Menu

Selalu Ada Makna dari Sebuah Bencana


Selama beberapa pekan terakhir kita berada dalam situasi genting karena pandemi Covid-19. Data Satgas COVID-19 (BNPB) dalam https://www.covid19.go.id/ per 30 Maret 2020 pkl. 15.32 WIB, total korban positif 1.414 orang, sembuh 75 orang dan meninggal 122 orang. Jumlah yang cukup banyak dan menggetarkan hati. Betapa tidak, dengan korban sebanyak itu ternyata fasilitas medis masih minim ditambah gaya hidup masyarakat Indonesia yang masih “bar-bar”. Tidak mengherankan jika pandemi ini seakan belum ingin berakhir.
Akan tetapi, menghadapi situasi demikian apakah kita lantas menyerah? Tentu saja tidak. Viktor Frankl dalam Means Search Meaning, mengatakan: “... Manusia bukanlah tikus atau anjing. Manusia adalah manusia, yang memiliki dimensi kemanusiaan tersendiri” (2004: hlm.10).
Bagi Frankl, yang pernah mengalami hidup dalam kekejaman camp konsentrasi Auschwits saat Perang Dunia II, manusia bukan sekadar tulang, darah, dan daging. Di dalam tubuh manusia ada jiwa yang jauh lebih luhur dan tinggi daripada sekadar onggokan daging yang kasar. Tubuh manusia memang bisa disakiti dan disiksa oleh siapa saja, tetapi jiwa dan akal budi tidak bisa diambil dari manusia.

Baca Juga: Orang Kecil dan Terpinggirkan di Antara Wabah Corona

Manusia juga memiliki pilihan untuk bertindak, kebebasan berpikir, dan menentukan sikap dalam setiap keadaan.  Dengan demikian, kebebasan yang ada dalam diri dapat digunakan untuk mencari makna hidupnya. Manusia dituntut untuk menentukan makna hidupnya, bukan hidup yang memberikan makna baginya. Dalam hal ini manusia menjadi penentu pilihannya.
Setiap orang adalah penentu bagi pilihannya sendiri. Sebesar apa pun tekanan dari luar untuk menentukan pilihan, semuanya tetap bergantung pada manusia itu sendiri. Kebebasan yang dimiliki oleh manusia saat menentukan pilihannya itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Hewan memang bisa menentukan pilihannya, tetapi dia tidak tahu apakah pilihannya itu berdampak baik atau buruk untuk dirinya.

Memaknai Penderitaan
Cara lain untuk menemukan makna hidup adalah melalui cara menyikapi penderitaan yang tidak bisa dihindari. Penderitaan menjadi kesempatan yang besar untuk menemukan makna hidup. Cara rasional menyikapinya adalah dengan menerima bahwa dalam kondisi seperti itu pun tetap ada makna dan tujuannya. Situasi-situasi yang sangat buruk pasti menimbulkan keputusasaan dan tampaknya tidak ada harapan. Namun, Frankl melihatnya sebagai situasi-situasi yang memberikan kesempatan besar untuk menemukan arti hidup.

Sekarang, saat menghadapi wabah Covid-19, kita tidak mampu menghindarinya. Tentu kita semua ingin selamat. Saat ini pandemi, Covid-19 menggantikan peran malaikat pencabut nyawa. Akan tetapi, layakkah kita pesimis dan terus berharap ada mukjizat? Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, mengatakan, “…Orang-orang berdoa kepada Tuhan agar menurunkan keajaiban, tetapi mereka sendiri tidak berbuat serius untuk menghentikan kelaparan, wabah dan perang.” (2018: hal 21) Jadi kita semua punya peran masing-masing untuk menghentikan penyebaran wabah ini dengan mengikuti arahan pemerintah dan pihak medis.

