Menu

Resolusi Akhir Tahun: Antara Harapan dan Angan-angan di Tahun yang Baru



Tak terasa kita sudah memasuki penghujung tahun 2019 dan sebentar lagi memasuki tahun 2020. Telah banyak pengalaman yang sudah dilalui. Pengalaman-pengalaman selama tahun 2019 bisa menjadi momen untuk mengevaluasi diri.
Momen untuk melihat kembali apakah semua resolusi tahun 2018 lalu berhasil dijalankan atau masih ada yang lupa atau gagal. Jika itu menjadi alasannya, lakukan evaluasi diri agar tidak terjadi kesalahan yang sama di tahun yang baru.
Seperti biasa, setiap di penghujung tahun selalu ada resolusi untuk tahun yang baru. Beragam resolusi yang hendak dilakukan di tahun depan. Entah itu resolusi jangka pendek maupun resolusi jangka Panjang. Entah mengapa, kata resolusi selalu enak diucapkan di akhir tahun. Apa mungkin karena untuk mengevaluasi semua pengalaman setahun sebelumnya atau untuk sekadar menyampaikan harapan dan angan-angan di tahun yang baru.
Tujuan hidup yang lebih baik menjadi daftar yang ingin dicapai di tahun yang akan datang. Setelah berjibaku dengan semua tugas dan kesibukan, maka memasuki tahun yang baru menjadi momen untuk menyampaikan resolusi dan angan-angan yang hendak dicapai. Namun, seringkali resolusi dari tahun ke tahun tidak tercapai secara matang. Apakah resolusi hanya sebatas tradisi yang datang menjelang tahun baru?
Karena itu, alangkah baiknya kita tak perlu membuat resolusi muluk-muluk yang langsung dilupakan bahkan di pekan pertama tahun baru. Coba memulai dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan selama setahun. Percayalah, semua soal kebiasaan.
Biasakan diri melakukan hal-hal baik di awal tahun dan selalu ingat untuk terus memelihara komitmen. Komitmen menjadi kunci untuk meraih mimpi yang besar. Ketika komitmen terus dipelihara, yakinlah mimpi itu bisa diraih.

Alasan kita Gagal
Dari fakta yang ditemukan hanya segelintir orang yang mampu mempertahankan resolusi yang dibuat di akhir tahun. Tidak adanya komitmen, kemauan dan kepercayaan terhadap kemampuan diri menjadi senjata pembunuh yang menghancurkan rencana dan harapan. 
Keinginan untuk memperbaiki diri hanya eksis di fase awal sebagai syarat untuk menyambut pergantian tahun. Selanjutnya tidak ada langkah konkret untuk mencapai semuanya itu. Seperti halnya siklus daur ulang, evaluasi resolusi di akhir tahun akan sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah setiap tahun selalu ada ritus-ritus demikian? Hemat saya, hal itu dikarenakan sebagian besar orang belum benar-benar memikirkan tujuan mereka secara detail dan jelas. Hal inilah yang menyebabkan adanya ketidaksiapan dalam mengembangkan dan mempertahankan komitmen. Dengan kata lain, target yang dibuat terlalu tinggi atau sulit untuk dicapai sehingga hanya akan menjadi beban di tahun yang akan datang.
Pertanyaan sederhana untuk kita adalah apa yang menjadi impian atau resolusiku di tahun 2020? Silahkan dijawab dan tulis di tempat-tempat yang biasa anda lihat. Apapun resolusinya pastikan setiap langkah ke depannya dalam menggapai impian merupakan langkah-langkah yang terukur dan berada pada koridor yang benar. Pengalaman kegagalan di tahun-tahun yang lalu bisa menjadi pembelajaran agar harapan, angan-angan dan resolusi di tahun yang akan datang terwujud.
Jangan sampai setiap tahun kita menentukan resolusi dan selalu dengan semangat 45 untuk meraihnya. Namun seiring perjalanan waktu sampai akhir tahun masih sebatas keinginan hampa dan berhenti di angan-angan. Kalau pun dilakukan hanya pada minggu atau bulan-bulan awal di tahun depan.
Menjaga komitmen untuk mewujudkan resolusi di tahun baru bukanlah tugas mudah. Tapi, apapun tantangan, jika komitmen sudah dibulatkan maka semuanya bisa diraih. Waktu tidak pernah berputar ke belakang. Kita tidak bisa berteriak kepada sang empunya waktu agar waktu diputar kembali ke masa lampau agar harapan dan resolusi tahun lalu bisa diperjuangkan.
Pada akhirnya kita hanya bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya waktu yang ada. Agar di penghujung tahun tidak lagi ada penyesalah, dan sebait kata penyesalan yang selalu diucapkan, yaitu SEANDAINYA. Seandainya dulu saya melakukannya. Seandainya dulu saya mulai menyicilnya. Dan segudang seandainya lagi yang belum atau bahkan kita lupa melakukannya.
Terkadang hanya ada penyesalan di penghujung tahun. Dan penyesalan selalu pahit untuk dikenang. Karena itu, agar tidak ada penyesalan di penghujung tahun alangkah lebih elok untuk langsung gaspol di minggu pertama tahun 2020. Tetapi sebelum berbicara jauh ke sana sebaiknya perlu berpikir secara realistis ketika menuliskan resolusi tahun depan.
Sebab tidak semua rencana akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Menetapkan target kecil dan masuk akal untuk dicapai sepanjang tahun jauh lebih baik daripada segudang target yang tidak fokus. Bukan sejauh mana perubahan yang dicapai, melainkan adanya perubahan gaya hidup itu penting dan terus konsisten dalam mengusahakannya.

