Menu

STEAM Sebagai Dasar Pendidikan Masa Depan


(Ket: STEAM sebagai model pendidikan masa depan)
Kita mungkin masih asing dengan istilah STEAM (science, technology, engineering, art, and mathematich) yang akhir-akhir ini sering disampaikan oleh mendikbud Nadiem Makarim. STEAM adalah metode pembelajaran berbasis teknologi yang dikolaborasikan dengan sains, matematika, seni dan rekayasa. Pendidikan berbasis STEAM menjadi penting karena mampu menjawab tantangan di masa depan.
Manusia zaman batu belajar dengan melukis di dinding gua menggunakan batu. Manusia era pertanian belajar menulis di atas kertas yang terbuat dari kulit hewan atau daun-daunan seperti papirus. Manusia era manufaktur belajar menggunakan kertas yang terbuat dari kayu. Di situlah segala sesuatu ditulis dan kemudian menjadi arsip yang masih dipakai hingga sekarang.
Bagaimana dengan manusia yang hidup di zaman yang sering disebut era digital? "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka bukan hidup di zamanmu." Demikian nasihat yang disampaikan Ali bin Abi Thalib. Nasihat yang baik dan sangat logis ini mendorong kebutuhan untuk memordenisasi sistem pembelajaran kita. Kita tidak bisa menggunakan sistem dan metode pendidikan zaman manufaktur untuk diterapkan di era digital. Karena itu, sistem pendidikan perlu diubah dan disesuaikan dengan zamannya.

Baca Juga: Membangun Bangsa Dimulai Dengan Membangun Pendidikan

Mulai tahun ajaran baru 2019/2020 ini, anak-anak Indonesia akan dikenalkan dengan mata pelajaran baru dengan nama Informatika. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 35, 36, dan 37 tahun 2018 yang ditandatangani di penghujung tahun 2018 yang lalu oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, Indonesia telah mengikuti langkah progresif negara-negara lain yang telah lebih dahulu menerapkan mata pelajaran ini dalam kurikulum nasionalnya.
Mata pelajaran Informatika yang dikembangkan adalah pelajaran yang berbasis STEAM. Kenapa harus berbasis STEAM? Karena metode tersebut mengajak siswa untuk mengintegrasikan mata pelajaran dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran melibatkan enam keahlian utama bagi siswa di abad ke-21, yaitu, kolaborasi, kreatif, berpikir kritis, berpikir secara komputasional, pemahaman budaya, serta mandiri dalam belajar dan berkarier.
Pembelajaran STEAM adalah langkah selanjutnya dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia nyata dan siap menghadapi persaingan global. Sebab, Science, technology, engineering, art and mathematics adalah mata pelajaran yang saling berkaitan dalam kehidupan keseharian kita. Keempat bidang itu, saling terkait dan tak bisa berdiri sendiri. Namun, selama ini keempatnya dipelajari terpisah-pisah, jadi seolah-olah hanya bisa dipahami secara teori. Padahal, keempatnya penting dikuasai oleh anak didik supaya mereka bisa memecahkan masalah dalam dunia kerja, masyarakat, dan dalam berbagai aspek kehidupan.

Permasalahan Tentang Guru
Rupanya ketika pemerintah memulai mengenalkan Pendidikan berbasis STEAM kepada sekolah-sekolah diutamakan masalah besar yang bisa menjadi hambatan. Menurut pengamat pendidikan dari Center for Education Regulations and Development Analysis, Indra Charismiadji, dari total guru yang ada di Indonesia hanya 2,5 persen yang tidak gagap teknologi. Selebihnya guru-guru masih gagap teknologi.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan jumlah dana yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam meningkatkan kualitas guru. Ditambah lagi dengan masuknya mata pelajaran Teknologi Informasi dalam kurikulum. Tentu saja ini menjadi masalah besar dalam mengembangkan kualitas Pendidikan di Indonesia. Guru yang diharapkan menjadi pionir untuk mengubah wajah buram Pendidikan di negeri ini ternyata menghadapi problem yang tidak mudah.

Baca juga: Akankah Coronavirus Mengubah Pengalaman Belajar Tatap Muka?