Baca juga: Covid-19: Penderitaan yang Melahirkan Harapan

Wabah ini memang menakutkan. Akan tetapi, tetap ada makna di baliknya. Misalnya: Dengan belajar dan bekerja dari rumah, orangtua punya lebih banyak waktu dengan anak, punya kesempatan untuk berdoa dan makan bersama. Selain itu, meningkatkan rasa solidaritas dengan orang-orang kecil. Juga, membiarkan ibu bumi untuk beristirahat sejenak. Setidaknya dengan berkurangnya jumlah kendaraan di jalan raya saat ini turut mengurangi polusi udara dan membiarkan ibu bumi memulihkan dirinya.
Dalam kehidupan, banyak hal memang dapat dirampas oleh orang lain. Akan tetapi, kebebasan batin dan spiritual tidak dapat dirampas dari manusia. Kebebasan batin dan spiritual membuat kehidupan memiliki makna dan tujuan. Makna dan tujuan hidup inilah menjadi kekuatan bagi manusia dalam menghadapi tantangan hidupnya.
Dengan memiliki makna dan tujuan hidup, manusia akan berusaha untuk selalu kuat dalam menghadapi tantangan hidupnya. Usaha dan kehendak yang kuat untuk mencari, menemukan, dan kemudian mengalami makna dalam kehidupan menjadi ciri dan hakikat manusia. Kehidupan manusia senantiasa memiliki makna yang mendalam sampai pada momen terakhir hidupnya. Semoga kita semua menemukan makna di balik pandemi ini. Yakinlah, tidak ada yang sia-sia di bawah kolong langit ini.

Sumber gambar 1: https://pixabay.com/id/users/geralt-9301/
Sumber gambar 2: https://blog.mizanstore.com/

Orang Kecil dan Terpinggirkan di Antara Wabah Corona



Lambaian selamat tinggal terlihat di Tiongkok. Tiga puluh empat pasien terakhir yang terkena virus Corona telah meninggalkan Rumah Sakit. Sebelumnya dunia menertawakan Tiongkok ketika pertama kali wabah ini terjadi di sana. Sebagian orang menyebut Tiongkok sedang mendapat kutukan dari Tuhan karena makan hewan liar. Bahkan terdengar juga guyonan ‘ternyata Tiongkok tak sehebat yang dibayangkan, dengan kelelawar aja bisa kalah’. Tak tanggung-tanggung total korban meninggal dunia akibat virus ini mencapai 3.245 orang.
Setelah sekian minggu menghadapi wabah ini, akhirnya pada tanggal 23 Februari 2020 Tiongkok kembali membuka diri. Kehidupan berangsur normal dan penyembuhan sudah di atas 50%, terus membaik dan mendekati 100%. Bahkan beberapa Rumah Sakit darurat korban Corona yang dibangun pemerintah sudah ditutup karena tidak ada lagi pasien yang datang. Dalam hitungan Minggu Tiongkok sebagai negara pertama terpapar virus ini sudah berhasil mengatasinya. Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia khususnya Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), ketika pemerintah mengumumkan adanya pasien terjangkit virus Corona?
 Menyikapi hal itu, per tanggal 02 Maret pihak KAJ mengeluarkan surat himbauan untuk mencegah penyebaran virus tersebut khususnya saat umat mengikuti perayaan ekaristi harian atau mingguan. Pada poin pertama, dijelaskan bahwa gereja Katolik di KAJ tetap memberi izin untuk menggelar misa sesuai dengan jadwal masing-masing.
Namun, untuk umat yang telah terjangkit virus Corona dianjurkan untuk tidak menghadiri ibadah dan segera ke dokter. Namun, sejak 19 Maret yang lalu pihak KAJ mengeluarkan surat agar tidak melaksanakan kegiatan misa atau ibadah Bersama. Semua itu untuk mengurangi dan menghindari penyebaran virus Corona yang semakin meluas dan menewaskan semakin banyak orang.
Selain gereja KAJ mengeluarkan surat himbauan, presiden Jokowi juga mengeluarkan perintah agar para pekerja bisa melaksanakan tugasnya hanya dari rumah dan tidak perlu ke kantor. Dengan kondisi saat ini saatnya kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah. Inilah momen untuk bekerja bersama, saling menolong, dan bersatu padu.  Kita ingin menjadi sebuah gerakan masyarakat agar masalah Covid-19 ini bisa ditangani dengan maksimal. Kurang lebih seperti itu pernyataan presiden Jokowi. Semua itu memiliki tujuan yang jelas, agar virus corona tidak menyebar ke lebih banyak orang. Sayangnya, masih ada sisi lain yang tidak diperhatikan oleh pemerintah, yaitu keberadaan orang-orang kecil, miskin dan terlantar.
Pemerintah mengatakan agar saat ini semua hal harus dilakukan dari rumah. Akan tetapi, pertanyaan besarnya adalah bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki rumah dan menghabiskan sebagian besar hidup mereka di gerobak, di pinggiran rel kereta api, dan di jalanan. Apakah pemerintah dan mungkin juga kita pernah berpikir sampai sejauh itu? Untuk menghadapi virus mematikan ini, di manakah mereka akan berlindung? Apakah sebagai orang Katolik sudah punya solusi untuk melindungi dan menyelamatkan saudara-saudara kita ini?

