Menu

Jacob Blake dan Problem Krisis Rasial

                (Ket: Jacob Blake Warga AS yang Ditembak Polisi di Depan 3 Anaknya)

Pria kulit hitam Jacob Blake (29) ditembak jarak dekat dari belakang oleh polisi Wisconsin, Amerika Serikat di depan tiga anaknya. Terdengar tujuh kali letusan dalam peristiwa naas itu. Kejadian itu berlangsung pada Minggu (23/8/2020) sekitar pukul 17.00 waktu setempat di Kenosha, Wisconsin. 

Rekaman video momen penembakan itu beredar luas di media sosial. Penembakan itu kembali memicu kemarahan masyarakat Amerika Serikat. Mereka pun sekali lagi turun ke jalan untuk memprotes tindakan kejahatan itu pada Senin (24/8/2020).

Sebelumnya, protes serupa terjadi pada akhir Mei 2020 lalu. Warga memprotes atas kematian George Floyd, pria AS berkulit hitam di Minneapolis. Floyd tewas setelah seorang polisi kulit putih menindihkan lutut ke lehernya selama nyaris 9 menit. Kejadian ini memicu rentetan aksi protes di AS. Kasus ini pun menyita banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat dunia.

Akan tetapi, ternyata negara super power sekelas AS seperti tidak pernah lelah untuk melakukan kesalahan yang sama. Kasus kekerasan bahkan pembunuhan terhadap warga kulit hitam di sana selalu menjadi masalah seksi yang terus dipertontonkan kepada masyarakat dunia. 

Baca Juga: Krisis Toleransi dan Kekerasan Terhadap yang Lain

Setiap tahun selalu terjadi serangan rasial dan anehnya masyarakat kulit hitam selalu menjadi korban. Untuk dua kasus terakhir entah sengaja atau tidak selalu melibatkan pihak kepolisian sebagai pelaku kekerasan.

Sebagaimana ditulis oleh Hatib A. Kadir di majalah Tirto 12 Juni 2020 sejak gerakan Black Lives Matter (BLM) dibentuk tahun 2013 lalu, kasus penembakan terhadap warga kulit hitam di Amerika masih sangat tinggi. Data dari Bureau of Justice Statistics mengungkapkan pembunuhan yang dilakukan polisi terhadap warga sipil rata-rata mencapai 900 kasus pertahun.

Tingkat kerentanan pun menunjukkan kalau orang kulit hitam sembilan kali berpotensi terbunuh dibandingkan orang kulit putih. Fakta yang menakutkan untuk negara sekelas AS. Data ini tentu saja merupakan fenomena gunung es karena banyak warga sipil meninggal dibunuh polisi tetapi tidak terekspos.

Polisi menyiapkan dana tidak sedikit untuk menutup kasus pembunuhan dan memenangkannya di pengadilan. Keeanga-Yamahtta Taylor penulis buku From #BlackLivesMatter to Black Liberation (2016) mengungkapkan bahwa polisi New York menghabiskan 150 juta USD setahun dan polisi Chicago menghabiskan 500 juta USD dalam sepuluh tahun terakhir, untuk memenangkan berbagai gugatan pengadilan (lawsuit) atas kekerasan yang mereka lakukan.

Dari data yang disampaikan di atas sudah cukup jelas bagaimana perlakuan kepolisian di sana terhadap warga kulit hitam. Hal ini tentu mencoreng nama besar AS sebagai salah satu negara super power. Penembakan Jacob Blake menjadi bukti bahwa untuk kesekian kalinya kepolisian negara itu gagal melindungi warga negara mereka. Rakyat yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban kekerasan yang mungkin dengan sengaja dilakukan dan dipertontonkan kepada masyarakat umum.

Kejahatan yang Mendarah Daging
Diwakili Elon Musk dan SpaceX, Amerika Serikat telah sukses mengirim astronaut ke luar angkasa. Negeri Paman Sam terlihat sebagai negara yang sukses dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, diwakili petugas-petugas kepolisian, Amerika adalah negeri busuk dan miskin penghargaan terhadap sesama. 

Baca Juga: Orang Kecil dan Terpinggirkan di Antara Wabah Corona

Kematian George Floyd dan disusul penembakan Jacob Blake karena keberingasan polisi bukan yang pertama melainkan kelanjutan dari rangkaian rasisme sistemik di Amerika Serikat.

Sebelum kasus Floyd yang kemudian disusul demo besar-besaran di negeri Paman Sam, ternyata pernah terjadi kasus yang cukup menyita perhatian public atas diskriminasi rasial yang menimpa Ahmaud Arbery. Dia adalah pemuda kulit hitam berusia 25 tahun yang tewas dibunuh oleh Travis McMichael dan ayahnya Gregory, mantan polisi, ketika sedang jogging di wilayah Georgia, Amerika Serikat. 

Arbery ditembak ayah dan anak karena disangka sebagai penjahat yang sedang melarikan diri. Travis McMichael dan ayahnya Gregory tak sedikit pun bertanya kepada korban sebelum mereka membunuhnya. Wanda Coper-Jones, ibunda Arbery mengatakan anaknya tewas tanpa diberikan kesempatan berbicara dan membela diri.

Bahkan Justin Blake paman Jacob Blake setelah melihat video keponakannya yang ditembak dari belakang oleh petugas polisi, mengatakan kepada ABC TV sebagaimana dikutip oleh The Guardian.com edisi 26 Agustus 2020 “Tindakan itu jelas merupakan masalah rasial. Sangat mengecewakan bahwa kami tinggal di Amerika pada tahun 2020 dan orang tua kulit hitam masih harus mengingatkan anak mereka agar berhati-hati ketika keluar dari pintu rumah. Sebab petugas keamanan yang kami bayarkan untuk melindungi kami justru terus mengintai kami."

Dari rentetan kasus di atas sedikit menunjukkan bahwa negara sebesar AS ternyata masih tidak ramah dengan warganya yang berkulit hitam. Bahkan kejahatan yang warga kulit putih atau juga polisi kulit putih lakukan kepada warga kulit hitam seperti telah mendarah daging.

Baca Juga: Kotak Pandora di Balik Kehancuran Jepang di Tangan Sekutu

Mungkin di waktu-waktu yang akan datang akan terjadi lagi masalah yang sama jika belum ada kesadaran untuk merangkul sesama warga yang berbeda ras, suku atau agama. Ketika orang kulit hitam sembilan kali berpotensi terbunuh dibanding kulit putih, dapat dibayangkan bagaimana wajah ketakutan yang selalu mereka tampilkan jika ingin keluar rumah. Warga kulit hitam di sana seperti rusa yang berjalan-jalan di antara kawanan serigala yang siap menerkam dan menghabisi nyawa mereka kapan saja.

Kembali ke Spirit Kemanusiaan
Masih segar dalam ingatan kita, Senin, 4 Februari 2019 yang lalu telah terbit dokumen Human Fraternity yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam besar Al Azhar Dr. Ahmed al-Tayeb. Dokumen ini merupakan dokumen bersejarah bagi dunia karena berisi 12 hal yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat sekarang untuk menciptakan perdamaian dan kedamaian dunia.

Dokumen Human Fraternity menguraikan tentang satu keyakinan dari krisis dunia modern, yaitu hati nurani manusia yang kehilangan kepekaan. Ada kontradiksi dunia modern; di satu sisi ada kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, di sisi lain terjadi kemunduran nilai-nilai dan spiritual. Akibatnya, ada rasa frustrasi dan keterasingan yang menyebabkan orang jatuh dalam pusaran ekstremisme dan intoleransi.

Sikap intoleran pada dasarnya tidak pernah membawa perdamaian dan kita mesti melawannya. Begitu pun dengan kasus penembakan Jacob Blake menampilkan sisi lain dari manusia yang masih belum mampu menerima perbedaan dalam hidupnya. Dari sisi manusiawi Jacob Blake warga kulit hitam tidak lebih buruk dari Rusten Sheskey polisi berkulit putih.

Semua manusia punya keunikan dan kekhasan. Jika Rusten Sheskey gagal menerima Jacob Blake dalam hidup sebagai sesama masyarakat AS, maka di sana telah terjadi krisis spirit kemanusiaan. Mau sampai kapan seseorang memperlakukan sesama hanya berdasarkan warna kulit? Apakah kita di Indonesia juga masih melihat suku, agama, dan ras ketika ingin berelasi dengan sesama? Semoga saja kasus seperti ini tidak terjadi di negara kita tercinta apalagi sampai mendarah daging.

Sumber gambar: detik.com





Apa Itu Pendidikan 4.0? Bagaimana Anda Beradaptasi dengan Sistem Ini?



Cara Revolusi Industri 4.0 mengubah dunia dan teknologi seperti Internet of Things (IoT), Big Data, dan Artificial Intelligence (AI) memengaruhi industri besar, dan pada gilirannya mengubah dunia pekerjaan. Hal ini dapat dianggap mirip dengan mengganti pekerjaan manual dengan mesin sebagai dampak dari revolusi di abad ke-21.

Dampak ini menyiratkan bahwa Industri 4.0 tidak hanya akan memengaruhi industri tetapi juga akan mengubah cara pandang pekerjaan dan pendidikan, sehingga menghasilkan revolusi pendidikan 4.0.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa revolusi industri keempat akan memengaruhi peran yang dipersiapkan oleh para siswa saat ini. Revolusi ini membutuhkan lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja untuk bekerja di era yang terus mengalami perubahan.

Baca Juga: Merdeka Belajar Sebagai Merek Swasta?

Lebih lanjut, revolusi ini juga membutuhkan tenaga kerja untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka agar sesuai dengan peran pekerjaan yang baru. Sebab dunia kerja pun terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk itu, revolusi dalam pendidikan sangat penting dan memungkinkan orang di seluruh dunia memanfaatkan peluang yang diciptakan oleh kemajuan teknologi. Tidak bisa tidak, untuk mampu beradaptasi dengan segala perubahan di masa depan dimulai dari revolusi pendidikan.

Transformasi industri pendidikan ini akan menjadikannya lebih personal, peer-to-peer, dan proses yang berkelanjutan. Jadi, apa itu pendidikan 4.0? Mari kita lihat beberapa petunjuk yang bisa menggambarkan masa depan pendidikan:

Revolusi pendidikan akan memenuhi kebutuhan Industri 4.0 yang memungkinkan tenaga kerja dan alat-alat menyelaraskan diri untuk mengeksplorasi kemungkinan baru.

Tujuannya untuk menyebarkan potensi teknologi digital, sumber konten terbuka dan data yang dipersonalisasi dari dunia yang terhubung secara global dan didukung oleh teknologi.

Menciptakan cetak biru pendidikan untuk masa depan pembelajaran - mulai dari pembelajaran berbasis di sekolah hingga pembelajaran di tempat kerja.

Baca Juga: Tahun Ajaran Baru, New Normal, dan Pendidikan Berbasis STEAM

Berikut beberapa tren dalam revolusi pendidikan:

Mempercepat Pembelajaran Jarak Jauh
Pendidikan 4.0 memungkinkan pembelajaran dapat diakses kapan saja, di mana saja karena alat dan aplikasi e-learning akan memberikan peluang untuk pembelajaran jarak jauh dan mandiri.

Peran ruang kelas akan berubah di mana pengetahuan teoritis akan diberikan di luar kelas sementara pengetahuan praktis atau pengalaman akan disampaikan secara tatap muka.

Pembelajaran yang Dipersonalisasi
Pendidikan 4.0 juga akan memungkinkan pembelajaran yang dipersonalisasi untuk siswa bergantung pada kemampuan mereka. Artinya, siswa yang di atas rata-rata akan tertantang dengan tugas-tugas yang sulit dibandingkan dengan siswa yang di bawah rata-rata. Karena itu, pembagian tugas pun untuk setiap siswa akan berbeda satu dengan yang lainnya.

Akan ada proses pembelajaran individual bagi setiap siswa. Hal ini akan berdampak positif karena memungkinkan siswa untuk belajar sesuai kemampuan dan kecepatan mereka memahami materi ajar.

Sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang konsep dan hasil yang lebih baik secara keseluruhan. Di sisi lain juga membantu para guru untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan setiap siswa secara individu dan membimbing mereka sesuai dengan kemampuan siswa.

Pilihan Alat Pendidikan
Bagian dari pendidikan 4.0 adalah teknologi atau perangkat yang digunakan oleh siswa untuk mengenyam pendidikan. Sementara setiap mata pelajaran memiliki seperangkat pengetahuan dan informasi yang dapat dipahami siswa dan jalan untuk memahami pengetahuan itu dapat bervariasi.

Artinya, siswa dapat memilih alat dan teknik yang mereka inginkan untuk memperoleh pengetahuan ini. Teknik seperti pembelajaran campuran, BYOD (Bring Your Own Device) dan ruang kelas yang terbalik adalah beberapa contohnya.

Pembelajaran Berbasis Proyek
Ekonomi freelance sedang meningkat dan akan terus berlanjut. Hal ini berarti bahwa siswa zaman sekarang perlu beradaptasi dengan gaya belajar dan bekerja berbasis proyek.

Mereka perlu mengasah keterampilan dan belajar bagaimana menerapkan dan membentuknya sesuai situasi yang terjadi di lapangan. Jadi, siswa harus terbiasa dengan pembelajaran berbasis proyek selama pendidikan entah itu di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi.

Bagian dari Pendidikan 4.0 ini akan mengajari keterampilan berorganisasi, keterampilan manajemen waktu, dan keterampilan kolaboratif, yang dapat mereka gunakan lebih lanjut dalam karier akademis dan juga pekerjaan mereka di masa yang akan datang.

Pengalaman Khusus Lapangan
Karena integrasi teknologi dalam domain tertentu memfasilitasi efisiensi yang lebih tinggi; kurikulum pendidikan sekarang sebaiknya mengakomodasi lebih banyak keterampilan yang membutuhkan pengetahuan manusia dan kemampuan analisis yang memadai.
Tujuannya untuk menghasilkan penekanan lebih pada penyampaian pengetahuan khusus kepada siswa dalam pengalaman kerja di lapangan. Artinya, sekolah memberikan lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan dunia nyata yang relevan dengan peluang kerja yang prospektif di masa depan.

Dengan demikian, kurikulum sekolah menyertakan pengetahuan subjek yang ditingkatkan yang dapat membantu siswa melalui magang, kerja proyek, dan sebagainya.

Analisis Data
Ada kalanya analis biasa mengumpulkan dan menyortir data secara manual, tetapi sekarang dapat dilakukan dengan menggunakan komputer. Selain itu, komputer juga akan digunakan untuk semua jenis analisis statistik - mendeskripsikan dan menganalisis data serta memprediksi tren masa depan.

Pendidikan 4.0 melatih siswa untuk menerapkan pengetahuan teoritis dan menggunakan penalaran manusia untuk memeriksa pola dan memprediksi tren yang sedang berlangsung. Data-data yang dikumpulkan akan menjadi titik pijak untuk menganalisis langkah yang akan diambil.

Perubahan Pola dan Penilaian Ujian
Pola hafalan siswa saat ini, dimana siswa secara membabi buta menghafal informasi yang diberikan dalam kurikulum dan menuliskan ujiannya, tidak layak dipertahankan. Penting untuk dipahami bahwa Q&A tradisional atau ujian menulis ulang apa yang dihafal mungkin tidak mencukupi kebutuhan persyaratan di masa depan.

Artinya, penilaian sebagai bagian dari pendidikan 4.0 tidak hanya akan didasarkan pada pola ujian saat ini. Melainkan dilakukan dengan menganalisis perjalanan belajar mereka melalui proyek berbasis pembelajaran praktis dan pengalaman atau kerja lapangan.

Dampak teknologi pada industri pendidikan tidak hanya akan mengubah cara penyampaiannya, tetapi juga cara siswa memandang pendidikan. Pendidikan 4.0, atau masa depan pendidikan, akan mengubah metodologi belajar-mengajar untuk mempersiapkan masa depan siswa.

Inilah saatnya untuk menyaksikan perubahan dan menanamkannya dalam hidup sehingga kita dapat bergerak menuju dunia yang progresif, intelektual, berbasis data, dan siap menghadapi masa depan.

Sumber gambar: manufacturingglobal.com