"Gemes saya lihat kualitas SDM guru kita. Sudah dikasih pelatihan, tunjangan sertifikasi guru, masih banyak yang gaptek. Ini loh datanya enggak bisa nipu, kelompok yang enggak gaptek itu hanya 2,5 persen. Yang gaptek 97,5 persen loh. Lantas anggaran miliaran hingga triliunan yang sudah dikasi untuk apa kalau gurunya masih gaptek juga," kata Indra yang dalam JPNN (21/10/2019).
Rendahnya penguasaan teknologi ini, karena metode pelatihan yang tidak berpola dan kualitas pelatihnya juga sangat dipertanyakan. Alhasil dana negara hanya terbuang percuma tanpa hasil yang sesuai diharapkan. Pelatihan yang diharapkan akan meningkatkan kualitas guru ternyata tidak dikemas dengan baik karena prinsip yang digunakan adalah asalkan uangnya habis dan ada kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Lain halnya jika gurunya hebat dan memahami perkembangan teknologi. Kalau gurunya hebat, dia dengan mudah bisa mentransfer ilmunya ke siswa. Hasilnya bisa dilihat dari aplikasi yang dihasilkan siswanya. Sebab siswa akan mendapatkan sesuatu dari guru yang mampu mentransfer ilmunya. Di sinilah kompetensi guru perlu diperhatikan.
Namun, untuk berbicara lebih jauh pemahaman guru terkait teknologi sekali lagi kita kembali ke persiapan dan pelatihan yang diadakan oleh pemerintah selama ini apakah sudah tepat atau hanya sekadar menghamburkan uang. Ketika guru hanya disibukan dengan hal-hal teknis di luar kelas untuk mengurus RPP dan banyak lainnya, di sini pemerintah telah mencabut tugas guru yang sesungguhnya untuk mendidik. Syukurlah mas Menteri menyadari masalah itu dan ingin mengembalikan tugas guru yang sesungguhnya. Gebrakan-gebrakan seperti inilah yang harus kita dukung, demi kemajuan Pendidikan.
Sebagaimana dikutip oleh Tempo.com (25/11/2019) Nadiem juga sadar, birokrasi, tugas administratif menumpuk dan beratnya kurikulum, menjadi kendala bagi guru untuk berkreasi. "Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka-angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.” Dari sini saja kita sudah melihat kalau Pendidikan kita selama ini telah berjalan di arah yang salah.

Baca juga: Beberapa Catatan Penting Dunia Pendidikan Indonesia Tahun 2020

“Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan. Anda frustrasi karena Anda tahu betul bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal. Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi. Anda ingin setiap murid terinspirasi, tetapi Anda tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi.”
Semua yang disampaikan oleh Mendikbud telah ada dalam sistem pendidikan berbasis STEAM. Dalam STEAM dan juga model Pendidikan di abad ke-21 mengharuskan siswa untuk bisa berkolaborasi dengan sesama, berpikir kritis, berpikir secara komputasional, dan kreatif. Hal ini berangkat dari gagalnya pendidikan kita selama ini. Pendidikan kita hanya mencetak para budak kerja tetapi gagal menciptakan siswa yang mampu berinovasi, berkolaborasi dan mencipta sesuatu yang baru.

Sumber gambar: amongguru.com


[Resensi Buku] Memahami Pemikiran Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas


(Ket gambar: Sampur buku Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas)

Judul buku : Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas
Penulis       : Dr. Simplesius Sandur, CSE
Penerbit     : Kanisius
Cetakan     : 2019
Tebal         : xi + 355

Thomas Aquinas (1124-1274) tampil sebagai tokoh terdepan yang menggagas esensi politik dan hukum pada zamannya. Baik politik maupun hukum dalam pandangan Aquinas memiliki satu tujuan, yaitu bonum commune (kebaikan bersama). Hal ini dikarenakan politik dan hukum selalu berkaitan dengan suatu societas, di mana kita juga ambil bagian di dalamnya. Titik tolak pandangan politik Thomas Aquinas adalah konsep zoon politikon Aristoteles.
Selanjutnya hukum dalam pandangan Aquinas tidak melulu dilihat sebagai suatu kekuatan untuk menghukum tetapi dalam artinya yang terdalam, yaitu sebagai suatu perintah akal budi (ratio). Bagi Aquinas akal budi adalah aturan sekaligus ukuran tindakan manusia. Kebaikan yang menjadi akhir dari hukum berkaitan dengan kebenaran. Kebaikan itu haruslah kebaikan yang mengandung kebenaran, bukan karena diiming-imingi sesuatu atau hanya kelihatannya baik.


