kualitas pendidikan,
pendidikan,
pendidikan abad ke-21,
STEAM
STEAM Sebagai Dasar Pendidikan Masa Depan
(Ket: STEAM sebagai model pendidikan masa depan)
Kita mungkin masih asing dengan istilah STEAM (science,
technology, engineering, art, and mathematich) yang akhir-akhir ini sering
disampaikan oleh mendikbud Nadiem Makarim. STEAM adalah metode pembelajaran
berbasis teknologi yang dikolaborasikan dengan sains, matematika, seni dan
rekayasa. Pendidikan berbasis STEAM menjadi penting karena mampu menjawab
tantangan di masa depan.
Manusia zaman batu belajar dengan melukis di dinding gua
menggunakan batu. Manusia era pertanian belajar menulis di atas kertas yang
terbuat dari kulit hewan atau daun-daunan seperti papirus. Manusia era
manufaktur belajar menggunakan kertas yang terbuat dari kayu. Di situlah segala
sesuatu ditulis dan kemudian menjadi arsip yang masih dipakai hingga sekarang.
Bagaimana dengan manusia yang hidup di zaman yang sering
disebut era digital? "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena
mereka bukan hidup di zamanmu." Demikian nasihat yang disampaikan Ali bin
Abi Thalib. Nasihat yang baik dan sangat logis ini mendorong kebutuhan untuk
memordenisasi sistem pembelajaran kita. Kita tidak bisa menggunakan sistem dan
metode pendidikan zaman manufaktur untuk diterapkan di era digital. Karena itu,
sistem pendidikan perlu diubah dan disesuaikan dengan zamannya.
Baca Juga: Membangun Bangsa Dimulai Dengan Membangun Pendidikan
Baca Juga: Membangun Bangsa Dimulai Dengan Membangun Pendidikan
Mulai tahun ajaran baru 2019/2020 ini, anak-anak Indonesia
akan dikenalkan dengan mata pelajaran baru dengan nama Informatika. Melalui
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 35, 36, dan 37 tahun 2018 yang
ditandatangani di penghujung tahun 2018 yang lalu oleh mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, Indonesia telah mengikuti langkah
progresif negara-negara lain yang telah lebih dahulu menerapkan mata pelajaran
ini dalam kurikulum nasionalnya.
Mata pelajaran Informatika yang dikembangkan adalah
pelajaran yang berbasis STEAM. Kenapa harus berbasis STEAM? Karena metode
tersebut mengajak siswa untuk mengintegrasikan mata pelajaran dan
menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran melibatkan enam
keahlian utama bagi siswa di abad ke-21, yaitu, kolaborasi, kreatif, berpikir
kritis, berpikir secara komputasional, pemahaman budaya, serta mandiri dalam
belajar dan berkarier.
Pembelajaran STEAM adalah langkah selanjutnya dalam
mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia nyata dan siap menghadapi
persaingan global. Sebab, Science,
technology, engineering, art and mathematics adalah mata pelajaran yang
saling berkaitan dalam kehidupan keseharian kita. Keempat bidang itu, saling terkait dan tak bisa berdiri sendiri. Namun, selama ini keempatnya
dipelajari terpisah-pisah, jadi seolah-olah hanya bisa dipahami secara teori.
Padahal, keempatnya penting dikuasai oleh anak didik supaya mereka bisa
memecahkan masalah dalam dunia kerja, masyarakat, dan dalam berbagai aspek
kehidupan.
Permasalahan Tentang Guru
Rupanya ketika pemerintah memulai mengenalkan Pendidikan
berbasis STEAM kepada sekolah-sekolah diutamakan masalah besar yang bisa menjadi
hambatan. Menurut pengamat pendidikan dari Center
for Education Regulations and Development Analysis, Indra Charismiadji, dari
total guru yang ada di Indonesia hanya 2,5 persen yang tidak gagap teknologi.
Selebihnya guru-guru masih gagap teknologi.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan jumlah dana yang
dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam
meningkatkan kualitas guru. Ditambah lagi dengan masuknya mata pelajaran
Teknologi Informasi dalam kurikulum. Tentu saja ini menjadi masalah besar dalam
mengembangkan kualitas Pendidikan di Indonesia. Guru yang diharapkan menjadi
pionir untuk mengubah wajah buram Pendidikan di negeri ini ternyata menghadapi
problem yang tidak mudah.
Baca juga: Akankah Coronavirus Mengubah Pengalaman Belajar Tatap Muka?
Baca juga: Akankah Coronavirus Mengubah Pengalaman Belajar Tatap Muka?
"Gemes saya lihat kualitas SDM guru kita. Sudah dikasih
pelatihan, tunjangan sertifikasi guru, masih banyak yang gaptek. Ini loh
datanya enggak bisa nipu, kelompok yang enggak gaptek itu hanya 2,5 persen.
Yang gaptek 97,5 persen loh. Lantas anggaran miliaran hingga triliunan yang
sudah dikasi untuk apa kalau gurunya masih gaptek juga," kata Indra yang dalam
JPNN (21/10/2019).
Rendahnya penguasaan teknologi ini, karena metode pelatihan yang
tidak berpola dan kualitas pelatihnya juga sangat dipertanyakan. Alhasil dana
negara hanya terbuang percuma tanpa hasil yang sesuai diharapkan. Pelatihan
yang diharapkan akan meningkatkan kualitas guru ternyata tidak dikemas dengan
baik karena prinsip yang digunakan adalah asalkan uangnya habis dan ada
kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Lain halnya jika gurunya hebat dan memahami perkembangan
teknologi. Kalau gurunya hebat, dia dengan mudah bisa mentransfer ilmunya ke
siswa. Hasilnya bisa dilihat dari aplikasi yang dihasilkan siswanya. Sebab
siswa akan mendapatkan sesuatu dari guru yang mampu mentransfer ilmunya. Di
sinilah kompetensi guru perlu diperhatikan.
Namun, untuk berbicara lebih jauh pemahaman guru terkait
teknologi sekali lagi kita kembali ke persiapan dan pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah selama ini apakah sudah tepat atau hanya sekadar menghamburkan
uang. Ketika guru hanya disibukan dengan hal-hal teknis di luar kelas untuk
mengurus RPP dan banyak lainnya, di sini pemerintah telah mencabut tugas guru
yang sesungguhnya untuk mendidik. Syukurlah mas Menteri menyadari masalah itu
dan ingin mengembalikan tugas guru yang sesungguhnya. Gebrakan-gebrakan seperti
inilah yang harus kita dukung, demi kemajuan Pendidikan.
Sebagaimana dikutip oleh Tempo.com (25/11/2019) Nadiem juga
sadar, birokrasi, tugas administratif menumpuk dan beratnya kurikulum, menjadi
kendala bagi guru untuk berkreasi. "Anda ingin membantu murid yang
mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan
tugas administratif tanpa manfaat yang jelas. Anda tahu betul bahwa potensi
anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka-angka
karena didesak berbagai pemangku kepentingan.” Dari sini saja kita sudah
melihat kalau Pendidikan kita selama ini telah berjalan di arah yang salah.
Baca juga: Beberapa Catatan Penting Dunia Pendidikan Indonesia Tahun 2020
Baca juga: Beberapa Catatan Penting Dunia Pendidikan Indonesia Tahun 2020
“Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari
dunia sekitarnya tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan. Anda
frustrasi karena Anda tahu betul bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan
berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal. Anda
tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah
mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi. Anda ingin setiap
murid terinspirasi, tetapi Anda tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi.”
Semua yang disampaikan oleh Mendikbud telah ada dalam sistem
pendidikan berbasis STEAM. Dalam STEAM dan juga model Pendidikan di abad ke-21
mengharuskan siswa untuk bisa berkolaborasi dengan sesama, berpikir kritis,
berpikir secara komputasional, dan kreatif. Hal ini berangkat dari gagalnya
pendidikan kita selama ini. Pendidikan kita hanya mencetak para budak kerja
tetapi gagal menciptakan siswa yang mampu berinovasi, berkolaborasi dan
mencipta sesuatu yang baru.
Sumber gambar: amongguru.com
June 20, 2020