Beberapa Langkah yang Bisa Dilakukan
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar apa yang sudah kita rencanakan di awal dapat tercapai pada akhirnya: pertama, seperti yang telah disampaikan di atas paling utama dalam mewujudkan resolusi adalah komitmen dan konsisten. Komitmen dan konsisten pada apa yang sudah kita tulis dan tentukan agar kita pun fokus pada pencapaian target ke depannya.
Selain itu, perlu untuk proaktif dalam mengisi waktu yang ada tanpa banyak menunda-nunda. Kebiasaan menunda menjadi masalah klasik yang tak pernah lekang waktu. Seperti pepatah kuno Latin, Periculum latet mora yang berarti bahaya mengintai penundaan. Menunda menjadi pembunuh berdarah dingin sekaligus menyimpan bom waktu untuk kita semua. Jika tidak ingin gagal lagi, buanglah sejauh mungkin kebiasaan buruk ini.
Hal lain yang perlu disiapkan untuk mewujudkan resolusi tahun depan adalah memiliki kepribadian yang kokoh, tidak mudah goyah jika mengalami hambatan dan tantangan dalam meraih impian. Semua itu bertujuan agar kita melatih disiplin diri dalam menuntaskan tugas dan tidak setengah-setengah ketika melakukannya.
Pada akhirnya, semua itu perlu dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan. Kenapa resolusi yang disarankan tidak muluk-muluk sangat luar biasa karena perlu juga mengetahui kapasitas diri. Mengetahui kemampuan diri agar resolusi itu bisa dipenuhi. Karena itu perlu aktifitas yang bisa dilakukan secara berkesinambungan untuk mewujudkan semua resolusi yang sudah dipikirkan dan diharapkan di tahun yang akan datang.

Temukan apa yang kamu cintai
Yakinlah bahwa semuanya akan indah pada waktunya
Ketahuilah bahwa kita semua punya tantangan,
Tantangan itu membuat kita lebih kuat
Karena itu cintailah apa yang kamu ingin lakukan
Niscaya itu akan membuatmu semangat melakukannya.


Beberapa Fakta Menarik Wae Rebo



Tak elok rasanya jika berkunjung ke Pulau Flores dan melewatkan kampung tradisional Wae Rebo. Keindahan alam dan pesona yang ditampilkan bisa memikat hati siapa pun. Nama Wae Rebo semakin menjulang tinggi sejak 27 Agustus 2012 lalu usai meraih Award of Excellence, anugerah tertinggi dalam UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation 2012 di Bangkok.
Penghargaan diberikan untuk Mbaru Niang (rumah kerucut) kampung Wae Rebo, sebagai bentuk pengakuan terhadap arsitektural tradisional yang tetap eksis dan dilestarikan oleh masyarakatnya.
Penghargaan diberikan berdasarkan beberapa kriteria, seperti bagaimana situs itu mencerminkan semangat local wisdom, kegunaan, kontribusinya terhadap lingkungan sekitar dan keberlangsungan budaya serta sejarah lokal.
Untuk itu, ada beberapa fakta menarik tentang Wae Rebo yang tidak diketahui banyak orang
1.      Mbaru Niang (rumah kerucut)
Mbaru niang merupakan satu-satunya warisan nenek moyang orang Manggarai yang masih bertahan hingga sekarang. Sejak tahun 1970 setelah bupati Manggarai mengumumkan agar masyarakatnya mendirikan rumah dengan gaya modern, hanya mbaru niang yang masih bertahan hingga sekarang.

2.    Usia kampung 1086
Wae Rebo ternyata menjadi salah satu kampung tertua di Manggarai. Dari hasil penelitian yang dilakukan arkeolog Jerman, usia kampung Wae Rebo 1086 tahun. Penelitian itu dilakukan terhadap compang (meja persembahan yang ada di tengah-tengah kampung) dan berhasil mengindentifikasi usia kampung itu.
3.    Asal Usul dari Minangkabau
Walaupun Wae Rebo adalah perkampungan di Manggarai, NTT, tetapi ternyata warga desanya mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Minangkabau dari Sumatera Barat. Orang Wae Rebo meyakini bahwa nenek moyang mereka bernama Empo Maro telah berlayar dari tanah Minangkabau menuju Flores dan menetap di sana. Berdasarkan cerita yang diwariskan turun temurun, Empo Maro inilah yang merintis pembangunan kampung Wae Rebo dan bertahan hingga sekarang.
4.    Memiliki Tujuh Rumah Utama
Setiap rumah dihuni oleh enam hingga delapan keluarga. Mbaru Niang terdiri dari lima lantai dengan atap daun lontar dan ditutupi oleh ijuk. Setiap pengunjung yang datang akan dijamu dalam satu Mbaru Niang yang disediakan khusus untuk menyambut wisatawan yang datang melancong. Pengunjung akan diberikan jamuan berupa Kopi Flores sebagai minuman pembuka di Mbaru Niang ini!

