Menu

Manusia Menurut Victor E. Frankl

                                 (Ket. gambar: Viktor E. Frankl)
Berbagai pandangan tentang manusia telah dipelajari oleh banyak orang akhir-akhir ini. Pandangan-pandangan itu juga ditentukan oleh banyak faktor seperti ilmu yang diperoleh oleh seorang ahli, analisis data yang diperoleh, dan pengalaman masa lalu. Frankl menjelaskan manusia berdasarkan pengalamannya. Bagi Frankl manusia bukanlah tikus atau anjing. Manusia adalah manusia, yang memiliki dimensi kemanusiaan tersendiri.[1]
Bagi Frankl, yang pernah mengalami hidup dalam camp konsentrasi, manusia bukan hanya sekadar tulang, darah, dan daging. Di dalam tubuh manusia ada jiwa yang jauh lebih  luhur dan tinggi dari pada sekadar onggokan daging yang kasar. Tubuh manusia memang bisa disakiti dan disiksa oleh siapa saja, tetapi jiwa dan akal budi tidak bisa diambil dari manusia.

Baca juga: Mengenal Khazanah Islam

Manusia memiliki sejarah yang jauh lebih luhur dari semua makhluk yang pernah hidup di bumi. Sejarah masa lalunya itu turut membentuk masa depannya. Oleh karena manusia memiliki masa lalu, manusia juga mampu menentukan masa depannya. Dengan demikian, wajar jika manusia rela melakukan segala sesuatu untuk bertahan hidup.

Ada yang Menggerakkan untuk Bertahan Hidup
Manusia merasa bahwa hidup adalah sesuatu yang mutlak dimilikinya. Apalagi jika dilihat dari kehidupan Frankl saat di camp konsentrasi. Dia mengalami kekurangan makanan dan siksaan yang tiada henti. Frankl mengalami kelaparan yang hebat; Ia mempertahankan hidup hanya dengan sedikit roti dan sup yang bernilai gizi rendah. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, Frankl tetap berjuang agar bertahan hidup meskipun de facto keadaannya sangat buruk. Ia berjuang untuk masa depan yang lebih baik dan membahagiakan.
Manusia juga menjadi penentu finalitas untuk dirinya sendiri[2]. Kata finalitas ini dapat diartikan sebagai akhir dan tujuan untuk diraih. Finalitas hidup manusia tidak ditentukan oleh Simpanse atau Orang Utan yang memiliki kedekatan secara genetik dengan manusia. Finalitas hidup manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, setiap manusia, pada dasarnya, dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya baik secara mental maupun spiritual.
Dia tetap memiliki martabatnya sebagai manusia meskipun dia hidup dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit. Manusia adalah makhluk yang rasional yang dapat menentukan masa depannya. Finalitas yang hanya dimiliki oleh manusia dalam menentukan masa depannya menjadi salah satu unsur terpenting bagi manusia.
Manusia juga memiliki pilihan untuk bertindak, kebebasan berpikir, dan menentukan sikap dalam setiap keadaan.[3] Dengan demikian, kebebasan yang ada dalam diri dapat digunakan untuk mencari makna hidupnya. Manusia dituntut untuk menentukan makna hidupnya, bukan hidup yang memberikan makna baginya.
Oleh karena itu, manusia menjadi penentu pilihannya. Setiap pribadi menjadi penentu pilihannya. Sebesar apapun tekanan dari luar untuk menentukan pilihan, pilihan tersebut akan tetap bergantung pada manusia itu sendiri. Kebebasan yang dimiliki oleh manusia dalam menentukan pilihannya itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Hewan memang bisa menentukan pilihannya, tetapi dia tidak tahu apakah pilihannya itu berdampak baik atau buruk untuk dirinya.
Dalam kehidupan, banyak hal memang dapat dirampas oleh orang lain. Akan tetapi, kebebasan batin dan spiritual tidak dapat dirampas dari manusia. Kebebasan batin dan spiritual membuat kehidupan memiliki makna dan tujuan. Makna dan tujuan hidup inilah menjadi kekuatan bagi manusia dalam menghadapi tantangan hidupnya.

Makna Hidup
Dengan memiliki makna dan tujuan hidup manusia akan berusaha untuk selalu kuat dalam menghadapi tantangan hidupnya. Usaha dan kehendak yang kuat untuk mencari, menemukan, dan kemudian mengalami makna dalam kehidupan menjadi ciri dan hakikat eksistensi manusia. Kehidupan manusia senantiasa memiliki makna yang mendalam sampai pada momen kehidupan terakhir.
Banyak pengalaman manusia yang memiliki makna. Kecenderungan manusia selama ini memandang hanya pengalaman menarik yang memiliki makna. Manusia lupa bahwa pengalaman buruk sekali pun memiliki makna. Semua pengalaman memiliki makna. Akan tetapi, yang menjadi persoalan sekarang adalah sejauh mana manusia memaknai semua pengalaman itu.