Bagi Aquinas lakukan yang baik dan tolaklah yang jahat menjadi prinsip pertama dalam hukum. Prinsip ini mendesak manusia untuk mencari dan mengejar kebaikan serta secara bersamaan menjauhi kejahatan. Oleh karena itu, tindakan kejahatan tidak akan pernah dibenarkan meskipun bertujuan mulia. Sehingga, dalam buku ini ditegaskan pentingnya melakukan tindakan baik dan menghindari kejahatan.

Konteks Penulisan
Untuk memahami pemikiran dan tulisan Thomas Aquinas, maka kita harus kembali zaman abad pertengahan. Perlu diketahui Thomas Aquinas adalah Filsuf sekaligus Teolog besar dalam Gereja Katolik. Karena itu, Aquinas lebih banyak menghasilkan karya-karya filsafat dan teologi dibandingkan karya politik. Tidak hanya itu, kondisi politik pada zaman itu posisi Gereja Katolik sangat kuat, sehingga tidak ada alasan bagi Aquinas untuk menulis traktat politik dibanding Filsafat dan teologi.
Pada zaman Aquinas karya Aristoteles, Plato dan filsuf Yunani lainnya mulai dipelajari di Eropa. Aquinas pun salah seorang yang mempelajari tokoh-tokoh ini. Sehingga tidak mengherankan jika karyanya tentang filsafat hukum dan politik sangat dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Aristoteles. Pemikiran para filsuf ini menjadi titik pijaknya dalam menulis entah filsafat, teologi maupun politik. Baik Plato maupun Aristoteles mengedepankan konsep pengertian yang mendalam tentang recta ratio (akal budi benar). Sehingga untuk memahami pandangan politik dan hukum Aquinas, terlebih dahulu kita memahami filsafatnya karena semuanya punya keterkaitan.


Pandangan Politik dan Hukum
Lalu bagaimana memahami politik dan hukum dalam filsafat Thomas Aquinas? Eksposisi penulis buku ini mengambil jalan pikiran sistematika Aquinasian. Cukup gamblang dari sudut sistem logika, tetapi memiliki delikasi kerumitan yang menarik bila orang membaca karya-karya Aquinas (hal 2). Terminologi hukum dalam bahasa Latin Lex yang berasal dari kata kerja baik ligare yang berarti mengikat, maupun legere yang berarti menghimpun. Sulit untuk membedakan mana yang lebih tepat karena bukan soal distingsi sebab hukum itu bersifat mengikat dalam satu kesatuan.
Aquinas menjabarkan tema politik dalam traktatnya berjudul De Regno yang ditujukan kepada raja Siprus. Harus diakui pandangan politik Aquinas mungkin dapat dikategorikan ketinggalan zaman kalau dibandingan dengan demokrasi modern. Akan tetapi, Simplesius Sandur mencoba mendalami teori mendasar Aquinas tentang politik dan hakikat terdalam tujuannya untuk bonum commune. Pendalaman ini akan menjadi aktual ketika Aquinas dan para pemikir abad pertengahan melihat politik sebagai tema yang tak terpisahkan dari etika (hal. 11). Dengan kata lain keduanya harmonis.
Perlu diketahui Aquinas tidak banyak menulis tema politik sehingga tidak banyak pemikirannya dalam dunia politik. Hanya dalam De Regno, Aquinas menjelaskan tentang bagaimana manusia yang hidup bersama membentuk sebuah komunitas sosial yang dalam skala besar disebut negara dan perlu ada pemimpinnya. Politik dalam pandangan Aquinas adalah tindakan yang didasarkan pada tujuan tertentu. Tujuan yang menjadi landasan seseorang bertindak. Karena aktivitas politik memiliki tujuan, maka seluruh potensi yang ada akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Selain itu, Aquinas yang banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles berpandangan bahwa filsafat politik sebagai ilmu praktis berkaitan juga dengan scientiae morales, ilmu moral atau kalau lebih netral ilmu etika. Pandangan ini adalah pandangan klasik tetapi mendeskripsikan substansi dari ilmu ini. Aquinas mengatakan bahwa politik berada di bawah ilmu yang berkaitan dengan tindakan-tindakan manusia seperti ilmu moral atau etika. Dan hal ini sangat berbeda kalau menggunakan pandangan Nietzsche yang melihat politik sebagai ajang pencarian kekuasaan atau kehendak untuk berkuasa.