Ketamakan Membunuh Orang Kecil
Saat orang-orang berduit memutuskan berdiam diri di rumah untuk menghindari paparan virus yang mematikan, membeli banyak persediaan makanan dan obat-obatan masih ada orang yang mencari nafkah dengan menyusuri jalanan. Semua demi kelangsungan hidupnya dan juga keluarga tercinta. Bukan tidak mungkin mereka juga berisiko tertular virus yang mengancam nyawa.
Namun, jika mereka tidak melakukannya, apa jadinya hidup mereka beserta keluarga? Adakah yang peduli dengan mereka? Mereka juga ingin selamat dan terhindar dari virus itu, tetapi keadaan tidak mendukung. Keadaanlah yang mengharuskan mereka terus berjuang di jalanan tanpa mempedulikan lagi sekarang sedang ada wabah yang mematikan.
Mungkin kata-kata Yesus dalam Mat 25:35-40 menjadi inspirasi untuk kita dalam memberikan bantuan kepada orang kecil dan terpinggirkan. “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus kamu memberi Aku minum, ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit kamu melawat Aku; ketika aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. …. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Dari perikop di atas saja dengan cukup jelas mengajak kita agar memperhatikan orang-orang di sekitar. Dengan wabah Corona yang semakin meningkat telah menimbulkan ketakutan yang luar biasa dalam diri banyak orang. Perhatikan dengan saksama ketika Presiden Jokowi pertama kali mengumumkan dua orang warga Indonesia terjangkit virus ini.
Orang-orang seperti berlomba membeli dan mengumpulkan makanan, obat-obatan dan masker baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya. Mewaspadai segala sesuatu memang penting, tetapi jangan sampai mengorbankan orang lain. Tindakan panic buying hanya menyengsarakan orang-orang kecil yang tidak mampu membeli dalam jumlah banyak dan menimbunnya di rumah.
Apakah tindakan itu dilakukan dengan sadar atau tidak, yang jelas ketika membeli dalam jumlah banyak hanya untuk diri sendiri banyak orang di luar sana tidak mendapat kebagian. Orang-orang kecil dan terpinggirkan adalah korban nyata dari ketamakan kita. Mungkin tepat pepatah Latin kuno bahwa manusia adalah “homo homini lupus”. Bukan virus yang menyebabkan kita menderita, tetapi ketamakan dan egois yang ada dalam diri kita masing-masing.
Dalam keadaan seperti ini apakah kita masih punya hati untuk pengemis yang lapar, pemulung yang tidak punya tempat tinggal yang tetap mencari sesuap nasi tanpa menggunakan masker? Apakah kita masih sempat memikirkan orang-orang kecil seperti mereka?
Mengutip homili MGR Ignatius Suharyo ketika membuka tahun keadilan di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Jakarta “ketika seseorang mengaku dirinya beriman, pasti salah satu buahnya yang paling jelas adalah persaudaraan. Di tahun keadilan sosial kita semakin beriman, semakin bersaudara dan semakin berbela rasa. Adil dan berbela rasa tidak boleh dipisahkan, keduanya meski terus diasah supaya tidak menjadi tumpul”
Kepekaan sosial dan moral haruslah berbuah pada tindakan yang adil dan berbela rasa terhadap sesama. Peletakan patung Yesus yang miskin seperti para gelandangan di dekat gereja Katedral Jakarta adalah simbol Yesus yang menyamakan diri-Nya dengan orang lapar, miskin, gelandangan dan orang yang di penjara. Pertanyaan sederhana untuk kita adalah apakah kita juga mau berbela rasa dengan orang-orang kecil dan terpinggirkan di tengah situasi sekarang? Apakah kita peduli dengan mereka yang tidak punya rumah ketika wabah Corona semakin meluas?