Baca juga: Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls

Jika hidup benar-benar memiliki makna, makna itu harus ada dalam penderitaan. Dengan demikian, “penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, meskipun penderitaan itu dalam bentuk nasib dan kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tidak sempurna.”[4]
Makna hidup dapat dialami melalui pekerjaan atau perbuatan. Tindakan kreatif yang kelihatan adalah sumbangan ide yang kelihatan dan adanya ide itu untuk melayani orang lain. Hal ini menyangkut pemberian kepada dunia. Selain itu makna hidup juga dapat dialami melalui orang lain, yaitu dengan mengalami sesuatu seperti kebaikan, kebenaran, atau dengan merasakan keindahan alam, budaya serta dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya. Hal ini menyangkut penerimaan setiap pribadi oleh dunia.
Cara lain untuk menemukan makna hidup adalah melalui cara manusia menyikapi penderitaan yang tidak bisa dihindari. Penderitaan menjadi kesempatan yang besar untuk menemukan makna hidup. Cara rasional menyikapinya adalah dengan menerima bahwa dalam kondisi seperti itu pun tetap ada makna dan tujuan. Karena pada dasarnya hidup bukanlah sebuah masalah yang harus diatasi, tetapi realita yang harus dijalani. Situasi-situasi yang sangat buruk, yang menimbulkan keputusasaan dan tampaknya tidak ada harapan, dilihat Frankl sebagai situasi-situasi yang memberikan kesempatan yang besar untuk menemukan arti hidup.
Manusia yang memaknai semua pengalamannya tentunya karena dia juga mengalami cinta dalam hatinya. Cinta manusia kepada sesamanya atau lebih spesifiknya mereka yang paling dekat dengannya seperti keluarga dan sahabatnya akan turut mematangkan pemahamannya. Cinta menjadi nilai penting dalam hidup manusia karena manusia membutuhkan cinta.

Bertahan Karena Cinta
Cinta sudah ada dalam diri setiap manusia dan tentunya manusia itu juga ingin untuk dicintai. “Cinta merupakan tujuan utama dan tujuan tertinggi yang ingin diraih manusia.”[5] Kemudian dapat dipahami mengapa manusia diselamatkan oleh cinta dan di dalam cinta. Bisa dipahami bagaimana seorang manusia yang tidak lagi memiliki apapun di dunia ini masih dapat merasakan arti kebahagiaan meskipun sejenak karena memikirkan orang yang dicintai.

Baca juga: [Resensi Buku] Absurditas dalam Novel Sampar

Cinta tidak dibatasi oleh fisik dari orang yang dicintai. Dia akan menemukan makna yang lebih dalam di dalam jiwa dan batinnya. Apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, bukan hal yang penting[6]. Pada intinya adalah orang itu merasakan cinta sebagai kekuatan hidupnya.
Cinta mutlak dibutuhkan oleh siapa saja dalam hidup ini. Cinta bisa membangkitkan manusia dari keterpurukan hidupnya. Ketika de facto dia dibenci oleh banyak orang, dia akan tetap dicintai oleh orang-orang terdekatnya. Hal itu akan membuat orang itu tetap kuat. Meskipun kekuatan cinta tidak dapat dilihat dengan kasat mata, cinta mampu meningkatkan kehidupan batin setiap orang yang sedang mengalami kekosongan dari kerterasingan dan kemiskinan spiritual hidupnya.
Berdasarkan penjelasan di atas manusia menurut Frankl manusia adalah makhluk yang memiliki pilihan untuk bertindak, kebebasan berpikir, menentukan sikap dalam setiap keadaan, penentu finalitas, dan memiliki cinta. Kelima unsur terpenting ini menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lain.
Manusia menjadi makhluk yang istimewa di antara makhluk-makhluk yang lain karena manusia memiliki kelima unsur ini. Melalui kelima unsur utama ini manusia secara perlahan menemukan makna hidupnya. Hal ini menjadi penting karena makna hidup yang dicari manusia kemudian membuat kelima unsur utama ini mengharuskan manusia mengoptimalkannya. 


Sumber gambar 1 : excellencereporter.com
Sumber gambar 2 : blog.mizanstore.com

Daftar Pustaka
Victor, Frankl E.Man’s Search For Meaning: Revised and Updated. New York: Washington Square Pres, 2014.





[1] Frankl, E. Victor, Man’s Search For Meaning: Revised and Updated (New York: Washington Square Press, 2014), 10.
[2] Frankl, Man’s Search For Meaning, 87.
[3] Frankl, Man’s Search For Meaning, 86.
[4] Frankl, Man’s Search For Meaning, 89.
       [5] Frankl, Man’s Search For Meaning, 57.
       [6] Frankl, Man’s Search For Meaning, 58.

Mengenal Khazanah Islam

                                          (Ket. gambar: Ibn Khaldun)

Abad ke-14 dunia Islam mengalami kelesuan, akan tetapi dari Tunisia lahirlah seorang pemikir besar yaitu Ibn Khaldun (Abdurrahman ibn Khaldun, w. 808 H/1406 M)[1] ke pentas dunia. Kelesuan yang dimaksudkan di sini adalah dalam dunia Islam tidak banyak melahirkan pemikir-pemikir besar seperti abad-abad sebelumnya. Akan tetapi, tetapi tidak dapat dipungkiri setiap abad dalam dunia Islam selalu melahirkan tokoh-tokoh yang cemerlang. 
Ibn Khaldun adalah salah satu tokoh besar Islam yang lahir pada abad ketika dunia Islam sedang lesu. Beliau dikenal tidak menyukai filsafat sama seperti Al-Ghazali dan Ibn Taimiyah, sayangnya Ibn Khaldun kurang mengenal dengan jelas sosok Ibn Taimiyah. Ibn Khaldun yang tidak menyukai filsafat secara fundamental mengkritik filsafat.
Sebagai seorang tokoh yang tidak menyukai filsafat dengan mudah dapat kita pastikan dia dipengaruhi oleh pemikir besar Islam sebelumnya, yaitu Al-Ghazali. Dengan latar belakang yang demikian, arah pemikiran beliau tentu banyak mengikuti pengaruh Al-Ghazali. Petikan dari opus magnum Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid di mana ia membuat catatan untuk kita tentang persepsinya mengenai pembagian ilmu pengetahuan saat itu, dan tentang bagaimana ia secara fundamental mengkritik filsafat:
“Ibn Khaldun menyanggah kebenaran kosmologi Neoplatonis karena, menurut dia, pembagian wujud yang berakhir kepada Akal Pertama itu adalah tanpa dasar dan bersifat sewenang-wenang. Sedangkan alam kenyataan ini jauh lebih bervariasi daripada yang dikira oleh para filsuf yang ia gambarkan sebagai berpandangan picik itu. 
Tambahan lagi, Akal Pertama gagasan para filsuf itu telah meredusir Tuhan menjadi suatu kenyataan, yang meskipun dikatakan absolut dan wajib, namun juga bersifat bukan-pribadi (impersonal). Ini tidak saja berlawanan dengan ajaran agama, tapi juga membuat paham ketuhanan menjadi kehilangan fungsinya sebagai sumber moralitas, baik individual maupun sosial. Karena itu filsafat tidak saja palsu, bahkan berbahaya untuk manusia”[2].