5.    Salah satu desa tertinggi di Indonesia
Kampung Wae Rebo termasuk dalam daftar desa tertinggi di Indonesia. Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) membuat Wae Rebo kerap dihiasi kabut tipis setiap paginya.
Karena lokasinya yang berada pada ketinggian, untuk bisa ke sana pengunjung harus melakukan trekking selama tiga hingga empat jam melalui medan yang cukup sulit. Karena tidak ada akses jalan raya untuk bisa ke sana.
6.    Kehidupan Masyarakat
   Wisatawan yang berkunjung kesini akan disuguhi potret kehidupan masyarakat lokal yang masih tradisional. Aktivitas harian mereka hanyalah bertani dan menenun. Kegiatan inilah yang banyak disukai oleh para wisatawan. Selain itu, para pengunjung bisa membeli kopi dari hasil tanam petani di sana, atau membawa pulang sehelai kain tenun hasil tenunan ibu-ibu di sana sebagai buah tangan.
   Demikian gambaran beberapa fakta menarik tentang Wae Rebo desa tersembunyi yang selalu menarik hati untuk dikunjungi. Keindahan alam, arsitektur rumah yang indah membuat Wae Rebo layak untuk dikunjungi.

Menjelang Tahun Baru, Saatnya Menentukan Target



Kita sekarang sedang berada di penghujung tahun 2019. Sebentar lagi akan memasuki tahun 2020. Angka istimewa sekaligus cantik. Tapi, apakah hari-harinya nanti akan dilalui secara istimewa juga? Ataukah hanya angkanya yang istimewa?
Semuanya masih misteri. Tak ada kata yang mampu melukiskan apa yang akan terjadi di tahun 2020. Semua kita tentu berharap agar di tahun 2020 kehidupan menjadi lebih baik dibanding tahun 2019. Ada banyak keinginan dan cita-cita yang mau diwujudkan di tahun tahun yang akan datang.
“Untuk segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk memulai, ada waktu untuk mengakhiri. Ada waktu untuk mengawali tahun, ada waktu untuk mengakhirinya” demikian kata Pengkhotbah. Hanya orang yang memulai untuk melakukan sesuatu yang akan mengakhirinya. Tetapi di antara awal dan akhir, ada ruang dan waktu yang harus diisi.
Dan itulah yang kita pahami sebagai kesempatan. Hanya orang yang telah mengisi kesempatan yang akhirnya bisa menuai hasilnya. Hanya orang yang menanam dan merawat tanamannya yang akan memetik hasilnya. Apa saja yang telah kita mulai dan akhiri selama tahun 2019? Adakah hal baru yang terwujud di tahun baru?
Dalam menyongsong tahun 2020 alangkah baiknya jika kita memulai merancang apa saja yang akan dilakukan. Membidik dan menentukan target-target yang hendak dicapai di tahun 2020 akan  memudahkan kita dalam menentukan tujuan hidup. Hidup tanpa tujuan dan target hanya akan membuat kita tersesat dalam rimba kehidupan.
Karena itu, di tahun yang akan datang alangkah lebih baik kita memulainya dengan membuatkan daftar hal-hal yang ingin dicapai. Sudah saatnya membuat resolusi tahun baru bukan hanya sekadar rutinitas tahunan, tetapi bisa menjadi kesempatan untuk mengevaluasi diri sekaligus menentukan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Semua itu dilakukan agar kita mampu memetakan rute yang akan ditempuh. Dengan cara itu, kita akan menciptakan kesempatan untuk mengaktualisasi diri dan menjadikan hidup lebih bermakna.
Menciptakan Kesempatan. Evaluasi memudahkan kita menentukan prioritas dalam mewujudukan perubahan. Menentukan prioritas berarti menciptakan kesempatan baru bagi diri sendiri, menantang diri dan memacuh motivasi. Orang bermental sukses menciptakan kesempatan; orang gagal menunggu kesempatan datang.


Ketertinggalan terjadi dalam tata masyarakat, dunia kerja, juga dalam pelayanan publik oleh para pemimpin, yang disebabkan karena mental suka menunda yang masih kuat dalam budaya kita. Tidak mengherankan jika sejak zaman Romawi kuno sudah dikenal pepatah “periculum latet mora” yang berarti bahaya mengintai penundaan.
Kita berada di era milenium. Kemajuan dunia digital memberi inspirasi yang menyadarkan kita bahwa orang yang mau maju dan berkembang dalam hidupnya ialah mereka yang mendatangkan kesempatan bagi dirinya; membuat kesempatan kerja dan sukses mendatangi dirinya.
Di tahun 2020, kita ditantang untuk menciptakan kesempatan bagi diri kita sendiri. Kesempatan untuk melakukan sesuatu demi mewujudkan cita-cita, karier dan makna hidup.
Fokus. Fokus merupakan strategi untuk menjadikan cara kerja kita lebih efektif dan efisien. Tetapi kita tidak sekedar membuat perubahan. Perubahan itu harus memiliki arah yang jelas. Kita hidup dan bergerak dalam keterbatasan ruang dan waktu.
Sebagai makhluk terbatas kita memiliki kemampuan, bakat atau perhatian pada hal-hal tertentu saja, spesifik. Tidak semua hal dapat kita lakukan dalam sekejap dengan hasil yang gemilang. Karena itu fokus merupakan prinsip yang menentukan dalam etos kerja.
Banyak motivator meyakini bahwa kita perlu menahan diri dari aktivitas-aktivitas yang tidak terencana, yang membuang waktu dan energi, dan pada akhirnya tidak mendatangkan perubahan berarti. Tahun 2020 merupakan kesempatan belajar untuk fokus dan menentukan mana hal-hal yang penting untuk dikerjakan.
Langkah lebih jauh adalah menentukan Target. Target merupakan horizon terjauh yang ingin kita capai dalam sebuah pekerjaan. Orang yang bermental sukses membuat target yang jelas. Bukan hanya ‘jelas’, tetapi juga ‘tinggi’. Semangatnya bukan suam-suam kuku. Ia berani keluar dari zona nyaman untuk mencoba sesuatu yang baru dan menghadapi tantangan yang ada di hadapannya.