BALEO DAN LAMAFA DUA SEJOLI DARI LAMALERA


Lamalera desa kecil di selatan Pulau Lembata dikenal dunia sebagai desa para pemburu paus. Sebutan lamafa (pemimpin perburuan paus) dan baleo (ikan paus) akan menjadi kosa kata yang familiar di telinga para wisatawan. 
Berburu ikan paus bagi orang Lamalera, adalah suatu ritual yang telah dilakukan turu-temurun selama ratusan tahun. Berburu ikan paus bertujuan untuk menghidupi masyarakat kampung yang hidup di tanah gersang dan kering.
Baleo…baleo…baleo…!
Demikian teriakan warga Lamelera ketika melihat ikan puas melewati teluk Lamalera dan warga akan sambung menyambung dengan pekikan yang sama baleo…baleo…baleo.
Seketika itu, lamafa mengambil leo di lango belle (rumah besar atau rumah adat). 

“Leo adalah tali. Pusat dari semua tali peledang (nama perahu untuk berburu ikan paus). Leo tak boleh terkena hujan dan panas. Makanya disimpan di rumah adat" demikian kata salah seorang narasumber.
Leo terbuat dari unsur pepohonan di hutan. Dipintal jadi tiga urat. Lalu dipilin jadi tali. Selain itu, yang boleh mengambil leo hanyalah lamafa.
Ketika lamafa mengambil leo, para matros mempersiapkan peledang meluncur ke laut. Saat berjalan memikul leo dari rumah adat ke perahu, lamafa tak boleh bicara. Kalau pun disapa, dia tidak boleh menjawabnya.
Lamafa mengambil tempat di hommololo (anjungan peledang). Dia adalah pemimpin perburuan itu sekaligus sebagai juru tikam ikan paus.

Sastra Mantra
Ketika peledang sudah di lautan, para lefa alep (pemburu paus) mulai melantunkan nyanyian ‘memanggil angin’. O ina fae bele e, nei kame angi usi (oh ibunda lautan, hembuskanlah kami sedikit angin).
Bila angin sudah datang, senandungnya eta lei lolo e, tule tale baranusa (kembanglah layar, bawalah kami hingga baranusa/Alor).

Saat ikan pausnya ditombaki lamafa dan berontak para lefa alep akan bersorak ria, "kideknuke hirkae. Lefo garo lepe” (jayalah para janda dan fakir miskin. Kampung kita sudah menerima kiriman itu).
Sebab masyarakat Lamalera meyakini ikan paus adalah kiriman leluhur mereka.
Senandung berikutnya, o sora tarem bale e. Tala lefo rae tai. Ribu lefo gole. Bera rae nai (wahai engkau kerbau yang bertanduk gading. Mari kita beranjak menuju kampung nun di sana. Seluruh masyarakat, para janda dan fakir miskin, tengah merindukan kehadiranmu. Ayo segeralah kita ke sana). Ikan paus bagi orang Lamalera adalah kerbau yang hidup di lautan.

