sosial, politik, ekonomi dan carut marut realitas Halimunda dari waktu ke waktu.

Bangunan Cerita
Tampak bahwa novel ini mendasarkan cerita pada sebuah tragedi keluarga. Ada penggunaan silsilah keluarga sebagai kerangka. Ada kontinuitas yang jelas antar tokoh dalam novel ini. Tokoh-tokoh yang ada terjalin dengan keluarga Dewi Ayu. Tragedi selalu menjadi kata akhir kehidupan para tokoh dalam novel ini. Semua tokoh dibunuh oleh penulisnya dan meninggalkan janda-janda menyedihkan.
Kedua, dalam pengkisahan keluarga Dewi Ayu, tampak tema sakit hati ikut menentukan alur cerita. Hal ini misalnya kuat dalam kisah asmara Kamerad Kliwon sang pujaan dengan Alamanda, sang penakhluk. Relasi-relasi antara tokoh, misalnya Maman Gendeng – Shodanco dan juga Shodanco dengan Kamerad Kliwon sangat kental suasana konflik dan logika sakit hati.

Unsur ketiga yang juga kuat dalam novel ini adalah erupsi-erupsi irasionalitas manusia. Ada banyak penggambaran sisi dalam diri manusia yang kadang terasa irasional. Erupsi-erupsi irasionalitas manusia ini tampak jelas dalam kehidupan seksualitas para tokoh dalam novel.
Unsur yang kental juga dalam novel ini adalah narasi sejarah bangsa Indonesia. Kelindan antara plot novel dan perjalanan sejarah bangsa ini misalnya terlihat dari dinamika tiga laki-laki dalam suatu pertarungan menikahi anak Dewi Ayu. Hasrat birahi dianalogkan dengan gejolak pertarungan kekuatan politik dalam sejarah Indonesia.
Ketiga laki-laki tersebut memiliki latar sosial politik berbeda. Shodanco adalah seorang komandan militer yang pernah melakukan pemberontakan pada masa pendudukuan Jepang dan lalu dipuja sebagai pahlawan kota karena berhasil menumpas babi hutan yang merajalela waktu itu. Kamerad Kliwon seorang pemuda pujaan yang lantas menjadi aktivis partai komunis. Dan Maman Gendeng seorang preman yang paling disegani di Halimunda karena kekuatan bertarungnya. Ketiga tokoh yang berdinamika mendapatkan hati anak-anak Dewi Ayu ini seolah memberi ilustrasi pertarungan kekuatan-kekuatan politik yang pernah tercatat dalam sejarah indonesia.