Lalu apakah hukum? Hukum adalah tentang perintah dan larangan. Aquinas menggagas hukum sebagai ordo rationis (tata akal budi). Yang dimaksud dengan akal budi oleh Aquinas adalah recta ratio atau right reason. Manusia sejauh manusia memiliki akal budi, artinya memiliki segala yang perlu untuk berpikir dan menghendaki yang benar bagi dirinya dan sesamanya akan mengantar manusia kepada Allah.
Bagi Aquinas hukum itu tentang akal budi yang benar, artinya daya ikat atau wajib dalam hukum didasarkan pada kebenaran sejauh akal budi manusia dapat memikirkannya. Konsekuensi dari pemikiran seperti ini adalah tidak semua peraturan hukum yang diberlakukan mengikat, hanya perintah atau larangan yang masuk akal yang memiliki daya ikat. Karena pada dasarnya peraturan tidak pernah untuk peraturan itu sendiri. Peraturan hanya untuk manusia. Peraturan harus menjadikan manusia baik, damai, adil, dan sejahtera (hal 3).
Pembuat dan yang memberlakukan hukum adalah instansi atau pribadi yang bertindak sebagai penangggung jawab atas kesejahteraan umum. Dari mana hukum berasal? Dalam perumusan Aquinas hukum berasal dari yang bertanggung jawab atas kesejahteraan umum seluruh komunitas. Thomas Aquinas belum mengenal pembagian kekuasaan yang secara praktis membedakan pembuat hukum, pelaksana hukum, dan instansi yang mengadili pelanggaran hukum. Akan tetapi, apa pun namanya lembaga pemerintahan itu yang membuat undang-undang adalah pihak yang bertanggung jawab atas komunitas. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat bertindak sebagai pembuat hukum atau penjaga hukum.
Hukum tidak lain dari pada suatu peraturan akal budi untuk kebaikan bersama yang dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab atas komunitas dan dipromulgasikan. Ada 4 elemen penting dalam definisi ini yang kehadirannya adalah suatu keharusan. Artinya, absennya salah satu dari elemen-elemen ini membuat hal itu bukanlah sebuah hukum dalam arti yang sesungguhnya. Keempat elemen ini menyatakan suatu esensi dari hukum.
Hukum adalah ‘peraturan akan budi’ atau bonum commune; dibuat oleh suatu otoritas yang bertanggung jawab atas sebuah komunitas; suatu hukum akan memiliki daya ikat untuk suatu komunitas kalau dipromulgasikan. Poin berikutnya, berdasarkan elemen hukum, Aquinas menganalisis jenis-jenis hukum, yaitu, hukum abadi (lex aeterna), hukum kodrat (lex naturalis), hukum positif (lex humana atau ius positivum), dan hukum ilahi (legem divinam). Tampak jelas sebagaimana dipresentasikan Aquinas dalam Treatise on Law bahwa keempat jenis hukum ini memiliki keempat elemen dasar sebagaimana ditampilkan di atas, karena itu keempatnya adalah hukum dalam arti yang sesungguhnya (hal 13).

Sumber gambar: dokumentasi pribadi



Memaknai Trinitas dalam Kehidupan Berpancasila


                            (Ket: Lambang Garuda Pancasila)
Berbicara tentang Trinitas berarti berbicara tentang persekutuan Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Persekutuan ketiganya membentuk komunitas kasih karena Bapa selalu mengasihi Putra dan Roh Kudus, Putra selalu mengasihi Bapa serta Roh Kudus dan Roh Kudus selalu mengasihi Bapa dan Putra. Akan tetapi, banyak orang kemudian menganggap orang Kristen sebagai penyembah tiga allah (triteisme).
Mereka berpendapat demikian karena Allah Bapa dipisahkan dari Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Jika ketiga-Nya dipisahkan akan jatuh pada triteisme. Akan tetapi, dalam kekristenan ketiganya tidak dapat dipisahkan, malahan persekutuan ketiganya membentuk monoteisme radikal dan komunitas Ilahi.
Keistimewaan beriman pada Allah Trinitas, akan misteri perichoresis, dan persekutuan Trinitaris adalah karena Allah Trinitas merupakan model bagi kehidupan masyarakat yang adil, yang mengindahkan persamaan dan menghormati perbedaan. Atas dasar iman akan Trinitas, orang Kristen dituntun pada sebuah bentuk masyarakat yang mengikuti model persekutuan Trinitas.

Baca juga: Manusia Menurut Victor E. Frankl

Konsep Allah sebagai persekutuan inilah yang menjadi dasar kita berelasi dengan orang-orang lain. Persekutuan Allah Trinitas merupakan persekutuan pribadi Ilahi atas dasar kasih yang dapat kita jadikan sumber inspirasi untuk pengamalan Pancasila. Tujuannya agar tercipta masyarakat yang harmonis dan saling menghargai. Kita sebagai masyarakat Katolik pun sangat diharapkan agar berlaku adil kepada sesama. Latar belakang tiap pribadi bukan menjadi alasan bertindak diskriminasi. Karena Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus selalu berlaku adil kepada kita.
Umat Katolik mendukung Pancasila bukan hanya sebagai sarana pemersatu, melainkan juga sebagai ungkapan nilai-nilai dasar hidup bernegara, yang berakar di dalam budaya dan sejarah suku-suku bangsa kita. Pancasila, baik sebagai keseluruhan maupun ditinjau sila demi sila, mencanangkan nilai-nilai dasar hidup manusiawi, sejalan dengan nilai yang dikemukakan oleh ajaran dan pandangan Gereja Katolik.”[1]
Kenapa pada akhirnya orang-orang Kristen umumnya dan Katolik khususnya menyetujui Pancasila sebagai dasar negara? Karena Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mampu merangkul semua perbedaan yang ada dalam masyarakat baik itu suku, agama, ras maupun golongan.  Pancasila menjadi ideologi yang mengayomi semua golongan masyarakat. Perbedaan latar belakang entah itu ras, agama, golongan atau budaya adalah kekayaan yang harus dipelihara. Seperti persekutuan Allah Trinitas yang dibangun atas dasar kasih, diharapkan juga persatuan masyarakat Indonesia dibangun atas dasar kasih dan dan menghargai perbedaan.

Trinitas Sebagai Model dalam Pengamalan Pancasila
Menurut Boff masyarakat manusia merupakan petunjuk ke arah Trinitas dan sebaliknya misteri Trinitas menjadi petunjuk arah untuk kehidupan masyarakat.[2] Trinitas sebagai model bagi setiap bentuk masyarakat yang mencari hubungan agar dapat berpartisipasi dan mendapatkan kesederajatan.
Taymans d’Eypernon menggariswabawahi bahwa masyarakat merupakan hasil dari kemajemukan pribadi dan tindakan. Interaksi semua unsur masyarakat dapat menciptakan keadian sosial[3]. Interaksi ini merupakan analogi bagi keesaan Allah, di dalamnya Pribadi-pribadi ilahi membangun persekutuan kekal.

