Menu

Wae Rebo Desa Internasional yang Tersembunyi





Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Flores tanpa singgah di Wae Rebo. Boleh saja Labuan Bajo dengan Komodonya, Ende dengan danau Kelimutunya, Lamalera dengan perburuan pausnyaa atau juga Sumba dengan pesona savananya telah mendunia, tapi masih ada surga tersembunyi di Manggarai. Wae Rebo.
Pesona Wae Rebo yang telah mendunia turut mengantar nama Manggarai ke kancah nasional dan internasional. Wae Rebo unik karena keberhasilan penduduknya mempertahankan tradisinya dan alam sekitarnya.
Masyarakat Wae Rebo bisa mempertahankan kontruksi bangunannya yang “unik”. Mbaru niang (rumah bundar berbentuk kerucut) begitu orang Manggarai menyebutnya. Kontruksi mbaru niang inilah yang telah mengundang orang dari berbagai belahan dunia untuk melihatnya. Mbaru niang terdiri atas lima tingkat,yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri.
Tingkat pertama adalah lutur (tenda), yang akan ditempati masyarakat.
Tingkat kedua adalah lobo (loteng), yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang lainnya.
Tingkat ketiga adalah lentar, untuk menyimpan benih-benih seperti jagung, padi dan kacang-kacangan.
Tingkat keempat adalah lempa rae, sebagai tempat menyimpan makanan cadangan.
Tingkat kelima adalah hekang kode digunakan untuk menyimpan langkar (anyaman dari bambu berbentuk persegi guna menyimpan sesajian buat leluhur) sekaligus menjadi tempat paling atas dalam rumah mbaru niang dan merupakan tempat suci.


Filosofi Mbaru Niang
Mbaru niang bukan hanya sekadar tempat berlindung dari cuaca dan gangguan dari luar. Bagi suku Manggarai yang menghuni desa Wae Rebo, mbaru niang merupakan wujud keselarasan manusia dengan alam serta merupakan cerminan fisik dari kehidupan sosial warga desa Wae Rebo.
Konon dulunya leluhur orang Manggarai yang bermukim di sana memiliki delapan orang pewaris. Oleh karena itu, terdapat delapan suku yang tersebar di dataran Manggarai. Namun leluhur mereka saat itu tidak membangun delapan rumah untuk dihuni oleh masing-masing kepala keluarga. Hanya terdapat tujuh buah mbaru niang yang masing-masing dihuni oleh tujuh keluarga dari setiap suku. Tujuannya adalah agar sosialisasi antara suku semakin erat dan dapat terus terjalin. Oleh karena itu sudah sangat jelas maksud dan tujuan dari pembangunan tujuh buah mbaru niang.

Setengah dari tiap mbaru niang terdiri dari kamar-kamar tidur yang disusun melingkar mengelilingi pusat. Sedangkan setengah yang lain adalah ruang terbuka untuk berkumpul. Ruang itulah yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Para leluhur dahulu membuat tujuh buah rumah dengan formasi setengah lingkaran. Di bagian tengah adalah rumah gendang (niang gendang, atau rumah utama, yang berukuran lebih besar dan memiliki puncak yang sedikit berbeda. dan enam rumah lain disebut niang gena atau rumah biasa)

Reis: Menyapa Tamu
Masyarakat Wae Rebo khususnya juga masyarakat Manggarai umumnya akan menyapa tamu yang berkunjung ke rumahnya. Dalam bahasa Manggarai menyapa tamu diistilahkan dengan kata reis. Simbol upacara reis adalah tuak kapu. Simbol ini menunjukkan keterbukaan tuan rumah terhadap tamu yang ada di rumahnya.
Reis adalah sapa dari seorang tuan rumah (ngara mbaru) kepada tamu (meka) yang datang berkunjung (lambu/lejong) ke rumahnya. Upacara itu ditandai dengan tuak kapu (moke) serta kata-kata sapaan. Biasanya, setelah sang tamu duduk, tuan rumah (semua tuan rumah yang ada pada saat tamu berkunjung; ayah, ibu, anak yang sudah dewasa) akan menyalami sang tamu. Bahkan dalam acara adat resmi, semua tamu disalami tak peduli tua muda, kecil besar, kecuali memang masih anak-anak. Setelah salaman, maka disitulah sang tuan rumah mengucap beberapa kalimat sapaan dalam bahasa manggarai.
Lako les obo ko? Neho tendeng keta tuka mese dami neho joreng tuka koe, ai ite mai lejong beo lambu mbaru liba natas dami anak do. Lewen kebe tadang salang lako dite mori, cala manga runi kaka nduris oke musi situ, cala manga babang le kakar tana oke wa situ, ai kapu lobo pa’a lami ite mesed ite merik gami, nian kali ga kapu le gauk lami neka le sara, yo toe reweng kanang ho tuak dami reis agu kapu ite mori.”
Reis itu merupakan sebuah budaya yang menjadi ciri khas tersendiri bagaimana masyarakat Manggarai sebagai tuan rumah (ngara mbaru) terkait tata cara serta perilaku santun dan penghormatan yang diberikan lewat penerimaan dan penyambutan tamu (meka) yan berkunjung (lambu/lejong).


Reis tiba di’a (penyambutan)
Pertama, sapaan pembukaan. Bagian ini disebut sebagai pengantar untuk membuka acara penerimaan tamu. Pengantar ini disampaikan oleh salah satu perwakilan dari anggota yang mendiami sebuah kampung atau rumah.
Biasanya dipilih dari salah satu anggota kampung yang bisa menjadi penutur adat atau pemuka masyarakat yang berfungsi sebagai laro jaong (juru bicara) dan letang temba (mewakili) warga kampug.
Kedua, sebagai ungkapan kegembiraan. Bagian ini menunjukkan kegembiraan warga kampung karena mereka melihat tamu telah tiba. Ungkapan kegembiraan (naka) itu diwakili oleh penutur adat dengan kata kapu (memangku).
Selanjutnya penutur adat mengungkapkan kekaguman dan pujian kepada tamu yang bersedia datang ke kampong mereka dengan penuh perjuangan. Dia harus melewati sungai, gunung dan lembah. Hal ini menunjukkan cinta dan perhatian sang tamu terhadap semua warga yang mendiami sebuah kampung. 
Ketiga, Penutup. Di sini tamu diberi ayam jantan berwarna putih dan tuak (dalam kondisi tertentu  bisa menggunakan bir) sebagai puncak kegembiraan dari warga kampung yang diwakili oleh penutur adat sebagai tanda kehormatan. Di sini tuak menjadi lambang penyerahan seluruh harapan kepada tamu yang datang untuk bergembira bersama semua warga kampung. 



No comments:

Post a Comment