Dalam pelayaran menuju daratan, senandungnya fara tobi lolo lodo. Ke lie gatiro (berhembuslah angin barat. Datanglah mengantarkan kami menuju daratan).
Sesampainya mereka di darat para lefa alep akan bernyanyi
Narague boli…narague boli
Tobo pole sora hene
Sora beso lero pi
Bera-bera mi go dibela
Libu lego Java
Lae mala fajo saja
Fajo oli nuleng pali

Artinya
"Tuan tanah pengelola perahu
Berharaplah hanya pada ikan paus
Ikan paus telah datang hari ini
Lekaslah engkau makan hingga kenyang
Hai Libu berkampung di Jawa
Kemarilah
Lihatlah di pantai ikan paus sudah ada"

[Resensi Buku] Lamafa: Pahlawan dari Lamalera


Judul                     : Lamafa
Pengarang             : Fince Bataona
Tebal Halaman       : 145
Penerbit                : Kandil Semesta
Tahun Terbit          : 2015

“Laut bagi orang Lamalera adalah cara pandang yang mengekspresikan sekaligus merepresentasikan semangat, estetika, dan kerinduan komunitasnya“ (hal viii). Demikian disampaikan oleh Yoseph Yapi Taum dalam prolog novel ini. Novel Lamafa yang ditulis oleh Fince Bataona menjadi salah satu novel yang mengangkat kisah masyarakat kecil secara sangat sederhana, tetapi memberi kesan yang mendalam.
Sebagai orang yang lahir dari rahim Lamalera, penulis novel (Fince Bataona) dengan sangat baik membahas desa Lamalera dan keseharian orang-orang di sana. Keseharian yang dilakukan oleh kaum bapak dalam melaut dan kegiatan ibu-ibu tangguh ketika harus berjalan berkilo-kilo meter untuk melakukan barter daging ikan paus dengan jagung atau pisang. 
Pisang dan jagung adalah makanan pokok masyarakat Lamalera. Hal itu disebabkan kondisi geografis Lamalera yang gersang sehingga untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka harus melakukan barter dengan orang-orang dari daerah pegunungan. Selain itu, penulis novel juga berhasil mengisahkan kerasnya hidup di Lamalera dan merekam betapa pentingnya berkorban dan berjuang untuk masyarakat.


Sebagai novel etnografis, hal ini nampak dalam tema, latar tempat dan narasi tentang lamafa dan budaya menangkap ikan paus. Lamafa merupakan pemimpin dalam perburuan ikan paus dan ’jabatan‘ itu diwariskan turun temurun. Tokoh lamafa dalam novel ini pun dengan cukup detail dijelaskan sejak dia masih kecil, proses pendidikannya menjadi lamafa hingga pada akhirnya menjadi seorang lamafa yang handal.
Sebagaimana disampaikan dalam novel ini, “seorang lamafa adalah pribadi yang sakral. Kesakralan dirinya terkandung dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya. Dari peran lamafa yang memimpin awak peledang (perahu penangkapan ikan paus) untuk menyambut knato (Tuhan di tengah laut), tersingkap suatu makna bahwa kepada lamafa para warga kampung mendapukkan harapan agar lamafa dan rekan-rekan seperahu kembali ke darat sambil membawa ikan paus. Ikan paus itu adalah penanda bahwa warga kampung nelayan Lamalera terus hidup selama satu musim ke depan“ (hal 122).
Lamafa melakukan tugas yang sakral. Saat memegang tempuling, lamafa menggenggam harapan hidup tidak hanya untuk keluarganya, tetapi untuk seluruh warga kampung. Lamafa adalah kehidupan. Di bahunya dan para matros-lah (para pendayung perahu) harapan hidup masyarakat sekampung ditimpakkan. Keberhasilan mereka dalam berburu paus akan membawa kehidupan untuk masyarakat sekampung.