Baca juga: Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls

Dalam penerapannya untuk gejala alam, Ibn Khaldun berpendapat bahwa filsafat lebih-lebih lagi tidak bisa diandalkan untuk menjelaskan hakikat objek-objek material. Seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun menampik klaim filsafat atas dasar postulat bahwa sesuatu yang benar secara filosofis seharusnya tidak saja memang benar, tapi juga dapat dibuktikan dalam alam kenyataan. 
Akan tetapi, Ibn Khaldun mengatakan, persoalannya ialah argumentasi-argumentasi filosofis itu termasuk dalam sistem proposisi umum (universal, kullī), sedangkan kenyataan serta gejala fisik atau material tergolong ke dalam kategori-kategori khusus (partikular, juz’ī), yang kenyataan kebendaannya bersifat terperinci.
Pandangan Ibn Khaldun menyepelekan filsafat, untuk konteks sekarang dia tergolong menganut paham rasionalisme. Perkembangan sains mungkin dapat menjadi salah satu penyebab pemikiran yang demikian. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri cara berpikir seperti ini merupakan cara berpikir khas kaum rasionalis yang menganggap filsafat tidak mampu menjelaskan hakikat objek-objek material. Filsafat tidak memiliki objek material yang memadai untuk menjelaskan sesuatu yang real. Filsafat hanya mengandalkan rasio dan logika untuk menjelaskan segala sesuatu. Dengan demikian, filsafat bagi Ibn Khaldun sulit diterima untuk menjelaskan sesuatu.
Sebagai seorang pemikir yang anti filsafat tentu Ibn Khaldun tidak berangkat dari ruang hampa. Maksudnya, Ibn Khaldun berani mengkritik filsafat karena dia sudah memperlajari filsafat sebelumnya. Bukan hanya Ibn Khaldun, tokoh besar seperti Al-Ghazali juga demikian. Mereka melancarkan kritik terhadap filsafat karena mereka pada dasarnya sudah memperlajari filsafat. Karena, bagaimana mungkin mereka mengkritik filsafat jika mereka sendiri tidak pernah mempelajarinya? 
Hal ini setidaknya seperti disampaikan oleh Nurcholis Madjid, “….tetapi, sementara mengkritik habis filsafat, mereka mempelajarinya dengan penuh tanggung jawab dan, lebih lanjut, dengan caranya masing-masing masih menunjukkan penghargaan kepada segi-segi positif tertentu filsafat itu, terutama yang bersangkutan dengan disiplin berpikir teratur.”[3] Dengan demikian, tidak fair jika kemudian kita menganggap Ibn Khaldun maupun Al-Ghazali yang anti filsafat tidak mempelajari filsafat.
Tentu saja pandangan mereka bertolak belakang dengan pandangan Ibn Rusyd yang menganggap filsafat memiliki faedah dalam pemikiran manusia. Mungkin untuk objek yang dipelajari filsafat tidak memiliki objek real, tetapi melalui disiplin ilmu ini kita diperkenalkan pada logika dan keterarturan dalam berpikir.


Baca juga: [Resensi Buku] Absurditas dalam Novel Sampar

Ibn Rusyd tetap setia bahwa filsafat pada dasarnya digunakan oleh semua orang dalam hidupnya. Lalu, menjadi pertanyaan untuk kita sebagaimana disampaikan oleh Budhy Munawar Rachman dalam diktat kuliahnya adalah, “apakah sikap Ibn Rusyd ini lebih merupakan hasil dari kecenderungannya yang kuat pada filsafat yang mengorbankan doktrin-doktrin agama; dalam arti, apakah ia melihat kebenaran itu hanyalah kebenaran yang dibuktikan dengan argumen filsafat, sehingga persoalan penafsiran atas doktrin-doktrin agama serta kebenaran-kebenaran yang dikandung wahyu harus didasarkan pada argumen filsafat
Atau, apakah sikapnya di antara kedua kutub ekstrim ini, yakni agama dan filsafat, justru sebaliknya, yakni ia berupaya menerapkan metode filsafat pada agama yang harus diimani terlebih dahulu? Atau sikapnya ingin adanya penyelarasan atau harmonisasi antara agama dan filsafat yang tidak mungkin dipertentangkan karena keduanya adalah dua saudara yang saling melengkapi dan saling membutuhkan?”[4]
Bagi Munawar Rachman, sikap filsuf Andalus ini berupaya dengan segala  cara untuk menyelaraskan kedua kutub tersebut yang sebenarnya masing-masing mengekspresikan hakikat kebenaran yang sama. Masing-masing mempunyai sifat dan karakteristiknya sendiri, dan tidak selayaknya terdapat pertentangan atau perbedaan. Maka, tidak mungkin terjadi pertentangan di antara tokoh-tokoh dari masing-masing kutub tersebut, meskipun perbedaan itu tampak di permukaan. 
Meskipun sebagian besar tokoh agama terutama Imam Al-Ghazali menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa antara kedua kutub ini, kedua bentuk ekspresi dari kebenaran yang satu ini, terdapat perbedaan dan pertentangan yang begitu besar dan sangat jelas yang tidak mungkin diingkari atau diabaikan.
Setelah berakhir zaman Ibn Rusyd dan Al-Ghazali terdapat tokoh besar lain yang lahir beberapa abad kemudian yaitu al-Afghani. Riwayat hidupnya cukup rumit karena dia dikenal berasal dari Afganistan, tetapi dalam studi-studi selanjutnya dia dikatakan berasal dari Iran. Akan tetapi, bukan itu yang ingin disampaikan di sini, melainkan pokok pemikirannya. 
Beliau dikenal sebagai tokoh reformasi dalam dunia Islam. Akan tetapi, tidak semudah yang dibayangkan karena meskipun dia dianggap sebagai tokoh reformasi pokok-pokok pemikirannya tidak semua diterima dalam kalangan Islam. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kemudian dalam riwayat hidupnya tokoh ini selalu berpindah-pindah tempat tinggal karena dia dibenci banyak orang, tetapi dicintai sedikit orang karena pemikiran reformasinya.
“Pandangan pokok al-Afghani ialah bahwa untuk berhasil mengembalikan kejayaannya yang lalu dan sekaligus guna menghadapi Abad Modern, umat harus kembali menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang lebih murni. Karena pemahaman serta pengamalan umat akan agamanya seperti yang ia saksikan terbukti membawa kekalahan terhadap bangsa-bangsa bukan Muslim. 


Baca juga: Krisis Toleransi dan Kekerasan Terhadap yang Lain

Al-Afghani memastikan tentang adanya sesuatu yang salah dalam pemahaman dan pengamalan agama itu, dan tentang adanya suatu bentuk semangat keislaman yang lebih murni, yang kini hilang atau melemah. Al-Afghani berpendapat bahwa semangat itu terletak dalam apa yang menjadi salah satu tema pokok seruannya di atas, yaitu berpikir rasional dan bebas”[5].
Pandangan Al-Afghani ini berangkat dari kegalauannya melihat dunia Barat yang maju sedemikian pesat, sedangkan dunia Islam masih asyik dengan kegemilangan sejarahnya. Mereka lupa bahwa dunia Barat sudah jauh lebih maju dibanding dengan beberapa abad sebelumnya. Oleh karena itu, Al-Afghani menyerukan untuk kebangkitan umat Islam. 
Kebangkitan yang dimaksudkan adalah agar dunia Islam segera mengejar ketertinggalan dari dunia Barat. Hal ini paling nampak ketika Napoleon Bonaparte dengan mudah menaklukkan Mesir. Pengalaman ini kiranya tidak diharapkan oleh dunia Islam jika berkaca pada pengalaman beberapa abad sebelumnya bahwa pasukan Muslim begitu perkasa di hadapan pasukan Salib dari Eropa. Akan tetapi, Eropa Barat telah mengalami kebangkitan yang luar biasa sehingga mereka tidak kesulitan ketika berhadapan dengan orang-orang Muslim. Oleh karena itu, Al-Afghani menyerukan bagi semua umat Islam untuk membuka mata dan melihat dunia ‘nyata’ dan mulai belajar.

Tinjauan Selintas tentang Modernisme Islam[6]
Pemikiran ini dilandasi oleh perkembangan Eropa pada zaman itu, sedangkan dunia Islam seperti berjalan di tempat. Setelah mengalami masa kejayaan beberapa abad sebelumnya para tokoh Islam cenderung untuk ‘menutup diri’ dan tidak mempelajari situasi dunia. Alhasil, kemajuan Eropa tidak dapat dibendung oleh negara-negara Islam. Hal ini sebenarnya bukanlah karena agama Islam yang menutup diri, melainkan orang-orang Islam. 
Para pemeluknya yang tidak ingin terbuka pemikirannya dan mempelajari apa yang terjadi di sekitar mereka. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian seorang pemikir besar Islam seperti Muhammad Abduh sendiri mengatakan bahwa “Islam tertutup oleh kaum Muslimin (al-Islām mahjūb-un bi al-muslimīn), salah satu ungkapan kunci kaum modernis.”[7]


Baca juga: Covid-19: Penderitaan yang Melahirkan Harapan

Pernyataan ini tentu saja berangkat dari pengalaman Muhamad Abduh sendiri setelah berkelana ke mana-mana bersama sang guru Al-Afganhi. Setelah berkelana ke mana-mana Muhamad Abduh akhirnya berseru untuk mulai mempelajari warisan para pemikir Muslim sebelumnya. Pengaruh paling besar yang diberikan oleh tokoh ini adalah dimasukkannya mata kuliah Filsafat di Universitas al-Azhar. Hal ini penting bagi dunia Islam karena Universitas ini salah satu universitas terbesar bukan hanya dalam kalangan Islam, tetapi juga dunia.
Dengan dimasukkannya mata kuliah Filsafat sebagai salah satu mata kuliah yang harus dipelajari, maka umat Islam yang pada masa sebelumnya sebagian besar umat Islam hanya mempelajari ilmu Kalam juga mengenal filsafat. Dengan demikian, logika yang sebelumnya ditinggalkan dan hanya dipelajari oleh sedikit orang mulai dipelajari secara umum. 
Meskipun di kemudian hari usaha Muhamad Abduh mengalami kegagalan karena Universitas al-Azhar gagal bersaing dengan universitas-universitas yang jauh lebih modern di luar Mesir, tetap saja Abduh telah mewarisi sesuatu yang istimewa dalam dunia Islam. Abduh telah meletakkan dasar untuk menghadapi dunia modern jika ingin tetap eksis.
Jadi memasuki dan ikut serta dalam Abad Modern bukanlah persoalan pilihan, melainkan suatu keharusan sejarah. Dan dari perspektif sejarah kemanusiaan itu, kemodernan, seperti telah dikemukakan terdahulu, bukanlah monopoli suatu tempat atau kelompok manusia tertentu. Selalu ada kemungkinan bagi tempat-tempat dan kelompok-kelompok manusia lain untuk mengejar dan menyertainya. Kita hanya harus menyebut Jepang sebagai contoh bangsa bukan-Barat yang tidak saja berhasil menyertai kemodernan itu, bahkan telah meluncur dengan kecepatan yang mencengangkan, termasuk untuk orang-orang Barat sendiri.