Pada akhirnya semua perencanaan itu membutuhkan action! Semua rencana perubahan perlu direalisasikan dalam tindakan. Perlu tindakan konkret untuk memulai sebuah pembaruan. Anda belum melakukan sesuatu jika belum pernah mencobanya. Sebelum ada aksi, pembaruan belum terjadi.
Orang yang menghendaki perubahan selalu mau melakukan yang terbaik pada kesempatan pertama. Sebab kesuksesan pertama merupakan energi awal untuk tetap antusias: “Act antusiastic and you w’ll be antusiastic” (Delcarnegie). Dan perlu diingat, langkah pertama akan turut menentukan hasil akhir. Tetapi di atas semuanya itu, semunya perlu dimulai dengan langkah pertama. Target dan perencanaan boleh saja tinggi, tetapi jika tidak ada tindakan konret maka semua itu akan sia-sia.

Wae Rebo Desa Internasional yang Tersembunyi





Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Flores tanpa singgah di Wae Rebo. Boleh saja Labuan Bajo dengan Komodonya, Ende dengan danau Kelimutunya, Lamalera dengan perburuan pausnyaa atau juga Sumba dengan pesona savananya telah mendunia, tapi masih ada surga tersembunyi di Manggarai. Wae Rebo.
Pesona Wae Rebo yang telah mendunia turut mengantar nama Manggarai ke kancah nasional dan internasional. Wae Rebo unik karena keberhasilan penduduknya mempertahankan tradisinya dan alam sekitarnya.
Masyarakat Wae Rebo bisa mempertahankan kontruksi bangunannya yang “unik”. Mbaru niang (rumah bundar berbentuk kerucut) begitu orang Manggarai menyebutnya. Kontruksi mbaru niang inilah yang telah mengundang orang dari berbagai belahan dunia untuk melihatnya. Mbaru niang terdiri atas lima tingkat,yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri.
Tingkat pertama adalah lutur (tenda), yang akan ditempati masyarakat.
Tingkat kedua adalah lobo (loteng), yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang lainnya.
Tingkat ketiga adalah lentar, untuk menyimpan benih-benih seperti jagung, padi dan kacang-kacangan.
Tingkat keempat adalah lempa rae, sebagai tempat menyimpan makanan cadangan.
Tingkat kelima adalah hekang kode digunakan untuk menyimpan langkar (anyaman dari bambu berbentuk persegi guna menyimpan sesajian buat leluhur) sekaligus menjadi tempat paling atas dalam rumah mbaru niang dan merupakan tempat suci.


Filosofi Mbaru Niang
Mbaru niang bukan hanya sekadar tempat berlindung dari cuaca dan gangguan dari luar. Bagi suku Manggarai yang menghuni desa Wae Rebo, mbaru niang merupakan wujud keselarasan manusia dengan alam serta merupakan cerminan fisik dari kehidupan sosial warga desa Wae Rebo.
Konon dulunya leluhur orang Manggarai yang bermukim di sana memiliki delapan orang pewaris. Oleh karena itu, terdapat delapan suku yang tersebar di dataran Manggarai. Namun leluhur mereka saat itu tidak membangun delapan rumah untuk dihuni oleh masing-masing kepala keluarga. Hanya terdapat tujuh buah mbaru niang yang masing-masing dihuni oleh tujuh keluarga dari setiap suku. Tujuannya adalah agar sosialisasi antara suku semakin erat dan dapat terus terjalin. Oleh karena itu sudah sangat jelas maksud dan tujuan dari pembangunan tujuh buah mbaru niang.

Setengah dari tiap mbaru niang terdiri dari kamar-kamar tidur yang disusun melingkar mengelilingi pusat. Sedangkan setengah yang lain adalah ruang terbuka untuk berkumpul. Ruang itulah yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Para leluhur dahulu membuat tujuh buah rumah dengan formasi setengah lingkaran. Di bagian tengah adalah rumah gendang (niang gendang, atau rumah utama, yang berukuran lebih besar dan memiliki puncak yang sedikit berbeda. dan enam rumah lain disebut niang gena atau rumah biasa)

Reis: Menyapa Tamu
Masyarakat Wae Rebo khususnya juga masyarakat Manggarai umumnya akan menyapa tamu yang berkunjung ke rumahnya. Dalam bahasa Manggarai menyapa tamu diistilahkan dengan kata reis. Simbol upacara reis adalah tuak kapu. Simbol ini menunjukkan keterbukaan tuan rumah terhadap tamu yang ada di rumahnya.
Reis adalah sapa dari seorang tuan rumah (ngara mbaru) kepada tamu (meka) yang datang berkunjung (lambu/lejong) ke rumahnya. Upacara itu ditandai dengan tuak kapu (moke) serta kata-kata sapaan. Biasanya, setelah sang tamu duduk, tuan rumah (semua tuan rumah yang ada pada saat tamu berkunjung; ayah, ibu, anak yang sudah dewasa) akan menyalami sang tamu. Bahkan dalam acara adat resmi, semua tamu disalami tak peduli tua muda, kecil besar, kecuali memang masih anak-anak. Setelah salaman, maka disitulah sang tuan rumah mengucap beberapa kalimat sapaan dalam bahasa manggarai.
Lako les obo ko? Neho tendeng keta tuka mese dami neho joreng tuka koe, ai ite mai lejong beo lambu mbaru liba natas dami anak do. Lewen kebe tadang salang lako dite mori, cala manga runi kaka nduris oke musi situ, cala manga babang le kakar tana oke wa situ, ai kapu lobo pa’a lami ite mesed ite merik gami, nian kali ga kapu le gauk lami neka le sara, yo toe reweng kanang ho tuak dami reis agu kapu ite mori.”
Reis itu merupakan sebuah budaya yang menjadi ciri khas tersendiri bagaimana masyarakat Manggarai sebagai tuan rumah (ngara mbaru) terkait tata cara serta perilaku santun dan penghormatan yang diberikan lewat penerimaan dan penyambutan tamu (meka) yan berkunjung (lambu/lejong).


Reis tiba di’a (penyambutan)
Pertama, sapaan pembukaan. Bagian ini disebut sebagai pengantar untuk membuka acara penerimaan tamu. Pengantar ini disampaikan oleh salah satu perwakilan dari anggota yang mendiami sebuah kampung atau rumah.
Biasanya dipilih dari salah satu anggota kampung yang bisa menjadi penutur adat atau pemuka masyarakat yang berfungsi sebagai laro jaong (juru bicara) dan letang temba (mewakili) warga kampug.
Kedua, sebagai ungkapan kegembiraan. Bagian ini menunjukkan kegembiraan warga kampung karena mereka melihat tamu telah tiba. Ungkapan kegembiraan (naka) itu diwakili oleh penutur adat dengan kata kapu (memangku).
Selanjutnya penutur adat mengungkapkan kekaguman dan pujian kepada tamu yang bersedia datang ke kampong mereka dengan penuh perjuangan. Dia harus melewati sungai, gunung dan lembah. Hal ini menunjukkan cinta dan perhatian sang tamu terhadap semua warga yang mendiami sebuah kampung. 
Ketiga, Penutup. Di sini tamu diberi ayam jantan berwarna putih dan tuak (dalam kondisi tertentu  bisa menggunakan bir) sebagai puncak kegembiraan dari warga kampung yang diwakili oleh penutur adat sebagai tanda kehormatan. Di sini tuak menjadi lambang penyerahan seluruh harapan kepada tamu yang datang untuk bergembira bersama semua warga kampung. 



Banjir Datang di Hari Natal



Perayaan Natal di Timur-Tengah selalu meriah dan penuh suka cita. Semua warga turut merayakan, apapun agama mereka. Saya tidak pernah mendengar ada polemik soal hukum mengucapkan selamat Natal di seantero Timur-Tengah.
Mereka terhanyut dalam suka cita Natal karena di dalamnya ada pesan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka menjadikan Natal sebagai momentum berbagi dalam solidaritas dan persaudaraan sejati.
Di Bethlehem, Palestina, tanah kelahiran Yesus Kristus atau yang dikenal dengan Isa al-Masih dalam khazanah Islam, Natal dirayakan oleh seluruh warga dengan penuh suka cita. Umat Kristiani dari berbagai penjuru dunia juga turut serta dalam perayaan Natal di Tepi Barat.
Mahmoud Abbas sebagai Presiden Palestina juga hadir dalam misa perayaan Natal. Sekali lagi, tidak ada ulama yang mengharamkan atau mengafirkan Mahmoud Abbas.
Tak ketinggalan gubernur DKI Jakarta beserta jajarannya juga melakukan hal yang sama. Mereka bahkan melakukannya secara langsung, yaitu mengucapkan selamat Natal dari gereja ke gereja. Natal menjadi momen untuk untuk mempererat persaudaraan.
Namun, Natal kali ini menjadi paling istimewa untuk saya secara pribadi dan warga DKI di seputaran gereja paroki St Fransiskus Xaverius, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Suka cita Natal tidak hanya dirasakan oleh segenap umat Katolik di sana, melainkan semua oleh warga.

Baca Juga: Krisis Toleransi dan Kekerasan Terhadap yang Lain
Momen kelahiran juru selamat tidak hanya dirayakan di gereja, melainkan juga di rumah masing-masing. Bagaimana tidak, ketika malamnya merayakan Natal di gereja dan paginya ketika bangun tidur rumah-rumah telah direndam banjir. Air setinggi 30 cm menjadi kado indah untuk segenap warga Tanjung Priok.
Setelah menyanyikan lagu Gloria in excelsis Deo di gereja pulang ke rumah dilanjutkan menguras air yang masih tergenang. Ada canda tawa di sana. Setidaknya sambal menguras air sedikit mengurangi rasa rindu pada saudara-saudara di kampung.
Jika di Timur Tengah momen Natal dirayakan dengan begitu meriah, maka kami di sini merayakan Natal dengan menguras air dalam rumah agar bisa menerima tamu yang ingin mengucapkan selamat Natal. Tak ada yang luar biasa selain kita dengan penuh cinta sama-sama membersihkan rumah dan hati kita masing untuk menyambut Kristus yang telah lahir.

Baca Juga: Belajar pada Tradisi Ola Nue, Local Wisdom Orang Lamalera 

Bertahun-tahun kita merayakan Natal, jika hati belum diarahkan dan dibersihkan untuk menyambut Kristus maka Natal akan kurang bermakna. Setidaknya itu pandangan pribadi. Hal-hal luar memang penting dipersiapkan. Kue Natal, lampu kelap-kelip atau pohon cemara yang dihias adalah beberapa ornament yang selalu disiapkan ketika menjelang Natal.
Tetapi, sudah kah kita menyiapkan hati untuk menyambut Kristus? Banjir yang saya alami hanyalah tamparan kecil agar ketika Natal tahun depan lebih menyiapkan hati dan membersihkannya dibanding dengan hal-hal luarnya saja.
Selamat merayakan Natal !!!!

Krisis Toleransi dan Kekerasan Terhadap yang Lain



Tragedi penembakan di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3/2019) telah meninggalkan luka yang mendalam bagi kita semua. Pembantaian 49 orang di dua masjid itu menunjukkan bahwa kebencian dan teror dapat muncul di negara mana pun.
Selandia Baru yang dikenal sebagai salah satu negara paling aman di dunia pun pada akhirnya harus mengalami tragedi yang memilukan hati kita semua.
Ideologi ekstrem penuh kekerasan bisa masuk ke pikiran siapa saja. Teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan penyebaran gagasan ekstrem berlangsung cepat, tak mengenal batas negara.
Situasi ini merupakan salah satu faktor penting yang membuat pelaku yang lahir di kota kecil di Australia mengenal gagasan supremasi kulit putih. Supremasi kulit putih mengingatkan kita akan pembantaian masyarakat Yahudi oleh Hitler beberapa puluh tahun yang lalu.
Keyakinan bahwa bangsa kulit putih lebih tinggi dari yang lain menjadikan Hitler sebagai manusia buas dan menumpas masyarakat Yahudi.
Globalisasi dan kemajuan internet ikut menciptakan pra kondisi timbulnya peristiwa kekerasan di Selandia Baru. Tampak seolah-olah penyebaran ideologi ekstrem dan kekerasan yang mengikutinya sebagai hal yang tak terelakkan di zaman sekarang.
Namun, kita tidak boleh tunduk pada ideologi itu. Ideologi ekstrem bukan sebuah keniscayaan. Dengan semangat berbela rasa kita memiliki kekuatan untuk mencegah dan mengakhiri perkembangan ideologi ekstrem penuh kekerasan.
Solidaritas dan dukungan kepada para korban dari berbagai kalangan yang ditunjukkan warga dunia pasca-insiden di Christchurch menunjukkan manusia mempunyai daya besar untuk mengalahkan teror.
Ideologi ekstrem yang memecah belah bisa dikalahkan dan tunduk pada solidaritas dan empati yang tulus. Ideologi ekstrem yang membuahkan kebencian memang bisa menghinggapi siapa saja.
Kekerasan yang berakar pada ideologi kebencian dapat dilakukan siapa saja. Tetapi, solidaritas, sikap menghargai perbedaan, dan empati akan mampu menyingkirkan semua itu dan tidak memberi ruang bagi kebencian untuk tumbuh.
Sikap intoleran yang ditunjukkan oleh pelaku penembakan adalah contoh betapa sikap intoleran hanya membawa kekerasan dan kehancuran. Sikap intoleran hanya menjadikan manusia serigala bagi yang lain.
Masih segar dalam ingatan kita, Senin, 4 Februari 2019 yang lalu telah terbit dokumen Human Fraternity yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam besar Al Azhar Dr. Ahmed al-Tayeb.
Dokumen ini merupakan dokumen bersejarah bagi dunia karena berisi 12 hal yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat sekarang untuk menciptakan perdamaian dan kedamaian dunia.
Pada poin pertama dikatakan, "Keyakinan bahwa agama berakar pada nilai-nilai perdamaian, saling pengertian, persaudaraan manusia, keharmonisan, membangun kembali kebijaksanaan, keadilan, dan cinta."
Agama selalu diyakini sebagai pemersatu semua orang untuk menciptakan perdamaian di tengah masyarakat. Melalui agama diharapkan semua sikap intoleran, ekstremisme dan radikalisme dihilangkan.
Lebih jauh dalam poin keenam dikatakan, "Perlindungan tempat ibadah adalah kewajiban yang dijamin hukum dan perjanjian internasional. Setiap upaya penyerangan tempat ibadah atau mengancam mereka dengan serangan kekerasan, pemboman atau perusakan, merupakan penyimpangan dan pelanggaran terhadap hukum internasional."
Dan, kita semua bisa melihat sikap masyarakat Selandia Baru pasca-insiden itu. Mereka berbondong-bondong ke masjid untuk melindungi saudara-saudari Muslim yang sedang beribadah.
Sikap toleran dan saling melindungi seperti inilah yang seharusnya dihidupi oleh kita semua. Masyarakat Selandia Baru telah menunjukkan kepada dunia apa yang harus dilakukan untuk sesama saudara yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan.
Dokumen Human Fraternity menguraikan tentang satu keyakinan dari krisis dunia modern, yaitu hati nurani manusia yang kehilangan kepekaan dalam bentuk menjauhkan diri dari nilai-nilai agama. Ada kontradiksi dunia modern; di satu sisi ada kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, di sisi lain terjadi kemunduran nilai-nilai dan spiritual. Akibatnya, ada rasa frustrasi dan keterasingan yang menyebabkan orang jatuh dalam pusaran ekstremisme dan intoleransi.

Baca juga: Filosofi Teras: Seni Manajemen Diri

Sikap intoleran pada dasarnya tidak pernah membawa perdamaian dan kita mesti melawannya. Dalam kasus di Selandia Baru sudah sepantasnya kita melawannya. Tak ada tempat untuk intoleran karena hanya membawa kita pada kehancuran dan perpecahan.
Sudah lebih dari cukup kita menyaksikan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang intoleran. Terlalu banyak air mata yang terbuang dan darah yang tak bersalah mengalir.
Krisis toleransi selalu berakhir pada pertumpahan darah dan kekerasan terhadap yang lain. Empat puluh sembilan nyawa tak bersalah menjadi korban ekstremisme, intoleransi, dan radikalisme. Kekerasan atas nama ekstremisme, intoleransi, dan radikalisme adalah fenomena yang kerap kita jumpai dan bahkan telah tumbuh subur dalam masyarakat kita.
Bukti terbaru adalah di daerah Sumatra Barat beredar larangan umat Kristen untuk merayakan Natal. Tentu ini menjadi kabar buruk untuk sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi tolenasi dan menghargai perbedaan. Apapun itu, yang jelas kita tidak ingin negara ini hancur lebur hanya karena adanya perbedaan.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika semua orang yang punya kehendak baik bersatu untuk melawan ekstremisme, intoleransi, dan radikalisme agar paham-paham itu tidak diwariskan kepada generasi berikutnya. Mari kita bersama-sama melawannya.

Tulisan ini pernah dimuatkan di Kolom Detik.com pada Rabu, 27 Mar 2019

[Resensi Buku] Filosofi Teras: Seni Manajemen Diri

Judul                           : FILOSOFI TERAS: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh         Masa Kini
Penulis                         : Henry Manampiring
Penerbit                       : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit               : Cetakan 4, Januari 2019
Jumlah Halaman         : xxiv + 344 hal
  

Apakah kamu sering merasa kuatir akan banyak hal yang terjadi di luar dirimu? Baperan? Susah move on? Mudah tersinggung dan marah-marah tidak jelas di media sosial maupun di dunia nyata? Henry Manampiring menghadirkan kepada kita sebuah buku yang luar biasa. 
Filosofi Teras, buku yang membawa kita untuk belajar mengendalikan diri. Dalam salah satu bagian dikatakan bahwa “ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak bergantung pada) kita.”
Buku Filosofi Teras hadir untuk memberikan kepada kita jalan menuju ketenangan jiwa. Penulis buku ini telah mengalami sendiri stres dan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya karena sering marah dan tidak mampu mengontrol dirinya sendiri. 
Meski bukan alumnus Fakultas Filsafat, penulis buku berhasil membuat buku menjadi menarik tentang Filsafat Stoa. Ini luar biasa. Filsafat sebagai praktik hidup ia jalani dalam kehidupannya sehari-hari.
Lebih dari 2.000 tahun lalu, sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan juga solusi dari banyak emosi negatif. Stoisisme, atau Filosofi Teras adalah filsafat Yunani-Romawi kuno yang bisa membantu kita mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi naik turunnya kehidupan.
Jauh dari kesan filsafat sebagai topik berat dan mengawang-awang, Filosofi Teras justru bersifat praktis dan relevan dengan kehidupan generasi milenial masa kini. Buku ini mengajak kita untuk berani menantang diri sendiri agar mengetahui batas-batas diri kita sendiri dan tidak merisaukan hal-hal yang ada di luar diri atau yang ada di luar kendali kita.  
Sebagaimana dikatakan oleh Marcus Aurelius dalam buku ini “jika seseorang bisa membuktikan kekeliruan saya dan menunjukkan kesalahan saya dalam berpikir dan bertindak, saya dengan senang hati berubah. Saya mencari kebenaran yang tidak pernah melukai siapa pun. Yang celaka adalah terus menerus bertahan dalam menipu diri sendiri dan ketidakpedulian.”
Jadi umpan balik, nasihat dan opini yang membangun dan memperbaiki diri kita sendiri harus kita hormati dan dengarkan. Yang dipertanyakan oleh penganut filsafat Stoa adalah ketika kita mengira bisa bahagia dan damai dengan terus menerus menyenangkan orang lain padahal sebenarnya kita sedang menderita.

Latihan Mengatasi Emosi
Setiap manusia mencari kebahagiaan dan hidup yang tenang. Filsafat bagi kaum Stoa bukanlah sekadar mengisi waktu atau menumpuk ide untuk bergaya di depan kaum awam. Filsafat adalah praktik dan latihan. 
Jangan suka menyebut diri anda sendiri sebagai filsuf, jangan banyak berbicara di depan orang awam tentang teori-teori filsafat karena yang pokok adalah bagaimana kita hidup sesuai dengan apa yang dipelajari. Sebab sebagaimana arti harafiah dari kata filsafat yaitu, cinta akan kebijaksanaan. 
Maka yang paling utama adalah bukan pemahaman konsep atau teori-teorinya saja tetapi cara hidup kita yang bijaksana dan menampilkan bahwa kita pernah belajar filsafat.
Bagaimana caranya agar bisa terus bahagia, terhindar dari rasa campur aduk yang memporakporandakan batin? Bagaimana bisa tenang, terbebaskan dari perasaan negatif? Filsafat Stoa mengajarkan untuk mencermati empat jenis perasaan negatif yang menjauhkan kita dari kebahagiaan, yaitu iri hati, takut, rasa sesal atau pahit, dan kenikmatan. Sebab kunci kebahagiaan bagi Stoa adalah tatkala kita terhindarkan dari nafsu-nafsu tidak jelas, kecanduan atau addicted pada sesuatu, angkara murka, kehilangan kendali, dendam kesumat, dan rasa sesal yang berlebihan.

Makna Filosofi Teras
 Belajar dari Filsafat Stoa kita diajak untuk selalu bersyukur dalam setiap kesempatan hidup. Kita perlu mensyukuri bahwa hari ini saya masih diberi kesempatan untuk hidup dengan tentram, tidak stress akibat berita hoax atau stres karena dibully, atau masih banyak hal lainnya yang patut kita syukuri dari kehidupan kita hari ini. 
Memang mensyukuri semua yang kita dapat hari ini bukanlah pekerjaan mudah. Sifat dasar manusia yang tidak pernah puas adalah sebabnya. Karena itu, ada baiknya kita mulai menata diri dan belajar mensyukuri apa yang kita terima. Diperlukan latihan secara berulang-ulang agar bisa menjadi kebiasaan.
Seperti kata penulis buku bahwa “sama seperti otot dengan berlatih berulang-ulang mengangkat barbel, maka batin pun bisa diperkokoh lewat latihan rutin setiap hari lewat STAR (Stop, Think, Assess, Respond)”. Setia pada filsafat sebagai praktik dan latihan mental supaya kita memiliki syaraf titanium dan tidak gampang KO ketika disambar galau.
Filosofi Teras percaya bahwa kita semua perlu hidup dengan penuh kebajikan. Bersama-sama dengan kemampuan mengendalikan emosi negatif, maka hidup yang tenteram, damai dan tangguh akan hadir. Namun, untuk bisa hidup dengan penuh kebajikan kita perlu berlatih dahulu mengetahui apa sebenarnya esensi dan peruntukan kita sebagai manusia.
Berbeda dari aliran filsafat lainnya, stoisisme lebih menekankan pada praktik hidup dan tidak melulu pada diskusi intelekstual menyangkut ide-ide dan konsep abstrak. Salah satu alasan kenapa buku ini menarik untuk dibaca karena siapapun bisa ikut mempraktikkannya tanpa harus bergantung pada atribut-atribut, seperti kekayaan, prestasi akademis, inteligensi bawaan, warna kulit, suku, karier, atau profesi.
“Seorang praktisi Stoa seharusnya merasakan keceriaan senantiasa dan sukacita terdalam, Karena ia mampu menemukan kebahagiaannya sendiri, dan tidak menginginkan sukacita yang lebih dari pada sukacita yang datang dari dalam”. 
Karena pada dasarnya tujuan dari Filosofi Teras adalah membebaskan kita dari emosi negatif, minimal menguranginya. Rasanya sangat relevan dengan kehidupan sekarang yang penuh dengan ketidakpastian.
Oleh karena itu, filsafat ini tidak menjanjikan materi atau damai di akhirat, tetapi damai dan tenteram yang kokoh karena berakar dari dalam diri kita, bukan pada hal-hal eksternal yang bisa berubah, hancur atau direnggut dari kita. 
Sebab tujuan utama dari Filosofi Teras adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali, dan hidup dengan kebajikan atau bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.
Sebagai bagian penutup mengutip pernyataan Epictetus “jangan menyebut dirimu sendiri seorang filsuf atau menggembar-gemborkan teori-teori yang kamu pelajari … karena domba tidak memuntahkan lagi rumput kepada sang gembala untuk memamerkan banyaknya rumput yang telah dimakannya; tetapi domba mencerna rumput tersebut di dalam tubuhnya, dan ia kemudian memproduksi susu dan bulu. Begitu juga janganlah kamu memamerkan apa yang sudah kamu pelajari, tapi tunjukkanlah tindakan nyata sesudah kamu mencernanya”.