Baca juga: Mengenal Khazanah Islam

Menurut Soekarno persatuan nasional memerlukan identitas nasional dan kepribadian nasional. Dengan mudah kita akan temukan jawaban dari pernyataan ini, yaitu gotong royong sebagai kekhasan masyarakat kita. Semua identitas kita dengan sangat gamblang disampaikan dalam Pancasila. Sila-sila dalam Pancasila pun menjadi bukti bahwa para founding fathers ingin agar Indonesia ini berdiri atas kerja keras dan perjuangan semua golongan. Sebab dalam kenyataannya, bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, adat istiadat, kebudayaan dan agama yang berbeda.
Lalu, kenapa Trinitas sebagai model dalam pengamalan Pancasila? Jawaban sederhananya karena Allah sebagai persekutuan (persekutuan Bapa, Putra dan Roh Kudus) selaras dengan sila ketiga Pancasila yaitu, Persatuan Indonesia. Maksudnya persekutuan ketiganya sebagai relasi ilahi coba diwujudnyatakan dalam relasi sesama manusia Indonesia melalui sila ketiga. Sehingga, boleh dikatakan Allah sebagai Communio menjadi inspirasi untuk menciptakan perdamaian dan kesatuan.
Paham Allah Trinitas dan Pancasila paling sederhana dapat kita temukan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu jua). Kedua paham ini yang satunya sangat religius dan yang lain sangat politis mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu merangkul semua perbedaan yang ada tanpa ada yang diistimewakan. Mengistimewakan yang satu hanya akan menganak-tirikan yang lain. Itulah konsekuensi jika ada yang diistimewakan. Karena itu, untuk menghindari perpecahan lahirlah semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan yang diharapkan dapat merangkul semua entitas di bumi pertiwi.
Sebagai orang Kristiani patut bersyukur bahwa mengakui Pancasila sebagai dasar ideologi negara punya dasar teologisnya. Artinya, apa yang pernah disampaikan oleh MGR. Albertus Soegijapranata berpuluh-puluh tahun lalu, yaitu seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia masih relevan untuk dipraktikan di zaman sekarang. Setidaknya persekutuan Allah Trinitas atas dasar kasih dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk juga melakukan hal yang sama kepada sesama kita. Jika Allah telah mengasihi kita, adakah alasan kita tidak mengasihi sesama?
Apalagi saat ini kita sedang menghadapi pandemi covid-19 yang telah menelan banyak korban jiwa. Keadaan sekarang dapat menjadi momen untuk terus meningkatkan persatuan dan kesatuan tanpa harus melihat latar belakang sosial, agama, suku, atau ras. Keadaan pandemi ini menjadi kesempatan untuk semakin menunjukkan kepada semua orang bahwa kita adalah masyarakat penganut Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab Pancasila akan semakin bermakna ketika dapat diaktualisasikan dalam kehidupan bersama.

Baca juga: Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls

Tolong menolong dengan meringankan beban tetangga di sekitar rumah atau mendukung protokol yang dikeluarkan oleh pihak berwenang juga merupakan salah satu bentuk penghayatan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Jika Yesus taat kepada Bapa-Nya hingga mati, adakah alasan bagi kita untuk tidak taat kepada pemerintah yang kita pilih ketika mereka mengeluarkan larangan untuk menyelamatkan banyak orang? Pancasila tetap berdiri kokoh karena mayoritas masyarakat Indonesia percaya bahwa ini adalah ideologi yang mampu merangkul semua perbedaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, wujud konkret pengamalan Pancasila dengan berani menanggalkan ego masing-masing.
Sekarang, saat menghadapi wabah Covid-19, kita tidak mampu menghindarinya. Tentu kita semua ingin selamat. Saat ini pandemi, Covid-19 menggantikan peran malaikat pencabut nyawa. Akan tetapi, layakkah kita pesimis dan terus berharap ada mukjizat? Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, mengatakan, “…Orang-orang berdoa kepada Tuhan agar menurunkan keajaiban, tetapi mereka sendiri tidak berbuat serius untuk menghentikan kelaparan, wabah dan perang.”[4] Jadi, kita semua punya peran masing-masing untuk menghentikan penyebaran wabah ini dengan mengikuti arahan pemerintah dan pihak medis.

Sumber gambar: https://pixabay.com/id/users/ibnuamaru



[1] Ignatius Suharyo, “Catatan Atas Seluruh Proses Penyusunan ArDas KAJ 2016-2020”, dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta Tahun 2016-2020, 97.                                                
[2] Leonardo Boff, Allah Persekutuan: Ajaran Tentang Allah Tritunggal, Ende: Percetakan Arnoldus, 1999, 23.
[3] Leonardo Boff, Allah Persekutuan: Ajaran Tentang Allah Tritunggal, 24.
[4] Yuval Noah Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, Judul asli, Homo Deus – a Brief History of Tomorrow, Pent. Yanto Musthofa, (Jakarta: Alvabet, 2018), 21.