Sumber Gambar:Wikimedia



[1] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 44.
[2] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 45.
[3] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 47.
[4] Budhy Munawar-Rachman, IMAN YANG DITERANGI AKAL BUDI: Ibn Rusyd dan Usaha Harmonisasi Filsafat dan Agama, Diktat Perkuliahan Filsafat Islam (Jakarta: STF Driyarkara, 2018), hal 5.
[5] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 58-59.
[6] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 61.
[7] Nurcholish Madjid, Warisan Intelektual Islam, hal 62.

Dialog dan Hidup Bersama Menurut Filsafat Politik Immanuel Kant dan John Rawls

                                  (Ket. gambar: Sekolah seni dari Athena)

Menurut Kant, manusia adalah makhluk rasional yang menghendaki sebuah hukum untuk membatasi kebebasan. Karena manusia dapat tergoda oleh kecenderungan egoistisnya yang bersifat hewani, mengecualikan dirinya dari hukum di mana pun dia dapat melakukan itu. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seorang tuan yang mengharuskannya untuk mematuhi suatu kehendak yang sahih secara universal. Namun, pemimpin tertinggi ini seharusnya adil dalam dirinya sendiri dan juga dengan yang lain. Mengorganisir makhluk rasional, yang bersama-sama menuntut hukum universal bagi kelangsungan hidup mereka.
Namun, setiap individu secara diam-diam cenderung mengecualikan dirinya dari yang lain. Oleh karena itu, haruslah konstitusi negara dirancang sedemikian rupa, meskipun para warga negara saling bertentangan satu sama lain dalam sikap-sikap pribadi mereka. Pertentangan-pertentangan itu dapat dibatasi dengan cara sedemikian rupa, sehingga perilaku publik warga negara akan sama, seakan-akan mereka tidak mempunyai sikap-sikap jahat. 


Baca Juga: [Resensi Buku] Absurditas dalam Novel Sampar

Perlu diketahui bahwa tugas semacam itu tidak menyangkut perbaikan moral manusia. Melainkan hanya berarti menemukan cara bagaimana mekanisme alamiah dapat diterapkan pada manusia sedemikian rupa. Oleh karena itu, antagonisme sikap-sikap keji mereka akan membuat mereka saling memaksa untuk tunduk pada hukum yang memaksa. Dengan jalan itu, menghasilkan sebuah keadaan damai untuk memberlakukan hukum.
Menurut Kant, prinsip universal dari hukum adalah bertindaklah secara lahiriah sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan kehendak bebasmu dapat bersesuaian dengan kebebasan setiap orang menurut sebuah hukum. Sebuah hukum yang mengikatmu, namun hal itu tidak berarti bahwa aku harus membatasi kebebasananku semata-mata demi ikatan kewajiban itu. Melainkan, akal budi mengatakan bahwa kebebasan individual terbatas dengan cara ini, berkat ide yang implisit di dalamnya.
Konsep rasionalitas Kantian dipandang gagal menjembatani pusparagam budaya pada tataran global. Karena terjebak dalam paradigma berpikir eurosentris yang parokial sekaligus hegemonial. Oleh karena itu, John Rawls mengembangkan teorinya berdasarkan tradisi universalisme imperatif kategoris Immanuel Kant. Rawls mencoba membangun struktur dasar sebuah masyarakat yang adil. Dengan demikian, Rawls memahami teorinya sebagai warisan paradigma Kantian, mencerminkan kerinduan kodrati manusia untuk tidak memperlakukan yang lain sebagai sarana, tetapi tujuan  dalam dirinya.


Baca Juga: [Resensi Buku] Søren Aabye Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri

Menurut Rawls, kondisi purba merupakan syarat yang memungkinkan semua warga menerima prinsip-prinsip keadilan atau kontrak sosial. Karena mereka melihat bahwa dengan itu mereka semua diuntungkan. Dalam kondisi seperti ini mereka tidak mengetahui model masyarakat macam apa yang akan mereka tempati serta posisi atau jembatan sosial apa yang mereka peroleh. 
Rawls menyebut syarat atau situasi ini sebagai “cadar ketidaktahuan”. Di bawah “cadar ketidaktahuan” ini, manusia dalam “posisi asali” mendiskusikan prinsip fairness untuk sebuah tatanan politis yang adil. Hal ini dipandang adil karena dirumuskan dalam posisi asali di mana orang belum tahu ia akan masuk dalam kelompok yang mana.
Rawls menambahkan bahwa manusia dalam original position sekurang-kurangnya mengetahui secara umum tentang hubungan sosial dan ekonomi. Sebab pengetahuan ini merupakan conditio sine qua non, agar mereka dapat berdiskusi lebih lanjut. Selain itu, mereka memiliki akal budi kodrati dan pemahaman akan keadilan. Lantaran semua berada pada posisi yang sama dan tidak seorang pun dapat berpikir tentang prinsip dasar yang dapat menguntungkan. Maka, prinsip-prinsip keadilan merupakan hasil sebuah kesepakatan atau perbincangan fair.