Pokok Permasalahan
Lamalera desa kecil di selatan pulau Lembata telah mendunia karena kemampuan mereka mempertahankan tradisi yang telah diwariskan selama ratusan tahun. Bahkan ketika laut Sawu hendak dikonservasi oleh pemerintah, masyarakat Lamalera dengan gigih mempertahankannya. 
Setidaknya sedikit gambaran konflik itu bisa terlihat dari upaya Johanes yang merupakan putra Lamalera dan juga putra seorang lamafa dijadikan juru kampanye pemerintah agar masyarakat Lamalera setuju dengan tawaran itu.
Berikut kutipannya “Bapak dan Mama harus paham bahwa ikan paus yang kita bunuh bisa punah jadi kita harus lindungi. Kita diatur untuk tidak lagi memburu paus tetapi diberi fasilitas tangkap lain dan kita boleh menangkap ikan-ikan lain kecuali ikan paus. Hasilnya akan lebih bagus dan kesejahteraan hidup akan meningkat. Bapak, Mama bisa paham penjelasan kami?“ (hal 72)
Tentu saja usulan konyol itu ditolak oleh masyarakat Lamalera. Laut adalah sumber hidup mereka. Ikan paus adalah sumber rejeki sekaligus yang menjadi penopang hidup mereka. Konservasi yang ditawarkan pemerintah adalah teror terhadap tradisi dan keberadaan mereka. 
Bila konservasi dilaksanakan, maka itu menjadi pembunuhan terhadap eksistensi lamafa dan warga nelayan Lamalera. Apalagi penangkapan ikan paus merupakan budaya yang di dalamnya mengandung semesta kehidupan dan keberadaan orang-orang Lamalera yang memiliki, memelihara dan terus mempraktikkan budaya lefa (penangkapan ikan paus).
Dengan lantang mereka menolaknya. “Kami tidak butuh uang untuk menukar laut kami. Tidak akan pernah. Silahkan bawa kembali uang-uang itu“. Tanggapan lain yang disampaikan dalam novel ini juga tidak kalah kerasnya. “Kesejahteraan hidup seperti apa? Apakah bapak-bapak kira begitu mudahnya meninggalkan warisan leluhur kami? Hidup kami ini di laut. Melaut adalah warisan yang tidak bisa digantikan dengan apapun“. (hal 73)
Tanggapan paling pedas datang dari sang kakak Paulus Ama Atakebelen lulusan Fakultas Sosial Universitas Nusa Cendana Kupang dengan IPK 3,99 yang memilih menjadi lamafa seperti bapaknya. Dengan tegas dia menentang adiknya. “Johanes.. berhentilah bicara soal konservasi. Engkau anak Lamalera dan engkau tentu saja paham meski itu sedikit. Nelayan Lamalera sudah melakukan yang namanya konservasi itu. Jadi tidak perlu mengkhawatirkan hal yang semestinya tidak perlu. Kami bukan memburu ratusan ekor ikan paus untuk kepentingan industri. Bilang pada para pejabat itu, masih banyak hal yang diurus di Lamalera sini seperti jalan yang sangat buruk dan air yang sangat sulit“ (hal 73-74).


Paulus Ama Atakebelen selain sebagai anak kandung Lamalera juga seorang lamafa tentu sangat paham dengan kebutuhan masyarakat di sana. Konservasi yang ditawarkan Johanes dan pemerintah tidak akan pernah diterima oleh masyarakat Lamalera. Masyarakat di sana mengetahui maksud dari konservasi itu karena konservasi itu hanya akan membunuh masa depan anak-anak Lamalera. Mimpi-mimpi mereka akan terbunuh dengan adanya konservasi itu.
Perburuan yang dilakukan orang Lamalera selama ratusan tahun tidak pernah mengurangi pupolasi ikan paus di lautan. Setiap tahun mereka hanya menangkap tidak lebih dari 10 ekor dan itu pun dagingnya dibagikan kepada seluruh warga kampung. Bahkan para janda selalu diprioritaskan ketika pembagian daging ikan paus. 
Itulah beberapa alasan kenapa masyarakat Lamalera menolak tawaran pemerintah untuk melakukan konservasi. Sebab mereka pun tahu kapan waktu untuk berburu ikan paus. Jadi, tidak sepanjang tahun mereka melakukan perburuan, melainkan hanya bulan Mei sampai September. Ikan paus yang diburu pun hanya jenis paus sperma dan tidak sedang hamil.
Permasalahan yang ditampilkan di atas menjadi masalah khas di sana. Lamalera sebagai wilayah tandus dan gersang tentu berharap pemerintah memperhatikan masalah air bersih dan jalan raya. Jika laut sebagai tempat masyarakat Lamalera menyambung hidup diambil pemerintah, di manakah mereka mencari sumber rejeki? Di manakah mereka mencari penghasilan untuk bisa bertahan hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka?