Menu

Merdeka Belajar Sebagai Merek Swasta?



Dalam salah satu webinar yang diselenggarakan pada 07 Agustus 2020 turut hadir sebagai narasumber Pak Ferdiansyah, anggota DPR RI Komisi X, Ahmad Rizali Ketua Bidang Pendidikan NU Circle, Iwan Pranoto Ph.D guru besar Matematika ITB, Indra Charismiadji, dan beberapa narasumber lainnya. Topik yang dibahas adalah Merdeka Belajar Sebagai Merek Swasta: Dampak dan Solusi Dunia Pendidikan.

Mengapa tema ini dibahas? Rupanya karena para narasumber merasa kuatir dengan pendidikan kita ke depannya. Bagaimana mungkin sebuah produk milik swasta menjadi tagline pendidikan nasional oleh Kemdikbud? Bukankah ini menjadi ladang bisnis baru dari sekolah itu dan secara tidak langsung kementerian turut mempromosikannya? 

Jika demikian, apakah mas Menteri ceroboh ketika menjadikan konsep merdeka belajar sebagai titik awal untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa? Apakah tidak terjadi masalah di kemudian hari karena “konsep merdeka belajar” secara hukum telah menjadi milik salah satu sekolah swasta? 

Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh, konsep ini pertama kali dicetuskan oleh bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara tetapi dengan nama yang berbeda. Pada intinya konsep merdeka belajar ala Ki Hajar Dewantara, menjadikan sekolah sebagai tempat untuk belajar sekaligus bermain. 

Baca juga: Memperbaiki Kualitas Pendidikan Menyongsong Revolusi Industri 4.0

Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi dan bakat yang ada dalam diri mereka tanpa diharuskan untuk menghafal materi pelajaran. Siswa cukup memahami pelajaran di sekolah dan mempraktiknya dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu narasumber menilai akan berbahaya bila konsep Merdeka Belajar dikapitalisasi. Sebab, dampaknya akan berujung kepada sanksi hukum. "Begitu Merdeka Belajar jadi merek dagang suatu perusahaan pendidikan swasta nasional, implikasinya pasti ke hukum. Siapapun yang menggunakan istilah tersebut implikasinya ke hukum. Inilah sisi negatif dari kapitalisasi pendidikan. 

Ketika itu berimplikasi misalnya pada royalti yang harus dibayar Negara, dalam hal ini Kemendikbud, maka itu jadi masalah. Karena Kemendikbud juga menggunakan jargon Merdeka Belajar,” kata salah satu narasumber dalam webinar tersebut.

Kita sepakat, fondasi pendidikan Indonesia berdiri di atas pemikiran Ki Hajar Dewantara. Adapun beberapa landasan filosofi pendidikan Ki Hajar, yaitu Kemerdekaan diri, Cita-cita manusia untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban, Sistem Among (Tut Wuri Handhayani), Merdeka (Berdiri sendiri), Zelfbedruipings systeem (Sistem Pemadam Diri). Dari beberapa landasan filosofis di atas terlihat jelas, siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka ketika belajar.

Merdeka Belajar yang ditawarkan oleh Kemendikbud kurang lebih konsepnya telah diimplementasi oleh Taman Siswa jauh sebelum istilah ini menjadi merek dagang. Mungkin banyak sekolah di Indonesia telah menerapkannya sejak lama, tetapi dengan istilah yang berbeda. Maka akan menjadi problem, tatkala kosa kata ini menjadi merek dagang dan hak patennya menjadi milik sekolah tertentu. 

Baca juga: Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pendidikan 4.0

Tetapi pertanyaannya adalah apakah sekolah ini telah meminta ijin kepada Ki Hajar Dewantara selaku pencetus ide Merdeka Belajar atau Taman Siswa sebagai sekolah bentukan beliau, meskipun menggunakan istilah yang berbeda?

Konsep Merdeka Belajar
Sebelum membahas lebih jauh tulisan ini alangkah lebih baik jika kita memahami konsep merdeka belajar yang dimaksud oleh Kemendikbud. Pentingnya memiliki SDM unggul merupakan solusi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, sebagaimana disampaikan oleh Mendikbud, bahwa: “Apapun kompleksitas masa depan, kalau SDM kita bisa menangani kompleksitas maka itu tidak menjadi masalah” (FORWAS Edisi ke-3/2019).

Tentu SDM yang dikehendaki merupakan kapital intelektual yang memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif, serta siap menghadapi era globalisasi. Apalagi saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan eksternal berupa hadirnya Revolusi Industri 4.0 yang bertumpu pada cyber-physical system. Dengan didukung oleh kemajuan teknologi, informasi, pengetahuan, inovasi, dan jejaring, yang menandai era abad kreatif.

Program Merdeka Belajar menurut Mendikbud akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana arahan bapak presiden dan wakil presiden (kemendikbud.go.id). 

Merdeka Belajar merupakan permulaan dari gagasan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang terkesan monoton. Merdeka Belajar menjadi salah satu program untuk menciptakan suasana belajar di sekolah yang bahagia suasana yang happy, bahagia bagi peserta didik maupun para guru. Makanya tagline-nya merdeka belajar.

Adapun yang melatarbelakangi adalah keluhan para orangtua pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok dengan nilai-nilai tertentu. Ditambahkan pula bahwa program merdeka belajar merupakan bentuk penyesuaian kebijakan untuk mengembalikan esensi dari asesmen yang semakin dilupakan. 

Konsepnya, mengembalikan kepada esensi undang-undang kita untuk memberikan kemerdekaan sekolah menginterpretasi kompetensi-kompetensi dasar kurikulum, menjadi penilaian mereka sendiri, seperti disampaikan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Supriano.

Bagaimana Sebaiknya?
Kita harus mengapresiasi langkah Kemendikbud dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Meskipun konsep merdeka belajar bukan ide baru di dunia pendidikan Indonesia, tapi baru kali ini resmi menjadi tagline pendidikan nasional. Sebuah langkah positif dan patut diapresiasi. 

Apalagi kualitas pendidikan kita yang cenderung berjalan di tempat. Setidaknya hasil yang dikeluarkan oleh Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 dan dirilis pada (3/12/2019) menempatkan Indonesia di urutan ke-72 dari 79 negara dapat menjadi alasannya.

Saya sebagai warga negara mendukung penuh langkah yang telah diambil oleh Kemendikbud. Lalu terkait dengan permasalahan tagline merdeka belajar telah menjadi merek dagang salah satu sekolah swasta di Jakarta, mungkin kedua belah pihak perlu duduk bersama untuk membicarakannya. 

Baca juga: Wei Ji dan Krisis Kualitas Pendidikan

Agar, apa yang menjadi kekuatiran para narasumber dalam webinar dan juga mungkin kita semua tidak terjadi. Atau, langkah lainnya adalah pihak kementerian mengeluarkan slogan dan tagline baru meskipun masih menggunakan konsep belajar yang sama.

Sudah terlalu lama pendidikan kita berjalan di tempat, karena itu ketika mas Menteri mengeluarkan konsep merdeka belajar ada secercah harapan di sana. Ki Hadjar Dewantara, menuturkan belajar merdeka berarti merdeka atas diri sendiri. 

Minat dan bakat siswa itu harus merdeka untuk berkembang seluas mungkin. Konsep itu yang dibawa Ki Hadjar Dewantara bagi bangsa ini dengan harapan tak digerus perkembangan zaman. 

Angka tidak boleh menjadi tolok ukur dalam pengembangan bakat. Kurikulum jangan dijadikan alat untuk menjajah anak didik. Terjajahnya anak didik dalam kurikulum akan membunuh pengembangan bakat yang digaungkan oleh pahlawan nasional itu. 

Sebagaimana dikatakan Harari dalam bukunya Homo Deus (2015, 195) “sistem pendidikan masal abad industrilah yang memulai penggunaan nilai-nilai angka pasti secara regular. Pada mulanya, sekolah-sekolah bertujuan untuk fokus mencerahkan dan mengedukasi murid”. Akan tetapi, di kemudian hari sekolah justru melupakan itu semua dan lebih fokus mengejar angka-angka.

Oleh karena itu, mengakhiri tulisan ini merdeka belajar yang telah menjadi merek swasta serta telah legal secara hukum tidak bisa lagi menjadi tagline kemendikbud. 

Meskipun ide-ide merdeka belajar milik sekolah itu diadopsi dari dokumen kemendikbud dan ide-ide yang ada dalam Taman Siswa, tetap saja tidak elok jika sekelas kementerian menggunakan tagline milik sekolah swasta. Perlu ada regulasi yang jelas agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari sehingga menyebabkan negara membayar kepada pihak sekolah.




.



Belajar Sambil Bermain: Bagaimana Sekolah Mendidik Siswa Melalui Teknologi

                       (Ket: Belajar sambil bermain)

Sistem pendidikan di seluruh dunia perlu dikembangkan untuk lebih memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat di masa yang akan datang. Sistem pendidikan perlu beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sayangnya, sistem pendidikan di banyak sekolah masih ketinggalan zaman karena dirancang untuk periode zaman awal perkembangan industri. Akan tetapi, hal itu bertolak belakang dengan reformasi ekonomi nasional sering kali memprioritaskan peningkatan keterampilan tenaga kerja saat ini, baik di industri lama maupun yang sedang berkembang. 

Sayangnya, perusahaan-perusahaan kurang berinvestasi untuk masa depan ekonomi kita dengan mereformasi sistem pendidikan.

Sementara itu metrik pendidikan tradisional tentang literasi dan numerasi sangat penting, masyarakat juga mengharuskan siswa memiliki berbagai keterampilan holistik untuk berkembang di dunia modern. 

Baca juga: Memperbaiki Kualitas Pendidikan Menyongsong Revolusi Industri 4.0

Keterampilan itu seperti keterampilan kreatif, teknologi, inovasi, dan interpersonal. Saat ini, keterampilan dan pengetahuan ini perlu diperoleh dengan cara yang lebih mudah diakses, dipersonalisasi, dan aktif daripada sebelumnya.

Teknologi dapat mendukung pembelajaran dalam ruang kelas, sekolah, dan sistem pendidikan untuk berkembang sesuai dengan kecepatan yang diperlukan. Namun, Education Endowment Foundation Inggris menekankan bahwa teknologi itu sendiri tidak dapat meningkatkan pembelajaran siswa jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pengajar.

Banyak solusi dan layanan EdTech mendigitalkan cara kerja lama, menghapus pembelajaran hafalan, dan praktik lain yang lebih sesuai dengan masa lalu. Praktik-praktik ini jarang tidak pengembangan keterampilan dan pengetahuan dengan cara yang efektif dan menarik.

Tantangan ini kadang-kadang disebut sebagai perlombaan antara teknologi dan pendidikan. Sebab, pendidikan berusaha mengejar dan memanfaatkan kemajuan teknologi atau teknologi memperbudak pendidikan ke dalam paradigma pembelajaran dengan mendigitalkan cara kerja atau cara belajar.

Secara paralel, penelitian telah berulang kali menggarisbawahi bahwa belajar sambil permainan memiliki peran penting dalam pendidikan untuk menyiapkan anak-anak menghadapi tantangan dan peluang sepanjang hidup mereka.

Hal itu kemudian ditunjukkan dengan banyaknya bukti yang mendukung belajar sambil bermain sebagai dasar untuk perkembangan positif anak-anak. Bukti ini berfungsi sebagai patokan untuk mengembangkan berbagai keterampilan holistik yang diperlukan di dunia nanti.

Baca juga: Memahami Tri Sentra Pendidikan dan Kegalauan Orang Tua

Bukti menunjukkan bahwa belajar melalui permainan terjadi ketika aktivitas yang dilakukan menyenangkan, membantu anak-anak menemukan makna terdalam dari apa yang mereka lakukan atau pelajari. 

Selain itu, juga melibatkan pemikiran yang aktif, terlibat dalam permainan, mind-on, serta pemikiran berulang (eksperimen, pengujian hipotesis, dll) dan memiliki peluang untuk interaksi sosial.

Belajar sambil bermain dengan teknologi, termasuk permainan hybrid (pengalaman yang menggabungkan digital dan fisik), memberikan kesempatan bagi pelajar untuk memperoleh pengetahuan lebih luas sambil mengembangkan berbagai keterampilan holistik, seperti kognitif, kreatif, fisik, sosial dan emosional, serta keterampilan lainnya.

Ketika siswa belajar melalui permainan dengan teknologi, hasil belajar tampaknya menjadi yang paling signifikan ketika pengalaman dibimbing oleh orang dewasa atau teman sebaya. Karena saat itu, siswa dalam keadaan happy dan tidak tertekan untuk belajar.

Pengalaman ini sering terjadi melalui pedagogi aktif (seperti pendekatan berbasis proyek), yang memberi anak-anak kesempatan untuk membuat pilihan mandiri dalam pembelajaran mereka sendiri dan untuk membuat artefak fisik dan atau digital. 

Jadi, siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi dalam diri dengan mengerjakan proyek kelompok atau pribadi tetapi berdasarkan minat mereka.


Belajar Melalui Game Teknologi
Teknologi yang dirancang untuk sepenuhnya merangkul peluang agensi, bimbingan, dan kreasi sambil memungkinkan interaksi yang menyenangkan adalah beberapa alat paling kuat untuk mendukung pembelajaran berkualitas tinggi saat ini.
Contoh teknologi tersebut termasuk platform pengkodean kreatif seperti Scratch di mana anak-anak memiliki kesempatan untuk membuat cerita, permainan, dan animasi mereka sendiri dengan dukungan komunitas online; game sandbox terbuka seperti Minecraft tempat anak-anak membangun dan menjelajahi dunia virtual yang luas bersama teman-temannya.

Selain itu, sistem permainan robotika seperti LEGO MINDSTORMS yang memungkinkan anak-anak bekerja secara kolaboratif untuk membuat robot dan memecahkan masalah yang kompleks). Selain itu, masih ada teknologi lain yang memungkinkan augmentasi digital dan berbagi kreasi fisik, seperti animasi digital, podcasting, pengeditan video, dan penerbitan online.

Menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dengan teknologi tidak akan menghalangi anak-anak untuk mempelajari hal-hal dasar seperti membaca, menulis, dan matematika.

Menciptakan lingkungan yang menarik adalah peluang untuk memanfaatkan kemampuan alami anak-anak untuk belajar melalui permainan, sambil memanfaatkan kekuatan transformasional teknologi untuk mengembangkan pengalaman belajar yang memfasilitasi pembelajaran cepat yang penting dalam masyarakat saat ini.

Dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan apa yang kita tahu dalam pendidikan - seperti belajar sambil permainan - kita tidak hanya membantu merevolusi sistem pendidikan, tetapi juga memastikan anak-anak diberdayakan untuk berkembang baik di masa sekarang maupun di masa depan.

Kita dapat melakukan ini dengan merangkul teknologi dan menulis narasi baru tentang Pendidikan 4.0.

Sumber gambar: appletreebsd.com

Tahun Ajaran Baru, New Normal, dan Pendidikan Berbasis STEAM



Kita mungkin masih asing dengan istilah STEAM (science, technology, engineering, art, and mathematics) yang beberapa kali pernah disampaikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim. STEAM adalah metode pembelajaran berbasis teknologi yang dikolaborasikan dengan sains, matematika, seni, dan rekayasa. Pendidikan berbasis STEAM menjadi penting karena mampu menjawab tantangan di masa depan.

Manusia zaman batu belajar dengan melukis di dinding gua menggunakan batu. Manusia era pertanian belajar menulis di atas kertas yang terbuat dari kulit hewan atau daun-daunan seperti papirus. Manusia era manufaktur belajar menggunakan kertas yang terbuat dari kayu. Di situlah segala sesuatu ditulis dan kemudian menjadi arsip yang masih dipakai hingga sekarang.
Bagaimana dengan manusia yang hidup di zaman yang sering disebut era digital? "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka bukan hidup di zamanmu," demikian nasihat yang disampaikan Ali bin Abi Thalib. Nasihat yang baik dan sangat logis ini mendorong kebutuhan untuk memodernisasi sistem pembelajaran kita. Kita tidak bisa menggunakan sistem dan metode pendidikan zaman manufaktur untuk diterapkan di era digital.

Mata Pelajaran Baru
Mulai tahun ajaran baru 2019/2020 ini, anak-anak Indonesia akan dikenalkan dengan mata pelajaran baru dengan nama Informatika. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 35, 36, dan 37 tahun 2018 yang ditandatangani di pengujung tahun 2018 yang lalu oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, Indonesia telah mengikuti langkah progresif negara-negara lain yang telah lebih dahulu menerapkan mata pelajaran ini dalam kurikulum nasionalnya.

Baca juga: Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pendidikan 4.0
Mata pelajaran Informatika yang dikembangkan adalah pelajaran yang berbasis STEAM. Kenapa harus berbasis STEAM? Karena metode tersebut mengajak siswa untuk mengintegrasikan mata pelajaran dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran melibatkan enam keahlian utama bagi siswa di abad ke-21, yaitu kolaborasi, kreatif, berpikir kritis, berpikir secara komputasional, pemahaman budaya, serta mandiri dalam belajar dan berkarier.
Pembelajaran STEAM adalah langkah selanjutnya dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia nyata dan siap menghadapi persaingan global. Sebab, science, technology, engineering, art, and mathematics adalah mata pelajaran yang saling berkaitan dalam kehidupan keseharian kita. Keempat bidang itu saling terkait dan tak bisa berdiri sendiri. Namun, selama ini keempatnya dipelajari terpisah-pisah. Jadi, seolah-olah hanya bisa dipahami secara teori. Padahal keempatnya penting dikuasai oleh anak didik supaya mereka bisa memecahkan masalah dalam dunia kerja, masyarakat, dan dalam berbagai aspek kehidupan.

Menghadapi New Normal
Terhitung sejak Maret sebagian besar sekolah-sekolah mengadakan pembelajaran dalam jaringan (daring). Karena itu, sekolah-sekolah melakukan banyak persiapan dalam rangka memasuki tahun ajaran baru. Berkaca pada pengalaman pembelajaran dalam jaringan selama tiga bulan terakhir yang ternyata mengalami banyak kendala dan kekurangan, maka di tahun ajaran baru nanti pembelajaran dalam jaringan diharapkan lebih baik lagi.
Apa yang terjadi pada teknologi pendidikan setelah pandemi virus corona berakhir, sebagian akan bergantung pada kualitas teknologi itu sendiri. Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menilai, pembelajaran jarak jauh di tengah wabah Covid-19 belum berjalan ideal. Di antaranya karena ada kecenderungan siswa diberikan PR yang ugal-ugalan. Kemudian, ada guru yang hanya merekam proses pembelajaran di kelas kemudian disebar ke ponsel siswa.

Baca juga: Wei Ji dan Krisis Kualitas Pendidikan
Model pembelajaran daring seharusnya berorientasi pada kemampuan siswa agar mampu memecahkan masalah, kritis, kolaboratif, komunikatif, kreatif, dan inovatif. Guru harus jadi fasilitator dan motivator bagi siswa, bukan menjelaskan materi yang siswa bisa baca di buku atau cari di Google.
Dalam menghadapi tahun ajaran baru di era new normal saya menemukan beberapa poin penting yang sebaiknya disiapkan Pelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring .
Pertama, infrastruktur. Artinya, peralatan apa yang dipakai sekolah saat ini untuk pembelajaran jarak jauh. Apalagi di tahun ajaran baru PJJ dalam jaringan masih tetap diberlakukan. Oleh karena itu, infrastruktur yang digunakan oleh sekolah dan siswa harus sama. Jangan sampai lembaga pendidikan kurang informasi terkait infrastruktur yang digunakan oleh siswa dalam pembelajaran.
Kedua, infostruktur, yakni aplikasi atau platform apa yang digunakan untuk proses PJJ daring. Dengan keadaan seperti sekarang ini, maka aplikasi yang digunakan harus mampu memenuhi kebutuhan belajar siswa. Selain itu platform yang digunakan untuk siswa dan guru sebaiknya satu dan sama agar tidak membingungkan siswa.
Infostruktur juga menyangkut learning management system (LMS) yang sebaiknya dimiliki setiap satuan pendidikan. Namun, bagi sekolah yang belum mampu memilikinya dapat menggunakan Rumah Belajar milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketiga, infokultur. Maksud dari infokultur PJJ daring memiliki prinsip any time, any where, dan any deviceAny time adalah setiap siswa tidak harus belajar pada waktu yang sama dan mengerjakan hal yang sama. Any where adalah siswa dapat belajar di mana saja asal terkoneksi internet.
Sedangkan, any device maksudnya media yang digunakan sebaiknya multifungsi. Dalam pedagogi konvensional disebutkan media tersebut berfungsi menerima informasi seperti buku, TV maupun materi multimedia. Konsep ini tentunya berbeda dengan pedagogis konvensional yang hanya mengenal sinkronis learning, sedangkan di sini akan menggunakan asinkronis learning. Hal itu yang harus kita pahami dalam PJJ daring di tahun ajaran baru nanti.

Baca juga: Memperbaiki Kualitas Pendidikan Menyongsong Revolusi Industri 4.0
Poin-poin yang disampaikan di atas merupakan pengejawantahan dari STEAM. Di era Industri 4.0 ini kebutuhan akan para inovator dan kreator menempati urutan utama. Untuk itu kurikulum harus disesuaikan. Pertama, penguatan kemampuan calistung sebagai fondasi pembelajaran pendidikan berbasis STEAM. Kedua, pemanfaatan teknologi secara optimal dalam pembelajaran kompetensi inti, yakni penalaran tingkat tinggi dan kemampuan 4K (Komunikasi, Kolaborasi, Kritis, dan Kreatif).

Tulisan ini pernah dimuat di kolom Detik.com pada 16 Juli 2020
Sumber gambar: amongguru.com

Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pendidikan 4.0



Dalam menyiapkan lulusan masa depan untuk bekerja, sekolah perlu menyelaraskan pengajaran dan proses mereka dengan kemajuan teknologi.
Di milenium baru, teknologi mulai menyusup ke dalam proses pendidikan, baik siswa maupun guru mulai memanfaatkan teknologi dengan cara-cara dasar (atau dikenal sebagai Pendidikan 2.0). Saat teknologi semakin maju, termasuk infiltrasi massal ke internet yang lebih banyak dibuat pengguna, pendidikan 3.0 dibentuk.
Siswa sekarang memiliki akses sendiri ke informasi, opsi untuk belajar secara virtual, dan platform untuk terhubung secara mudah dengan pengajar dan siswa lain. 

Karena itu, pendidikan tidak lagi berpusat pada bolak-balik antara siswa dan guru, tetapi mengambil pendekatan yang lebih berjejaring. Di sini siswa memiliki koneksi langsung ke berbagai sumber informasi yang berbeda.


Hal ini mendorong pengembangan cara belajar yang lebih dipersonalisasi di mana kemandirian siswa dan pendekatan unik untuk belajar dirayakan. Namun, kita sekarang berada di puncak fase baru, yaitu pendidikan 4.0.

Apa itu Pendidikan 4.0?
Pendidikan 4.0 adalah pendekatan pembelajaran yang diinginkan yang sejalan dengan revolusi industri keempat yang muncul. Revolusi industri ini berfokus pada teknologi cerdas, kecerdasan buatan, dan robotika; yang semuanya sekarang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Agar sekolah dapat terus menghasilkan lulusan yang sukses, mereka harus mempersiapkan siswanya untuk menghadapi dunia di mana sistem fisik cyber ini lazim digunakan di banyak tempat kerja. 

Hal ini berarti mengajari siswa tentang teknologi sebagai bagian dari kurikulum, mengubah pendekatan pembelajaran secara keseluruhan, dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Mempersiapkan Siswa untuk Industri yang Berkembang
Sistem fisik cyber terus menjadi lebih terintegrasi ke dalam berbagai industri, yang pasti memengaruhi persyaratan keterampilan bagi karyawan.
Penelitian oleh McKinsey mengungkapkan bahwa, 60% siswa SD saat ini akan bekerja diperusahaan yang saat ini belum tersedia. Artinya, pekerjaan-pekerjaan tradisonal besar kemungkinan akan diambil alih oleh robot sehingga manusia akan bekerja di sektor yang baru sama sekali. 

Karena itu, revolusi industri 4.0 akan berdampak pada soft skill yang akan dibutuhkan siswa di masa depan.
Pada tahun 2016, Forum Ekonomi Dunia menghasilkan laporan yang mengeksplorasi perubahan ini. Mereka memperkirakan bahwa pada tahun 2020, "lebih dari sepertiga rangkaian keterampilan inti yang diinginkan dari sebagian besar pekerjaan akan terdiri dari keterampilan yang belum dianggap penting untuk pekerjaan saat ini."

Beberapa soft skill yang mereka klaim akan sangat diperlukan seperti pemecahan masalah yang kompleks, keterampilan sosial, dan keterampilan berproses. 

Teknologi juga memungkinkan kita untuk terus terhubung, dan sebagai hasilnya, peran pekerjaan menjadi lebih fleksibel dan mudah beradaptasi.


Pendidikan 4.0 adalah tentang berkembang seiring dengan waktu. Bagi  institusi pendidikan hal ini berarti memahami apa yang dibutuhkan lulusan di masa depan.

Pendekatan Baru untuk Belajar
Dengan menyelaraskan metode pengajaran dan pembelajaran dengan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan, sekolah yakin bahwa mereka berhasil mempersiapkan siswanya untuk menghadapi revolusi industri 4.0.

Salah satu metode untuk melakukannya adalah dengan mendorong pembelajaran jarak jauh. Hal ini merupakan gagasan bahwa siswa akan mempelajari pengetahuan teoretis dari jarak jauh menggunakan sarana digital, sambil memastikan bahwa keterampilan praktis apa pun masih dipelajari secara tatap muka. Ini adalah cara belajar yang lebih fleksibel yang membutuhkan akuntabilitas dan manajemen waktu yang baik.

Langkah ke arah cara kerja ini juga akan menuntut siswa untuk belajar bagaimana beradaptasi dengan cepat terhadap situasi baru yang mungkin mereka hadapi dalam karier mereka ke depannya.

Pembelajaran berbasis proyek menyoroti pentingnya mempelajari serangkaian keterampilan yang luas yang kemudian dapat diterapkan pada setiap metode pembelajaran. Sebagai lawan berpegang pada seperangkat keterampilan yang secara langsung terkait dengan peran pekerjaan tertentu.

Pendekatan terhadap ujian dan penilaian juga akan berubah, dan penilaian menggunakan angka diganti. Kita mungkin melihat siswa dinilai "berdasarkan menganalisis perjalanan belajar mereka melalui proyek berbasis pembelajaran praktis dan pengalaman atau kerja lapangan."

Tentu saja, perubahan terbesar yang mungkin kita lihat sebagai bagian dari Pendidikan 4.0 adalah penggabungan teknologi ke dalam proses belajar. Tujuan akhir dari penggunaan teknologi ini dan mengadopsi metode baru adalah untuk menempatkan siswa di tengah proses pendidikan, "mengalihkan fokus dari mengajar ke belajar."

Beradaptasi dengan Realitas Baru
Institusi pendidikan bergerak menuju cara belajar yang lebih personal. Dengan memanfaatkan data dan melacak kinerja siswa, sekolah akan dapat mengidentifikasi siswa yang kesulitan dan memberikan strategi pembelajaran yang dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pendidikan 4.0 merangkul kemajuan teknologi dan menggunakannya dalam pembelajaran serta memperlakukan setiap siswa sebagai individu. Selain itu, juga dipahami bahwa kebutuhan belajar setiap orang dan hasil yang diinginkan akan selalu berbeda sehingga pendekatannya pun berbeda.

Namun, pendekatan baru terhadap struktur program pendidikan ini kemungkinan besar akan menciptakan siswa yang lebih fleksibel dan berpengetahuan luas serta dapat menyesuaikan diri dengan berbagai pilihan karier; sesuatu yang akan sangat berharga di masa depan.

Terlepas dari itu semua, untuk menghasilkan lulusan yang siap menghadapi masa depan, sekolah harus berkembang, dan menerima bahwa perubahan pada beberapa proses tradisional tidak dapat dihindari. Sekolah perlu mendidik siswa untuk mampu beradaptasi dan bekerja sesuai dengan zaman mereka nanti.

Tulisan ini disari dari https://www.qs.com/everything-you-need-to-know-education-40/ dengan judul asli “Everything You Need to Know About Education 4.0
Sumber gambar: manufacturingglobal.com 

x
x

Wei Ji dan Krisis Kualitas Pendidikan




"Wei Ji," kosa kata bahasa Cina yang artinya krisis. Kata ini merupakan gabungan dari Wei (bahaya) dan Ji (peluang). Artinya, dalam setiap krisis selalu tersimpan peluang. Di saat orang-orang sedang berkutat dengan dampak yang disebabkan oleh krisis, orang Tionghoa sudah memikirkan PELUANG apa yang ada di balik krisis itu. 

Di saat yang lain mengeluh akan lambatnya perekonomian gara-gara pandemi corona, di saat yang bersamaan ada orang lain yang memahami Wei Ji dengan perspektif yang berbeda. Orang-orang ini berpikir taktis untuk melewati masa krisis dan bersiap untuk memenangkan peluang selepas badai berlalu.

Baca juga:Memahami Tri Sentra Pendidikan dan Kegalauan Orang Tua

Pandemi corona menyebabkan penutupan ribuan sekolah di seluruh dunia dan memaksa sekolah untuk menyediakan pembelajaran jarak jauh bagi lebih dari 32,5 juta jiwa siswa yang ada di rumah. Karena krisis inilah kita terbantu untuk melihat kualitas pendidikan kita dan apa yang mungkin terjadi di masa depan.


Banyak sekolah membuat pembelajaran online untuk murid-murid mereka yang terpaksa tinggal di rumah. Meskipun konsep pembelajaran jarak jauh telah ada selama setidaknya 30 tahun terakhir, tetapi bagi sebagian besar sekolah di Indonesia hal itu cukup baru sebagai model pembelajaran instruksional utama. Sehingga tidak mengherankan jika kita sering menemukan banyak keluhan dari orang tua. 

Akan tetapi, sesuai dengan pepatah China di atas keadaan sekarang menyadarkan bahwa kualitas pendidikan kita masih kalah jauh dibanding negara-negara lain. Pandemi covid-19 menampar para pemangku kebijakan, pemerintah, dan para pendidik bahwa pendidikan kita telah tertinggal jauh. Kita telah ketinggalan beberapa langkah di belakang negara-negara lain di Asia.
Selama ini pemerintah atau pendidik selalu bangga dengan kualitas pendidikan kita dan anehnya publik pun percaya saja. Apalagi ketika presiden Jokowi mengajak sakyat Indonesia untuk menghadapi revolusi 4.0. Dana triliunan rupiah digelontorkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sayangnya dana sebanyak itu tidak didukung oleh SDM yang memadai. Alhasil kualitas pendidikan kita setia untuk berjalan di tempat.

Pendidikan yang terus berubah-ubah ternyata tidak berpengaruh terhadap metode ajar guru. Alhasil, ketika pemerintah menerapkan pembelajaran jarak jauh banyak sekolah gelagapan. Banyak sekolah belum siap dengan perubahan-perubahan demikian.

Pandemi ini selain menampilkan kelemahan serta kualitas pendidikan kita, juga memberi satu peluang bahwa era digital mengharuskan semua tenaga pendidik beradaptasi. Jika selama ini banyak tenaga pendidik cenderung menolak ketika diminta untuk mempelajari metode pengajaran baru, selama pandemi mereka dipaksa untuk belajar.
Satu poin yang disyukuri adalah pandemi ini membantu pemerintah dan pihak sekolah untuk memetakan langkah apa yang hendak diambil. Untuk sepuluh hingga 20 tahun yang akan datang, sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya akan berada di mana.

Keadaan mendesak adalah ibu dari segala peluang. Itulah ungkapan dari seorang penulis Mark Twain (1835-1910). Covid-19 ini mau tidak mau mendesak para pendidik untuk meningkatkan kompetensi mereka. 


Keadaan yang berbuah peluang ini sebenarnya lebih tepat jika kita manfaatkan sebagai momen pemerataan pendidikan kita karena mungkin salah satu ibu permasalahan pendidikan kita ialah ketidakmerataan.


Tidak meratanya pendidikan bagi anak miskin dan kaya menjadi salah satu sorotan dalam hasil kajian Programme for International Student Assessment (PISA). Laporan PISA menunjukkan, 64 persen siswa dari keluarga miskin bersekolah di sekolah yang kurang baik --kekurangan guru dan bahan ajar. 

Apakah akan berjalan di tempat atau berlangkah maju? Jika pihak sekolah dan pemerintah peka dengan keadaan saat ini sebenarnya pandemi covid-19 membantu mereka untuk menentukan langkah dan target sekolah 10-20 yang akan datang. Agar cita-cita menjadi Indonesia emas di tahun 2045 dapat tercapai.

Sumber gambar: tatkala.co





Memperbaiki Kualitas Pendidikan Menyongsong Revolusi Industri 4.0

                          (Ket: pelajar dengan gaya belajar modern)

Indonesia saat ini tengah menghadapi revolusi industri 4.0. Sederet upaya untuk menghadapinya mulai dipersiapkan, misalnya dengan mengubah metode pembelajaran atau juga kurikulum pendidikan yang ada saat ini.

Dalam kurikulum itu pembelajaran informatika mulai diterapkan di sekolah-sekolah. Alasannya, mata pelajaran informatika menjadi pintu masuk menghadapi revolusi industri 4.0.

Mengapa demikian? Karena untuk menghadapi perkembangan zaman, maka metode pembelajaran juga harus sesuai dengan kebutuhan zaman. Di antaranya, mempersiapkan model pembelajaran science, technology, engineering, art, dan math (STEAM) untuk mengejar ketertinggalan.

Menurut praktisi pendidikan Indonesia, Indra Charismiadji ada tiga poin yang perlu diubah dari sisi edukasi:

Pertama dan paling utama adalah mengubah pola pikir generasi muda Indonesia. Melalui perubahan pola pikir, anak-anak akan mencari aktivitas lain selain bermain gedget karena mereka menggunakan gedget untuk bekerja.

Penggunaan gedget untuk bekerja akan membuat anak bosan, jika gedget juga digunakan untuk bermain. Oleh karena itu, untuk menyambut revolusi 4.0 langkah yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir anak.

Baca juga: Memahami Tri Sentra Pendidikan dan Kegalauan Orang Tua

Jika pola pikir sebelumnya menggunakan gedget untuk bermain menjadi gedget sebagai lahan mereka menciptakan sesuatu yang baru dan menjawab kebutuhan publik.

Kedua, pentingnya peran sekolah dalam mengasah dan mengembangkan bakat siswa. Di sini sekolah memfasilitasi dan memberikan dukungan. Akan tetapi, rupanya ada yang keliru dengan sistem pendidikan kita saat ini.

Anak-anak ke sekolah seharusnya untuk belajar dan mempersiapkan mereka menghadapi dunia nyata yang berubah dengan sangat cepat. Tetapi, sekolah tidak banyak berubah selama ratusan tahun.

Para ahli setuju bahwa pendidikan saat ini dirancang di era industri untuk pekerjaan di pabrik. Dan mentalitas sebagai pekerja masih bertahan di sekolah-sekolah.

Ketiga, pengembangan kemampuan institusi pendidikan untuk mengubah model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman ini. Menyiapkan siswa sesuai dengan kebutuhan zaman adalah langkah positif yang sebaiknya dilakukan oleh semua sekolah. 

Pembelajaran berbasis teknologi atau mengarahkan siswa untuk belajar berbasis teknologi adalah cara sekolah menyiapkan siswanya untuk menghadapi tantangan zaman.

Pembelajaran pada abad 21 hendaknya disesuaikan dengan kemajuan dan tuntutan zaman. Begitu juga dengan metode yang dikembangkan oleh sekolah agar mengubah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru atau pendidik menjadi pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia masa depan anak bahwa mereka harus memiliki kecakapan berpikir dan belajar. Kemampuan berkomunikasi, kreatif, problem solving dan berkolaborasi adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siswa.

Persoalan yang Dihadapi
Dari penjelasan di atas sebenarnya terdapat beberapa persoalan yang dihadapi oleh pendidikan kita saat ini:

1. Anak-anak dididik dengan setumpuk tugas dan mengatur kehidupan mereka dengan bunyi lonceng. Sepanjang hari siswa tidak melakukan apa pun selain mengikuti petunjuk. “Silahkan duduk, berhenti berbicara dengan temanmu, ambil buku dan kerjakan tugas halaman sekian.”

Di sekolah siswa akan dihargai sejauh dia mampu menghafal semua pelajaran yang diberikan guru. Keberhasilan mereka tergantung pada instruksi dan melakukan persis dengan apa yang diperintahkan.

Di dunia modern orang-orang harus menjadi kreatif, dapat menyampaikan ide-ide dan kolaborasi dengan orang lain. Sayangnya, siswa tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan tersebut dalam suatu sistem sekolah yang didasarkan pada nilai-nilai era industri.

Keterampilan dan minat siswa kurang diberi perhatian sehingga tak jarang siswa terpaksa mengembangkan dirinya dengan melakukan kursus-kursus di luar sekolah yang tentu saja menguras banyak tenaga dan biaya tambahan.

2. Sebagian pembelajaran yang terjadi di sekolah tidak otentik karena masih menggunakan metode menghafal. Sistem ini mendefinisikan satu set generik pengetahuan bahwa semua anak harus tahu dan menghafal materi yang diberikan guru.

Beberapa bulan kemudian guru mengukur berapa banyak pengetahuan yang bertahan dengan memberikan ujian atau ulangan. Kita tahu bahwa sistem belajar tersebut tidak otentik karena sebagian besar setelah ulangan atau ujian, materi hafalan kita itu akan hilang.

Belajar bisa jauh lebih dalam dan otentik. Hal ini bisa menjadi jauh lebih dari sekedar menghafal. Sayangnya itulah yang satu-satunya yang diukur oleh pihak sekolah dan ulangan atau ujian adalah jalan untuk menghargai kualitas siswa.

Baca juga: Pendidikan Indonesia dan Sisi Positif Corona

Anak-anak menghabiskan waktu berjam-jam untuk menghafal dan kemudian mereka akan segera melupakannya. Tidak ada ruang untuk mengembangkan passion dan hobi.

Kita memiliki sistem pembelajaran di mana setiap anak harus belajar hal yang sama pada waktu yang sama dan dengan cara yang sama. Hal ini sebenarnya bertentangan karena kita semua memiliki passion dan ketertarikan yang berbeda.

Akan tetapi, apakah saat ini sekolah-sekolah telah membantu peserta didiknya untuk menemukan dan mengembangkan passion mereka? Apa keahlianku? Apa yang ingin aku lakukan? Apakah keahlianku sesuai dengan kebutuhanku di masa depan? Sistem ini tampaknya tidak adil dan tidak peduli dengan kebutuhan masa depan manusia.

Begitu banyak orang berbakat gagal dalam sistem sekolah tradisional. Untungnya mereka mampu mengatasi kegagalan ini ketika berada dalam lingkungan masyarakat. Tetapi tidak semua orang mampu melakukannya.

Mereka sukses karena mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan harus bekerja lebih keras lagi dibandingkan dengan orang lain. Mereka berkembang karena tahu apa bakat dan passion yang dimiliki sehingga saat berada di tengah masyarakat bakat dan passion itu yang terus dikembangkan.

Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subjek belajar belum dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita masih belum mampu berbuat banyak.

Pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan suatu bangsa belum digarap dengan semestinya. Akan tetapi, segala sesuatu diukur berdasarkan apa yang ditulis di kertas.

Passion dan bakat yang dimiliki siswa kurang diberi tempat. Alhasil, setelah menyelesaikan kuliah banyak di antara kita yang belum mengenal passionnya sendiri. Sebab sejak TK selalu diajarkan untuk menghafal beragam materi pelajaran sehingga tidak mampu untuk mengetahui bakat dan passionnya.

3. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sebaiknya menjadi wadah yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dalam kelas karena media internet dan digital, anak-anak dapat memiliki akses ke semua informasi di dunia.

Baca juga: STEAM Sebagai Dasar Pendidikan di Masa New Normal

Teknologi telah memungkinkan siapa saja untuk mempelajari sesuatu. Tetapi, karena takut kehilangan kontrol sistem ini belum digunakan secara luas. Sistem pendidikan kita yang berkembang di era industri menjadi tidak relevan dan kurang efektif lagi untuk zaman sekarang.

Jika kita ingin belajar yang efektif dan menarik, maka tidak ada keraguan agar kita secara fundamental mengubah sistem pendidikan kita dalam menyambut revolusi 4.0.

Besar harapan agar pemerintah lebih giat lagi dalam mengurus pendidikan negeri ini agar kita dapat berdiri sejajar dengan negara maju lainnya dalam hal pendidikan.

Dari seratus perguruan tinggi terbaik dunia, tidak satu pun berasal dari Indonesia. Padahal kita negara besar dan punya potensi alam yang besar pula. Kini kita bersama-sama berlari sekencang mungkin mengejar ketertinggalan itu.

Sumber gambar: eduaksi.com