Baca Juga: [Resensi Buku] Filosofi Teras: Seni Manajemen Diri

Berdasarkan syarat-syarat tadi, menurut Rawls, manusia pada original possition memutuskan untuk mengikuti dua macam prinsip. Pertama, kesetaraan. Setiap orang memiliki hak yang sama atas keseluruhan sistem kebebasan asasi yang sama dan diakses oleh semua orang. Prinsip ini bertolak dari pengandaian bahwa dalam posisi purba tidak seorang pun mengetahui pandangan politis, filosofis, dan religius masing-masing di masa depan. Yang tergolong kebebasan asasi di sini adalah kebebasan politis seperti kebebasan memilih secara pasif dan aktif serta kebebasan berbicara dan berserikat. Juga kebebasan suara hati, kebebasan berpikir, dan perlindungan dari penahanan sewenang-wenang.
Kedua, prinsip perbedaan. Ketidaksamaan sosial dan ekonomis diterima sejauh kondisi itu mendatangkan keuntungan lebih besar bagi kelompok sosial yang mengalami nasib paling buruk. Dengan teori keadilan, Rawls mengembangkan liberalisme dengan basis filosofis. Atas dasar faktum ketidaksamaan sosial, Rawls mau menunjukkan syarat-syarat rasional yang mungkin demi terbentuknya kerja sama sosial yang stabil dan adil.

Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/users/janeb13

[Resensi Buku] Absurditas dalam Novel Sampar


Judul            : Sampar (judul asli: La Peste)
Penulis         : Albert Camus
Penerjemah  : NH. Dini
Penerbit       : Yayasan Pusataka Obor Indonesia
Cetakan       : III, November 2013
Tebal           : x + 386 halaman

Setelah menulis novel L’Etranger (Orang Asing) novel pertamanya terbit tahun 1942, Albert Camus menulis novel La Peste (Sampar). Sepuluh tahun setelah novel ini terbit, Camus mendapat nobel sastra tahun 1957. Novel Sampar bercerita tentang epidemi sampar di kota Oran, Aljazair. Sebuah kota yang pada awalnya tenang dan kalem-kalem saja kemudian ditimpa wabah sampar. Diawali dengan kemunculan masif tikus-tikus yang linglung kemudian mati dan diikuti angin panas lalu hadirlah sampar di kota Oran.
Dokter Rieux (tokoh utama) hampir putus asa melihat epidemi yang merajalela ini. Dokter Rieux tidak berambisi untuk menjadi juru selamat dari Sampar. Ia hanya melakukan kewajibannya sebagai manusia dengan keahlian yang dia miliki. Para dokter tidak dapat menyembuhkan penyakit, tetapi hanya dapat mendiagnosa, memutuskan kemudian memerintahkan untuk karantina. Nasib masyarakat Oran benar-benar tragis. Mungkin setragis kondisi pandemi Covid-19 sekarang.

Baca Juga: [Resensi Buku] Lamafa: Pahlawan dari Lamalera

Sampar mengurung kota Oran. Kota ini ditutup dan tidak boleh ada penduduk yang keluar masuk atau dengan istilah sekarang lockdown. Terjadi banyak pengucilan, penyingkiran, dan pengasingan karena Sampar. Dalam alur cerita, Rieux bertemu Tarrou yang menjadi lawan bicaranya. Selain itu ada tokoh bernama Cottard yang mencerminkan watak egois dan licik. Namun tiga karakter utama dalam novel Sampar adalah Pencerita, Kota dan Penyakit Sampar. Pada dasarnya melalui novel Sampar ini Albert Camus ingin menunjukan bahwa manusia akan mengeluarkan protesnya ketika berhadapan dengan kondisi-kondisi absurdnya.
Novel ini merupakan karya terlaris dari Albert Camus. Paham Absurditasnya jelas diwakilkan dalam novel ini. Sebagai karya sastra dan filsafat, Camus sukses menjadikan novelnya ini sebagai senyawa. Wabah Sampar adalah sesuatu yang absurd, tidak ada yang dapat menjelaskan mengapa kota Oran yang awalnya tenang saja kemudian diserbu Sampar. Sampar yang datang mendadak membuat penduduk Oran tidak sanggup berbuat apa-apa selain pasrah.

Baca Juga: Covid-19: Penderitaan yang Melahirkan Harapan

Tidak ada yang dapat menjelaskan ketenangan kota Oran yang tiba-tiba terusik dan bagaikan kota akibat merebaknya sampar. Tidak ada yang dapat menerangkan pula sebab penyakit sampar yang telah menyerang kota Oran. Penyakit sampar datang secara mendadak dan membuat seluruh penduduk kota cemas. Akan tetapi, penduduk kota seakan tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya dapat menerimanya saja.
Permasalahan menjadi absurd karena penyakit sampar bukanlah akibat dari suatu sebab. Apalagi sebagai hasil konspirasi oknum-oknum tertentu. Penyakit sampar benar-benar misteri. Apalagi penyakit ini pun membunuh anak-anak yang tidak berdosa. Penderitaan yang ada di dunia ini semakin tidak bisa dimengerti ketika korbannya adalah anak-anak kecil yang tidak bersalah belum berdosa.
Bila diungkap latar sejarahnya, cara Camus mengelaborasi suasana kota Oran yang terserang epidemi merupakan proyeksi keadaan negeri Prancis yang sedang dalam cengkeraman pendudukan Nazi. Kuantitas epidemi Sampar dan perang yang terjadi di dunia sama banyaknya. Keduanya juga sama-sama menyerang tanpa disadari manusia.

Baca Juga: [Resensi Buku] Søren Aabye Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri

Sama dengan novelnya Orang Asing, Camus memotret absurditas yang menjadi wajar. Deskripsi latar pada Sampar tidak lebai untuk menggambarkan sebuah kota yang terkurung oleh wabah penyakit Sampar. Sederhana dan apa adanya. Selain itu karakter tokoh-tokohnya juga tidak terlihat sebagai superman, mereka hanya ibarat mewakili unsur-unsur: Pencerita, Kota, dan Sampar. Novel ini juga dapat dipandang sebagai paket seni, sastra dan filsafat. Camus membungkusnya dalam sampar yang menyajikan absurditas dengan cara yang sama sekali tidak absurd. Secara keseluruhan novel sampar menjadi pintu gerbang untuk memasuki pemikiran-pemikiran Albert Camus yang identik dengan pembahasan penderitaan, pemberontakan dan solidaritas.

Sumber gambar: shopee.co.id


Covid-19: Penderitaan yang Melahirkan Harapan



Pengantar
Di manakah Allah saat ini? Apakah Allah yang menciptakan bencana ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bermunculan tatkala penderitaan merundung kehidupan manusia. Sebuah konsep yang menyalahkan eksistensi Allah tatkala penderitaan yang dihadapi tidak memiliki jalan keluar. Semakin besar penderitaannya, semakin banyak manusia yang menyebut nama Allah, entah untuk penguatan, atau pun dalam kemarahan.[1] Mereka menyebut Allah untuk sebuah pertolongan atau pun untuk menyalahkan atas situasi yang dialami.
Situasi serupa mungkin dihadapi oleh sebagian manusia yang hidup pada masa Covid-19 melanda dunia. Sekadar informasi tentang Covid-19, Covid-19 merupakan sebuah Virus yang berasal dari sebuah kota China, yaitu Wuhan. Virus ini dapat dengan mudah menyebar ke tubuh manusia. Kematian seolah-olah menjadi sebuah candaan yang dapat dengan mudah direnggutnya.
Kehadiran virus ini telah menimbulkan ketakutan, keresahan, dan kecemasan bagi banyak orang. Berhadapan dengan situasi seperti ini, tatkala manusia tidak menemukan jalan keluarnya, banyak di antara mereka mempertanyakan eksistensi Allah. Jargon-jargon yang disematkan pada diri Allah seperti Maha baik, Maha pengasih, Maha pengampun dan lain-lain seketika hilang. Eksistensi Allah pun terus dipertanyakan. Tentang Allah, manusia bertanya, bahkan menuntut: Apakah Allah ada? Jika Ia ada, mengapa Ia tega membiarkan tragedi ini menimpa manusia?[2]
 Benarkah Allah menciptakan bencana ini? Untuk menjawab itu, mungkin perlu melihat kembali perkataan tokoh klasik, yaitu santo Agustinus. Agustinus mengatakan, penderitaan dan kejahatan yang ada di dunia ini tidak boleh pernah diterangkan sebagai yang berasal dari Allah, karena itu bertentangan dengan hakikat Allah sebagai yang maha baik.[3] 


Allah pada hakikatnya adalah pribadi yang baik. Penderitaan yang menimpa manusia pada saat ini berasal dari kebebasan yang dimiliki manusia. Kebebasan membuat manusia mampu melakukan apa pun sesuai dengan kemampuannya, bahkan menciptakan kejahatan dan penderitaan. Penderitaan dan kejahatan di dunia ini disebabkan oleh manusia yang salah menggunakan kebebasannya.[4] Allah tidak pernah menciptakan penderitaan karena Allah adalah kasih.

Allah  yang  Mahabaik
Allah pada hakikat adalah pribadi yang baik. Mungkin banyak di antara kita yang mempertanyakan, apakah Allah benar-benar baik? Jika Allah itu sungguh baik, mengapa Ia menciptakan bencana? Allah tidak pernah menciptakan penderitaan dan bencana.
Allah menciptakan hukum alam yang ketika dilanggar mendapat hukum karma. Ia menciptakan kebebasan kepada manusia untuk berkuasa atas ciptaan yang lain. Namun, manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap ciptaan lain. Di lain pihak, manusia tidak dapat menyangkal bahwa ia ciptaan yang lemah, dan betapa sering ia tak setia pada komitmen merawat bumi serta solider dengan sesama.[5] 
Ciptaan-Nya mencerminkan wajah Allah. Dalam kosa kata santo Bonaventura, di balik alam semesta tersembunyi rasio kekal yang mengatur, yaitu kebijaksanaan Allah.[6] Namun, banyak manusia juga berpendapat bahwa bencana dan penderitaan merupakan peringatan dari Allah.
Frankil Graham putra penginjil Billy Graham pernah mengatakan “'Tuhan akan menggunakan badai itu untuk membawa bangunan rohani. Tuhan punya rencana, Tuhan memiliki tujuan.''[7] Hal ini ia ungkapkan seminggu setelah badai Kartrina melanda Amerika Serikat, seminggu setelah New Orleands dilanda banjir dan membunuh banyak orang di Amerika Serikat. 

Lalu, terkait situasi Covid-19, apakah kehadiran virus itu merupakan ciptaan Allah? Tidak, Allah tidak pernah menciptakan penderitaan. Seperti yang St. Agustinus katakan, kebebasan yang dimiliki manusia justru menciptakan hadirnya penderitaan. Namun, bagaimana dengan kebebasan yang dimiliki manusia, apakah kebebasan itu berasal dari Allah? Karena ketika kebebasan itu berasal dari Allah, dengan sendirinya Allah bertanggung jawab atas penderitaan tersebut. Inilah problem yang kita hadapi pada saat ini. Pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi Allah bermunculan tatkala penderitaan berhadapan dengan situasi batas serta buntunya jawaban atas penderitaan tersebut.


Sejarah pun telah membuktikan kebaikan hati Allah. Dalam kitab Keluaran dikisahkan campur tangan Allah atas kehidupan bangsa Isreal. Allah menuntun bangsa Israel melalui Musa untuk keluar dari Mesir dan menuju tanah terjanji. Kebaikan diri Allah pun nyata terwujud dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus. Yesus telah menderita untuk keselamatan manusia. Yesus mengorbankan diri untuk menghapus dosa manusia.

Salah satu metafora utama untuk menjelaskan makna kematian Kristus adalah korban atau lebih tepat korban penghapus dosa.[8] Allah telah mengutus putra-Nya untuk menghapus dosa manusia melalui penderitaan-Nya di salib. Yesus bangkit dari kematian dan mengalahkan maut dosa. Manusia pun demikian, manusia pun akan dibangkitkan bersama Kristus. Penderitaan dan kebangkitan Kristus inilah yang perlu kita refleksikan dalam menghadapi situasi manusia zaman ini, secara khusus dalam menghadapi situasi Covid-19.

Penderitaan dan Kebangkitan Kristus: Refleksi atas Covid-19
Situasi Covid-19 telah menimbulkan ketakutan dalam diri manusia, takut terkena virus lalu meninggal dunia. Bukan hanya itu, efek lain dari kehadiran virus ini berdampak pula pada tatanan ekonomi, sosial, dan politik. Kecemasan yang berlebihan pun mulai muncul, penyakit-penyakit yang memiliki indikasi seperti Covid-19 akan dicurigai, ketika bersin atau flu biasa pun diindikasikan gejala terserang Covid-19. Para kriminal melancarkan aksi dengan alasan di-PHK dari kantor.
Semua orang menggunakan segala cara agar dapat bertahan hidup, kematian sesuatu yang sangat ditakutkan. Namun, ketika  kita merefleksikan salib dan Kebangkitan Kristus, kita tidak perlu cemas dan takut akan kematian itu, karena kita yakin dan percaya bahwa kita pun akan diselamatkan oleh Kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus melahirkan pengharapan yang besar. Demikian pun dalam situasi saat ini, keyakinan umat beriman akan kebangkitan Kristus menguatkan mereka dalam menghadapi Covid-19.
Melalui kebangkitan-Nya, Yesus telah membuktikan diri-Nya sebagai Allah yang menyelamatkan. Ia manusia sekaligus Allah. Kebangkitan yang menjadi momen mengungkapkan jati diri Yesus.[9] Melalui kebangkitan-Nya pula, Yesus memberi pengharapan kepada umat beriman sebuah keselamatan kekal.
Kebangkitan Kristus juga merupakan wujud nyata kebaikan hati Allah kepada manusia. Allah menyerahkan Putra-Nya untuk menderita, disalib, wafat, dan bangkit demi dosa dan keselamatan manusia. Kebangkitan Kristus adalah satu-satunya harapan umat manusia pada saat ini.


Di tengah masalah Covid-19 yang belum menemukan jalan akhir, penawar Covid-19 yang belum ditemukan, rusaknya tatanan ekonomi, sosial, dan politik, serta banyak manusia yang meninggal, tentunya harapan kita ada pada keselamatan yang Yesus tawarkan. Bagi seorang Kristen, sumber dari harapan manusia ialah Yesus Kristus.[10] Yesus adalah kebangkitan yang membawa keselamatan. Ia telah bangkit dari maut, demikian pun umat-Nya akan di bangkitkan bersama-Nya.

Penutup
Situasi Covid-19 telah menimbulkan keresahan bagi manusia pada saat ini. Covid-19 telah menimbulkan kecemasan dan ketakutan, ketakutan terbesar adalah terkena virus lalu meninggal. Untuk itu, semua manusia berusaha semampu mereka untuk dapat bertahan hidup. Kehidupan akibat Covid-19 ini seperti seorang pujangga yang berpetualang di hutan sendirian dan kapan saja hidupnya dapat direnggut oleh binatang buas.
Setiap orang memikirkan bagaimana cara agar dapat bertahan hidup di tengah pandemi ini. Namun di balik semua itu, mereka memiliki harapan besar agar masalah ini dapat selesai. Satu-satunya harapan manusia pada saat ini ada pada campur tangan Allah. Sebab hingga saat, pengetahuan sains belum menemukan penawar dari Covid-19. Allah adalah pengharapan satu-satunya. [Apri Lowa]



DAFTAR PUSAKA

Sunarko, Adrianus. Teologi Kontekstual. Jakarta: OBOR, 2016.
..........., Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik. Jakarta: OBOR, 2017.
Stern, Gary. Can God Intervene?: How Religiom Explains Natural Disaster. London: Praeger, 2007.
Andreas Atawolo, “Corak Harapan Kristiani”, dalam https://andreatawolo.id/2020/04/teologi-harapam/.

Sumber gambar 1: localprayers.com
Sumber gambar 2: teepublic.com



[1] Gary Stern, Can God Intervene?: How Religion Explains Natural Disaster, (London: Praeger, 2007), hal. 2.
[2] Bdk. Andreas Atawolo, “Corak Harapan Kristiani”, dalam https://andreatawolo.id/2020/04/teologi-harapam/. Diakses pada tanggal 3 Mei 2020, pukul 20:35.
[3] Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual, (Jakarta: OBOR, 2016), hal. 55.
[4] Adrianus Sunarko, Teologi Kontekstual, hal. 56.
[5] Bdk. Andeas Atawolo, “Corak Harapan Kristiani”, dalam https://andreatawolo.id/2020/04/teologi-harapam/. Diakses pada tanggal 3 Mei 2020, pukul 20:35.
[6] Andreas B. Atawolo, Hasrat Allah akan Jiwa Manusia: Belajar dari Teknologi St. Bonaventura, (Jakarta: OBOR, 2017), hal. 25.
[7] Gary Stern, Can God Intervene?: How Religiom Explains Natural Disaster, (London: Praeger, 2007), hal. 6.
[8] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik, (Jakarta: OBOR, 2017), hal. 13.
[9] Adrianus Sunarko, Kristologi: Tinjauan Historis-Sistematik. hal. 10.
[10] Bdk. Andeas Atawolo, “Corak Harapan Kristiani”, dalam https://andreatawolo.id/2020/04/teologi-harapam/. Diakses pada tanggal 3 Mei 2020, pukul 20:35.